PAMOR SMP Terbuka mulai bersinar. Bukan saja karena target dua
ratus siswa baru kini praktis tercapai. Tapi, lulusan SMPT
(terbuka) yang "tanpa gedung" dan sedikit guru ini, ternyata
mampu bersaing dengan lulusan SMP biasa.
Tohaini, misalnya, yang tahun lalu lulus dari SMPT Kalisat,
Jember, Jawa Timur, dan melanjutkan ke SMEA Negeri, tahun ini
naik ke kelas II dengan angka rapor termasuk ranking pertama di
sekolahnya. Dan Jufriadi yang lulus tahun ini, bisa melanjutkan
ke SMA Negeri Jember tanpa harus lewat tes, berkat prestasinya
selama belajar di SMPT.
Inilah model SMP yang pada waktu berdiri, pada tahun ajaran
1979/1980, dipandang dengan sangsi. Hingga SMPT Kalianda,
Lampung Selatan, hanya mendapat 50-an siswa. Bahkan SMPT
Adiwerna, Tegal, menjelang tahun ajaran tahun itu dimulai, baru
memperoleh 4 siswa. Waktu itu lulusan SD segan mendaftar ke
SMPT, karena tak punya gedung dan jam sekolah yang teratur.
Tapi perkembangan selanjutnya ternyata menyadarkan masyarakat,
keuntungan apa saja yang bisa diraihnya bila mereka
menyekolahkan anaknya ke model SMP yang siswanya tak harus masuk
tiap hari ini. Pak Seca, pedagang buah di Kecamatan Plumbon,
Cirebon, bersyukur karena tak kehilangan bantuan Kastira,
anaknya yang ke-7. Anaknya itu tiap hari masih membantunya
berjualan semangka, sambil membaca bahan pelajaran. Pun Munani,
anak seorang pemilik warung makan di daerah itu, tetap bisa
membantu orangtuanya menunggu warung tanpa mempengaruhi hasil
belajarnya di SMPT Plumbon, Cirebon.
Empat SMPT yang telah disebutkan itu ditambah satu lagi di
Terara, Lombok Timur, semula didirikan untuk mencari cara
menampung ledakan lulusan SD dengan cara murah. Pada 1981/1982
saja, misalnya, lulusan SD ada 2 juta lebih. Sementara daya
tampung SMP hanya sekitar 1,5 juta.
Sekolah menengah ini memang tak perlu gedung sendiri dan tak
perlu banyak guru. Untuk tiap pelajaran di tiap tingkat cukup
seorang guru pembina, ialah guru SMP Negeri setempat. Guru
pembina hanya bertatap muka dengan siswa sekali seminggu. Para
siswa sehari-hari belajar dengan cara berkelompok di PKB (Pusat
Kegiatan Belajar) dipimpin seorang guru pembimbing, ialah guru
atau kepala SD setempat. PKB yang membuka kegiatan pada pukul
13.00-17.00, biasanya terdiri 10-20 siswa. Selain siswa belajar
dengan modul, mereka juga mendengarkan siaran RRI dari kota
terdekat, yang menyiarkan penjelasan bahan pelajaran.
Bagi siswa yang tertinggal, tersedia rekaman dalam kaset yang
sewaktu-waktu bisa diputar. PKB yang bisa diadakan di mana saja
itu (di Balai Desa, di gedung SD, bahkan di rumah penduduk),
memang dilengkapi dengan radio dan tape recorder.
Administrasi SMPT dikelola oleh SMP Negeri yang ditunjuk. SMPN
itu juga sekaligus menjadi tempat tatap muka antara guru pembina
dan siswa. Kepala SMPN itu pun sekaligus berperan sebagai kepala
SMPT. Praktis dan murah memang, seolah-olah sebuah SMPN membuka
sekolah baru tanpa harus mengganggu sekolah lama. Guru pembina
dan pembimbing hanya mendapat honor sekitar Rp 15.000 per bulan.
Sedangkan siswa hanya membayar uang SPP Rp 3.000 per bulan.
Di tahun pertama ternyata banyak siswa SMPT kesulitan belajar
sendiri. Bahasa modul terlalu "kota". Banyak siswa tidak paham
kata-kata semacam ini: efektivitas, kualitas, efisien. Bahkan di
sebuah PKB SMPT Adiwerna, Tegal, pernah guru pembimbingnya pun
pusing. "Waktu itu saya benar-benar tak tahu yang dimaksud
dengan huruf kapital dalam modul," kata guru pembimbing
tersebut. "Eh, ternyata itu artinya huruf besar." Tapi lewat
revisi beberapa kali kini modul menggunakan bahasa yang gampang
dipahami para siswa.
SMPT dalam perkembangannya ternyata tidak hanya menjadi sekolah
murah. Dalam beberapa hal model sekolah ini memberikan manfaat
lebih daripada SMP biasa. Kebiasaan belajar berkelompok tanpa
dipaksa guru dan belajar dengan modul membuat siswa "mempunyai
disiplin belajar sendiri," kata Ketut Tedja, guru pembina bidang
studi Matematika di SMPT Terara.
Dari tatap muka dengan guru pembina, Sunaryo, guru pembina di
SMPT Adiwerna kagum bahwa "murid-murid itu mampu mengemukakan
kesulitan mereka dengan jelas." Selain itu SMPT ini pun
memberikan manfaat bagi guru kepala sekolah SD yang menjadi guru
pembimbing. "Ilmu saya jadi tidak mandek," kata sang guru
pembina dari SMPT Adiwerna, Tegal.
Susilo Wardoyo, kepala SMPT Adiwerna mencoba memonitor para
lulusan SMPT-nya yang melanjutkan ke SMTA. Ia mendapatkan,
mereka biasanya lemah dalam bidang studi Matematika dan Bahasa
Inggris. Dalam pelajaran yang lain, meski mula-mula seperti
ketinggalan dari lulusan SMP biasa, "sesudah semester kedua,
mungkin berkat latihan belajar sendiri selama di SMP Terbuka,
murid-murid saya itu bisa mengejar bahkan melampaui pengetahuan
kawan-kawannya."
Catatan resmi berapa persen lulusan SMPT yang melanjutkan ke
SMTA memang tak ada. Hanya berdasar monitoring para kepala SMPT
yang juga masih bersifat sambil lalu, diperkirakan 80% lulusan
meneruskan sekolah. Yang tidak meneruskan biasanya karena siswa
itu sangat dibutuhkan membantu mencari nafkah oleh keluarganya.
Sebagian besar siswa SMPT memang datang dari keluarga buruh tani
yang penghasilannya kecil.
Menjelang tahun ajaran 1983/1984 keluhan tentang SMPT agaknya
tak banyak lagi. Cuma di SMPT Terara, seorang murid agak kecewa.
"Sering guru pembina sewaktu hari tatap muka tak muncul padahal
kami sudah berjalan berkilometer untuk menanyakan kesulitan
pelajaran," kata siswa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini