Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Yang Kecil Ditagih, yang Besar Dijadwal

BII memailitkan penjamin piutangnya yang bertanggung jawab untuk kredit Rp 21 miliar. Tapi ia juga dituntut membayar utang sekitar Rp 450 miliar oleh tiga kreditur asing.

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENERAPAN hukum kepailitan memiliki dampak dan kesemrawutannya sendiri. Tilik saja kasus yang melibatkan Bank Internasional Indonesia (BII). Kalau dicermati, jalur hukum pamungkas yang mampu membangkrutkan debitur rupanya bisa pula menimbulkan benturan. Soalnya, belum lagi rampung tuntutan pailit BII terhadap empat penjamin piutangnya di Pengadilan Niaga Jakarta, bank swasta yang sudah masuk bursa itu juga harus menghadapi petisi pailit dari tiga kreditur asing terhadap anak perusahaannya: BII Finance Center. Dalam perkara pertama, BII memburu utang hampir US$ 3 juta atau sekitar Rp 21 miliar—berdasarkan kurs Rp 7.000 per dolar—pada PT Sekawan Bhakti Intiland, yang dikenal sebagai perusahaan properti di Surabaya. Utang itu merupakan bagian dari kredit US$ 20 juta yang diterima PT Sekawan dari sindikasi 10 bank, termasuk BII. Namun, menurut perjanjian utang pada 30 Mei 1995, para kreditur anggota sindikasi bisa sendiri-sendiri menuntut debitur. Rupanya, utang tersebut dijamin oleh pemilik dan direksi PT Sekawan, yang juga pengusaha di Surabaya, yakni Hasan Opek, Pek Tek Beng, dan Soebijono. PT Seruni Surabaya juga bertindak selaku perusahaan penjamin utang itu. Sesuai dengan perjanjian utang, para penjamin telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut PT Sekawan agar lebih dulu membayar utang. Karena itu, BII bisa menagih langsung para penjamin. Apalagi, "PT Sekawan sudah tak punya apa-apa. Buat apa dituntut pailit?" ujar kuasa hukum BII, Abdul Hakim Garuda Nusantara, yang berharap pengadilan akan memvonis pailit keempat penjamin itu pada Kamis ini. Sekalipun begitu, kuasa hukum keempat penjamin, Indra Cahya, menganggap tuntutan pailit itu tidak tepat. Alasannya, PT Sekawanlah yang harus dituntut lebih dulu. Bila debitur terbukti tak mampu, baru para penjamin yang ditagih. Lagi pula, "Utang PT Sekawan belum termasuk kredit macet. Sebagai debitur, ia terus berusaha menyelesaikannya," kata Indra. Sebetulnya, menurut Indra, BII tak layak menuntut pailit. Sebab, bank itu sendiri sedang dalam proses restrukturisasi yang ditangani Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Itu berarti semua piutang BII juga diurus oleh BPPN. "Seharusnya ditunggu dulu keputusan BPPN tentang semua piutang BII. Bagaimana kalau nanti putusan BPPN berbeda dengan vonis pailitnya?" Indra mempertanyakan. Dalam perkara kedua, BII Finance Center dituntut pailit oleh Arab Banking Corporation di Singapura, Credit Agricole Indosuez di Prancis, dan Asian Banking Corporation di Korea Selatan. Perusahaan pembiayaan itu diharuskan membayar utang US$ 65,3 juta atau Rp 457,1 miliar kepada ketiga kreditur. Mungkin saja BII berdalih bahwa petisi pailit itu tak berkaitan dengannya, karena BII Finance merupakan badan hukum yang berbeda. Tapi ketiga kreditur, menurut kuasa hukumnya, Sugeng T. Santoso, berpendapat bahwa BII harus ikut bertanggung jawab. Itu sebabnya, mereka juga menggugat BII secara perdata. Presiden Direktur BII, Indra Widjaja, seusai acara di DPR, Selasa pekan lalu, juga menyiratkan adanya semacam tekanan yang dilakukan ketiga kreditur tadi. Maksudnya, dengan menempuh jalur cepat kepailitan, diharapkan BII akan segera menutup utang anak perusahaannya. Maklumlah, BII baru meraup dana segar tak kurang dari Rp 4,46 triliun—hasil penjualan saham secara terbatas pada 30 Juni lalu. Namun, Indra wanti-wanti mengingatkan bahwa dana publik itu untuk BII, bukan buat BII Finance. Di pengadilan niaga, Kamis pekan lalu, kuasa hukum BII Finance, Hotman Paris Hutapea, malah berpendapat bahwa unsur utang yang sudah jatuh tempo pada tuntutan pailit ketiga kreditur itu sebenarnya tak terpenuhi lagi. Sebab, pada 16 April lalu, kedua pihak telah meneken perjanjian perdamaian yang menyetujui penjadwalan kembali utang BII Finance. Sebagai tindak lanjut persetujuan tersebut, pada 17 Mei lalu ketiga kreditur telah menerima US$ 10 juta dari BII Finance. Tapi masih ada saja yang janggal. Rekan Sugeng, Luhut M. Pangaribuan, mengaku bahwa ketiga kreditur belum menandatangani perjanjian perdamaian yang disebut-sebut Hotman. Dengan kata lain, kreditur belum menyetujui penjadwalan utang. "Jangan-jangan, setelah debitur merasa tertekan karena dituntut pailit, muncul perdamaian yang tanggalnya berlaku mundur," kata Luhut. Kalau sudah begini, hiruk-pikuk hukum kepailitan kontan bikin pusing. Masing-masing pengacara berlaga "jual suara", mereka juga seakan tak melihat "gajah" di pelupuk mata. Hp.S., Ardi Bramantyo, dan Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus