Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Menunggu warung, sambil belajar

Perkembangan SMP terbuka setelah 4 tahun berjalan. lulusan SMP terbuka mampu bersaing dengan lulusan SMP biasa. (pdk)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAMOR SMP Terbuka mulai bersinar. Bukan saja karena target dua ratus siswa baru kini praktis tercapai. Tapi, lulusan SMPT (terbuka) yang "tanpa gedung" dan sedikit guru ini, ternyata mampu bersaing dengan lulusan SMP biasa. Tohaini, misalnya, yang tahun lalu lulus dari SMPT Kalisat, Jember, Jawa Timur, dan melanjutkan ke SMEA Negeri, tahun ini naik ke kelas II dengan angka rapor termasuk ranking pertama di sekolahnya. Dan Jufriadi yang lulus tahun ini, bisa melanjutkan ke SMA Negeri Jember tanpa harus lewat tes, berkat prestasinya selama belajar di SMPT. Inilah model SMP yang pada waktu berdiri, pada tahun ajaran 1979/1980, dipandang dengan sangsi. Hingga SMPT Kalianda, Lampung Selatan, hanya mendapat 50-an siswa. Bahkan SMPT Adiwerna, Tegal, menjelang tahun ajaran tahun itu dimulai, baru memperoleh 4 siswa. Waktu itu lulusan SD segan mendaftar ke SMPT, karena tak punya gedung dan jam sekolah yang teratur. Tapi perkembangan selanjutnya ternyata menyadarkan masyarakat, keuntungan apa saja yang bisa diraihnya bila mereka menyekolahkan anaknya ke model SMP yang siswanya tak harus masuk tiap hari ini. Pak Seca, pedagang buah di Kecamatan Plumbon, Cirebon, bersyukur karena tak kehilangan bantuan Kastira, anaknya yang ke-7. Anaknya itu tiap hari masih membantunya berjualan semangka, sambil membaca bahan pelajaran. Pun Munani, anak seorang pemilik warung makan di daerah itu, tetap bisa membantu orangtuanya menunggu warung tanpa mempengaruhi hasil belajarnya di SMPT Plumbon, Cirebon. Empat SMPT yang telah disebutkan itu ditambah satu lagi di Terara, Lombok Timur, semula didirikan untuk mencari cara menampung ledakan lulusan SD dengan cara murah. Pada 1981/1982 saja, misalnya, lulusan SD ada 2 juta lebih. Sementara daya tampung SMP hanya sekitar 1,5 juta. Sekolah menengah ini memang tak perlu gedung sendiri dan tak perlu banyak guru. Untuk tiap pelajaran di tiap tingkat cukup seorang guru pembina, ialah guru SMP Negeri setempat. Guru pembina hanya bertatap muka dengan siswa sekali seminggu. Para siswa sehari-hari belajar dengan cara berkelompok di PKB (Pusat Kegiatan Belajar) dipimpin seorang guru pembimbing, ialah guru atau kepala SD setempat. PKB yang membuka kegiatan pada pukul 13.00-17.00, biasanya terdiri 10-20 siswa. Selain siswa belajar dengan modul, mereka juga mendengarkan siaran RRI dari kota terdekat, yang menyiarkan penjelasan bahan pelajaran. Bagi siswa yang tertinggal, tersedia rekaman dalam kaset yang sewaktu-waktu bisa diputar. PKB yang bisa diadakan di mana saja itu (di Balai Desa, di gedung SD, bahkan di rumah penduduk), memang dilengkapi dengan radio dan tape recorder. Administrasi SMPT dikelola oleh SMP Negeri yang ditunjuk. SMPN itu juga sekaligus menjadi tempat tatap muka antara guru pembina dan siswa. Kepala SMPN itu pun sekaligus berperan sebagai kepala SMPT. Praktis dan murah memang, seolah-olah sebuah SMPN membuka sekolah baru tanpa harus mengganggu sekolah lama. Guru pembina dan pembimbing hanya mendapat honor sekitar Rp 15.000 per bulan. Sedangkan siswa hanya membayar uang SPP Rp 3.000 per bulan. Di tahun pertama ternyata banyak siswa SMPT kesulitan belajar sendiri. Bahasa modul terlalu "kota". Banyak siswa tidak paham kata-kata semacam ini: efektivitas, kualitas, efisien. Bahkan di sebuah PKB SMPT Adiwerna, Tegal, pernah guru pembimbingnya pun pusing. "Waktu itu saya benar-benar tak tahu yang dimaksud dengan huruf kapital dalam modul," kata guru pembimbing tersebut. "Eh, ternyata itu artinya huruf besar." Tapi lewat revisi beberapa kali kini modul menggunakan bahasa yang gampang dipahami para siswa. SMPT dalam perkembangannya ternyata tidak hanya menjadi sekolah murah. Dalam beberapa hal model sekolah ini memberikan manfaat lebih daripada SMP biasa. Kebiasaan belajar berkelompok tanpa dipaksa guru dan belajar dengan modul membuat siswa "mempunyai disiplin belajar sendiri," kata Ketut Tedja, guru pembina bidang studi Matematika di SMPT Terara. Dari tatap muka dengan guru pembina, Sunaryo, guru pembina di SMPT Adiwerna kagum bahwa "murid-murid itu mampu mengemukakan kesulitan mereka dengan jelas." Selain itu SMPT ini pun memberikan manfaat bagi guru kepala sekolah SD yang menjadi guru pembimbing. "Ilmu saya jadi tidak mandek," kata sang guru pembina dari SMPT Adiwerna, Tegal. Susilo Wardoyo, kepala SMPT Adiwerna mencoba memonitor para lulusan SMPT-nya yang melanjutkan ke SMTA. Ia mendapatkan, mereka biasanya lemah dalam bidang studi Matematika dan Bahasa Inggris. Dalam pelajaran yang lain, meski mula-mula seperti ketinggalan dari lulusan SMP biasa, "sesudah semester kedua, mungkin berkat latihan belajar sendiri selama di SMP Terbuka, murid-murid saya itu bisa mengejar bahkan melampaui pengetahuan kawan-kawannya." Catatan resmi berapa persen lulusan SMPT yang melanjutkan ke SMTA memang tak ada. Hanya berdasar monitoring para kepala SMPT yang juga masih bersifat sambil lalu, diperkirakan 80% lulusan meneruskan sekolah. Yang tidak meneruskan biasanya karena siswa itu sangat dibutuhkan membantu mencari nafkah oleh keluarganya. Sebagian besar siswa SMPT memang datang dari keluarga buruh tani yang penghasilannya kecil. Menjelang tahun ajaran 1983/1984 keluhan tentang SMPT agaknya tak banyak lagi. Cuma di SMPT Terara, seorang murid agak kecewa. "Sering guru pembina sewaktu hari tatap muka tak muncul padahal kami sudah berjalan berkilometer untuk menanyakan kesulitan pelajaran," kata siswa itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus