Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uji coba bioreaktor dari rumput laut mulai memperlihatkan hasil. Rumah Leman di Desa Tengkurak, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, kini diterangi lampu pada malam hari. Upaya ini dimulai pertengahan tahun lalu oleh Mujizat Kawaroe, peneliti dari Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi Institut Pertanian Bogor beserta timnya.
"Untuk percobaan pertama, kami menggunakan 250 liter Gracilaria yang tak terpakai," ucap Dea Fauzia Lestari, anggota tim peneliti mahasiswa pascasarjana IPB pekan lalu. Bahan dasar itu didapat dari sekitar 50 kilogram rumput laut yang dicincang lalu dicampur dengan 500 liter air tawar dan 250 liter kotoran sapi di dalam bak tampung.
Bahan-bahan itu ditampung dalam bioreaktor yang mirip tangki yang terletak di halaman rumah Leman, perambak rumput laut (seaweed). Di kanan-kirinya terdapat bak tampung. Kapasitas bioreaktor itu 1,5 meter kubik atau setara dengan 1,5 ton berat kotor. Nah, 500 liter sisa kapasitas bioreaktor dibiarkan kosong untuk jumlah estimasi gas yang dihasilkan. "Agar bioreaktor tak meledak karena kepenuhan," katanya
Kotoran sapi digunakan pada campuran pertama. Tujuannya, menurut Dea, untuk aklimatisasi atau proses adaptasi yang berguna untuk memancing gas keluar dari rumput laut. Bahan itu diaduk sampai semuanya bercampur. Campuran didiamkan selama satu pekan untuk mengumpulkan gas di dalam tabung bioreaktor. Rumput laut yang sudah menjadi ampas akan mengambang. Dari bioreaktor, gas tersebut dialirkan ke lampu dan kompor melalui pipa.
Bahan baku rumput laut untuk biogas di rumah Lemah didapat dari Haris Faizal Nasution, pemilik tambak di Tengkurak. Saat musim panas, tambak milik Haris dapat menghasilkan 40 ton per bulan. Paling minim, kata Haris, sekitar 10 ton. Tentu saja rumput laut untuk biogas tak perlu yang berkualitas bagus. Cukup yang tak terpakai saja.
Selain di Tengkurak, instalasi bioreaktor yang sama dipasang di Dusun Puntundo, Desa Laikang, Kecamatan Cikoang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Di sini biogas dipakai untuk menutupi kebutuhan yang tak bisa dipenuhi PLN. Di rumah Muhammad Kasim, 39 tahun, nelayan penambak rumput laut, instalasi didirikan.
"Hal itu akan membantu proses pembusukan," kata Kasim, yang menempatkan reaktor penghasil gas itu di belakang rumah. Bedanya dengan di tempat Leman, bahan dasar rumput laut di sini menggunakan jenis Eucheuma cottonii, yang juga biasa dijadikan agar-agar. "Jenis rumput laut ini tumbuh subur di sana," kata Dea
Untuk menghidupkan bioreaktor, Kasim membutuhkan 20 kilogram rumput laut. Gas yang dihasilkan cukup untuk 30 hari. Ia memakainya untuk kompor dan sesekali menyalakan lampu jika listrik dari PLN mati.
Lantaran masih dalam skala penelitian, biogas di Puntundo sementara ini hanya dialirkan ke rumah Kasim dan adiknya, Rivaldi, 28 tahun, yang berjarak 10 meter dari rumahnya. Meski sudah banyak warga sekitar yang meminta biogas "milik"-nya, Kasim masih enggan berbagi. Alasannya, belum ada izin dari si empunya penelitian. "Apalagi kompor dan lampunya juga khusus," ujar Kasim, yang juga menjabat Ketua Unit Pelayanan dan Pengembangan Perikanan binaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar.
Ihwal nilai ekonomisnya, Kawaroe memberikan gambaran penggunaan bioreaktor berkapasitas 4.000 liter atau 4 ton. Gas yang didapat setara dengan 0,86 kilogram elpiji sehari, atau sekitar 26 kilogram sebulan (lihat tabel). Jika harga elpiji 12 kilogram sekarang dipatok Rp 129 ribu, berarti lebih dari seperempat juta rupiah dihemat dengan menggunakan rumput laut tak terpakai. "Rumput laut berpotensi besar menjadi sumber energi baru," katanya. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi budi daya rumput laut Indonesia pada 2013 mencapai 8,2 juta ton.
Kawaroe menjelaskan, Gracilaria bisa dimanfaatkan menjadi sumber biogas karena mengandung senyawa hidrokiloid dan bioaktif. Sedangkan E. cotonii mengandung karagenan dan hidrokiloid. Adapun jenis rumput laut yang lain, kata dia, "Masih harus diteliti."
Jana Tjahjana Anggadiredja, pakar teknologi kelautan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, menyebutkan aplikasi biogas berbahan rumput laut di Serang dan Takalar adalah yang pertama kali. Meski kedua jenis rumput laut itu jauh lebih bernilai ekonomi jika dibuat agar-agar, ia mendukung pengembangan sumber energi yang dikembangkan Kawaroe dan kawan-kawan. "Ini pemicu yang bagus untuk inovasi lainnya," katanya.
Setelah sukses di Serang dan Takalar, Kawaroe dan tim berencana mengaplikasikan inovasi tersebut dengan kapasitas bioreaktor yang lebih besar, yakni 17 ton. Hasilnya untuk penerangan empat keluarga nelayan tambak. AMRI MAHBUB (SERANG) DAN AWANG Darmawan (TAKALAR)
Bioenergi dari Rumput Laut
1. Rumput laut Gracilaria atau Eucheuma cottonii dikeringkan selama dua hari untuk menghilangkan air payau.
2. Kotoran sapi (250 liter) dan air tawar (500 liter) diendapkan di bak tampung rumput laut.
3. Kotoran didiamkan selama beberapa hari untuk proses aklimatisasi.
4. Rumput laut yang sudah kering kemudian dicacah dan dimasukkan ke bak tampung berisi campuran air tawar dan kotoran sapi.
5. Campuran tersebut diaduk sampai merata dan tunggu beberapa hari sampai gas keluar.
6. Gas dari rumput laut berkumpul di bioreaktor.
7. Gas yang sudah matang dialirkan ke kompor dan lampu melalui pipa.
8. Katup untuk mengalirkan gas.
9. Jumlah gas yang dihasilkan tercatat dalam meteran.
10. Lampu dan kompor menyala.
Bila Volume Kerja Bioreaktor 4.000 Liter
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo