Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah sekitar setahun Syarifuddin menikmati bulir nasi yang warnanya putih bersih dan aroma wanginya menyebar saat masih hangat. Nasi ini jauh lebih enak daripada yang sebelumnya ia beli di pasar atau warung-warung di Mamburungan, Tarakan, pulau dekat Malaysia, di Kalimantan Timur.
Yang lebih menyenangkan bagi Syarifuddin, beras itu ia panen dari sawahnya sendiri. Padahal, sebelumnya, di pulau kecil yang tak terlalu subur itu, ia hanya bisa menanam sayuran seperti cabai. Setahun ini ia menyulap tanahnya menjadi sawah dan hasilnya sangat memuaskan. ”Kita tinggal ongkang-ongkang kaki serta mengawasi pengerjaannya, selama tiga bulan (sekali panen) hasilnya Rp 40 juta,” katanya.
Sampai 2009, cuma sedikit wilayah Tarakan yang dimanfaatkan untuk menanam padi, karena hasilnya tidak seberapa. Hanya ada satu atau dua petak padi. Tanah lumpur berpasir di sana kurang cocok untuk padi. ”Paling satu hektare hanya bisa menghasilkan tujuh kuintal sampai 1,2 ton gabah,” ujar Alik Sutaryat. Alik menangani urusan padi di program tanggung jawab sosial Medco, perusahaan yang memiliki proyek di Tarakan. Dialah yang turun tangan melatih para petani di sana menanam padi.
Bahkan, untuk tanaman di luar padi, petani seperti Syarifuddin nyaris patah semangat menghadapi kondisi tanahnya. Ia sempat mencoba cabai, tapi uang yang masuk sama dengan modal yang dikeluarkan. ”Modal saya Rp 4 juta selama dua minggu, tapi hasilnya saat dijual sama saja,” katanya. ”Artinya rugi.” Ia juga pernah mencoba tomat. Seperti cabai, hasilnya mengecewakan.
Dalam kondisi seperti itu, ia bertemu dengan Alik. Alik memegang mazhab penanaman padi yang mulai trendi di seluruh dunia: system of rice intensification alias SRI, yang menyebar dari Madagaskar dan dikenal di Indonesia sejak akhir 1990-an. Sistem ini kadang disebut tanam sebatang karena hanya sebatang bibit yang ditanam di satu titik.
Yang pertama dilakukan tentu harus membereskan kondisi tanah agar padi kerasan dan tumbuh sehat. Tanah di Tarakan yang dangkal, liat berpasir, dan kuning kecokelatan mesti diubah agar menjadi gembur seperti di pegunungan.
Para petani diajari membuat kompos dari kotoran ternak dan dedaunan. Kompos ini dicampur tanah liat berpasir Tarakan. Selain itu, disebarkan kapur. ”Ini untuk menurunkan kandungan keasamannya jadi di bawah 5 pH,” ujar Syarifuddin.
Soal menyuburkan tanah mungkin mudah diajarkan dan dipraktekkan petani. Yang sulit, Alik dan teman-temannya menggunakan mazhab padi organik yang tidak konvensional. Tanaman organik menghindari bahan kimia untuk pestisida dan pembasmi hama kimia lain. Padahal, bagi petani, obat-obatan ini sudah menjadi kebutuhan utama. ”Mereka (petani Tarakan) gemar menggunakan herbisida untuk menangani rumput,” kata Alik.
Pestisida membuat musuh alami hama ikut mati. Akibatnya, jika hama akhirnya menjadi kebal oleh pestisida, akan tercipta wabah karena tidak ada predator yang memangsanya di sawah. Tapi, tentu saja, sulit meyakinkan para petani bahwa mereka bisa menanam padi tanpa pestisida. ”Sedikit petani yang mau mencoba. Mereka beralasan takut rugi untuk yang kedua kalinya,” ujar Syarifuddin.
Mengubah pola pikiran petani ini kesulitan utama Alik. ”Kita harus membongkar kebekuan pikiran,” katanya. Ia memberikan contoh dan menanam padi di pot. Selama satu musim tanam, bekas pegawai Departemen Pertanian ini mengajari petani Tarakan agar terbiasa dengan sistem tanam tanpa pestisida dan teknik SRI lainnya.
Jika ada hama, para petani membereskannya dengan semprotan hasil peragian gula merah yang dicampur nasi basi dengan serbuk bamboo yang ditemukan di alang-alang. Ragi berfungsi membuat zat-zat di dalam makanan mudah diserap.
Jika belum mempan, ramuan itu diganti dengan ramuan yang lebih keras: adonan gula merah dicampur air kelapa plus air cucian beras. Hasilnya mujarab: ulat dan wereng gagal berkembang biak dengan maksimal hingga gampang dimusnahkan secara manual. ”Ramuan disemprotkan di tanaman dua minggu sekali,” kata Syarifuddin. ”Ramah lingkungan, bahkan baunya seperti tape sehingga tidak perlu masker penutup hidung dan mulut.”
Dengan teknik baru itu, Syarifuddin girang bukan kepalang. Produksi gabah keringnya melambung dua kali lipat dibanding saat ia masih menerapkan cara konvensional. Bukan hanya itu, biaya pemeliharaan tanaman padi pun bisa ditekan hingga 75 persen dibanding cara menanam yang lama.
”Kalau cara konvensional, butuh modal hingga Rp 12 juta dengan produksi empat ton gabah kering (per hektare),” ujarnya. Sekarang, cukup dengan modal Rp 10 juta bisa meraup untung hingga Rp 40 juta. Modal awalnya itu pun hanya digunakan untuk membayar tenaga penggarap sawah sesuai dengan aturan SRI organik.
Saat ini 29 petani sudah bergabung dalam Kelompok Tani Mapan Sejahtera yang menghamparkan padi di Tarakan. Sejauh ini padinya masih untuk kebutuhan sendiri. ”Padahal permintaan datang dari pemerintah daerah Tarakan hingga Malaysia,” katanya. ”Berapa pun jumlahnya, mereka siap beli.”
Nur Khoiri, S.G. Wibisono (Tarakan)
Tanaman Beras di Mamburungan
Padi bukan tanaman yang jamak di Tarakan. Sebagian warga pulau minyak itu menyebutnya ”tanaman beras” karena ketidaklaziman ini. Tapi sekelompok petani sudah setahun ini berhasil menikmati padi tanaman sendiri yang wangi. Usahanya dari mengubah struktur tanah sampai menggunakan pola tanam yang disebut SRI (system of rice intensification).
BIBIT
Hanya satu bibit padi untuk satu titik tanam agar tidak ada persaingan berebut makanan. Sebelumnya, orang menanam padi dengan meletakkan beberapa bibit di satu titik tanam. Jarak antarbibit juga lebar.
AKAR
Dengan satu bibit di tiap titik, akar akan menyebar dan mudah mendapatkan makanan.
TANAH
Struktur tanah di Tarakan adalah liat berpasir, yang kurang cocok untuk padi. Tanah ini dicampur dengan kompos. Untuk mengurangi keasaman, tanah ditaburi kapur.
AIR
Lazimnya di saat awal penanaman, padi akan direndam. Dengan sistem SRI, sawah hanya dibuat lembap, tidak sampai digenangi. Tujuannya agar udara bisa masuk ke sawah.
UDARA
Sirkulasi udara yang baik, karena sawah tidak direndam, membuat pertumbuhan akar menjadi bagus dan sawah menjadi kaya organisme yang membantu menyuburkan tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo