Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dilansir dari laman science.howstuffworks, alat deteksi kebohongan atau poligraf adalah alat untuk melihat apakah orang tersebut mengatakan yang sebenarnya atau berbohong ketika menjawab pertanyaan tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seringkali dipakai dalam penyelidikan polisi, kadang juga digunakan untuk pelamar pekerjaan, misalnya untuk instansi pemerintahan tertentu atau badan intelijen seperti FBI atau CIA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika seseorang mengambil tes poligraf terdapat empat sampai enam sensor yang melekat padanya. Poligraf bekerja dengan menganalisis sinyal dari sensor dan dicatat pada satu strip kertas yang bergerak atau grafik.
Sensor biasanya akan mendeteksi melalui tingkat pernapasan, denyut nadi, tekanan darah dan keringat. Kadang-kadang poligraf juga akan merekam gerakan lengan dan kaki.
Alat deteksi kebohongan bekerja dimulai, dengan mengajukan tiga atau empat pertanyaan sederhana untuk untuk menganalisis respons seseorang. Selanjutnya pertanyaan utama akan diajukan. Sepanjang pertanyaan, semua sinyal orang tersebut dicatat pada kertas bergerak.
Proses Deteksi Kebohongan
Baik selama dan setelah tes deteksi kebohongan, pemeriksa dapat melihat grafik dan melihat apakah tanda-tanda vital berubah secara signifikan pada salah satu pertanyaan.
Secara umum, perubahan yang signifikan seperti denyut jantung yang lebih cepat, tekanan darah yang tinggi, peningkatan keringat menunjukkan bahwa orang tersebut berbohong.
Ketika pemeriksa terlatih menggunakan poligraf, ia dapat mendeteksi kebohongan dengan akurasi tinggi. Namun, karena interpretasi penguji bersifat subjektif dan karena orang yang berbeda bereaksi berbeda terhadap berbohong, tes poligraf tidak sempurna dan dapat dibodohi.
Dilansir dari psychology today, teori di balik poligraf adalah bahwa ketika orang berbohong, mereka mengalami keadaan emosional yang berbeda daripada ketika mereka mengatakan yang sebenarnya.
Poligraf dirancang untuk mendeteksi perubahan halus dalam respons fisiologis seseorang ketika mereka berbohong. Secara khusus, diperkirakan bahwa ketika orang berbohong, terutama dalam skenario berisiko tinggi seperti interogasi polisi, mereka akan merasa cemas atau takut terjebak dalam kebohongan.
Ketika seseorang yang bersalah diberikan pertanyaan yang akan mengungkapkan rasa bersalah mereka, kemudian mereka berbohong. Timbul ketakutan akan terdeteksi, ini menyebabkan peningkatan aktivasi sistem saraf simpatik.
Aktivasi ini menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, respirasi, dan keringat. Perubahan ini adalah bagian dari sistem fight-or-flight yang dimulai setiap kali takut.
Ketika seseorang jujur, respons fisiologis mereka tetap stabil di bawah pertanyaan, sedangkan hati orang yang bersalah akan berpacu.
Pemeriksa poligraf terlatih dapat mengatahui ketika seseorang berbohong. Namun, alat deteksi kebohongan tidak sepenuhnya akurat. American Polygraph Association memperkirakan akurasi poligraf adalah 87 persen. Artinya, dalam 87 dari 100 kasus, poligraf dapat secara akurat menentukan apakah seseorang berbohong atau mengatakan yang sebenarnya. Tetapi penting untuk diingat bahwa poligraf gagal 13 persen dari beberapa kasus.
Dikutip dari, science.howstuffworks, ini karena interpretasi penguji bersifat subjektif dan karena orang yang berbeda bereaksi berbeda terhadap berbohong, tes deteksi kebohongan atau poligraf tidak sempurna dan dapat dibodohi. Menurut National Research Council, ada bukti yang menunjukkan bahwa hasil detektor kebohongan dapat dibuat.
WILDA HASANAH
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.