MARIA Wahyuni tidak pernah bermimpi suatu saat bakal mendengar dering telepon di desanya di Minggir, Kecamatan Sleman, Yogyakarta. Soalnya, sudah bertahun-tahun ia antre di PT Telkom untuk mendapat sambungan baru, tapi harapannya tak pernah terwujud. Alasan Telkom, dana yang dibutuhkan untuk memasang instalasi baru begitu mahal, sehingga bunyi kring yang dirindukan Maria masih lama bisa terdengar. Padahal, desa sebelah yang hanya berjarak 3 kilometer sudah lama menikmati fasilitas telepon. Guru SMA Budi Kemuliaan Yogyakarta ini akhirnya terpaksa hanya bisa bersabar.
Tiba-tiba dua bulan lalu seorang karyawan PT Telnus Prima mendatangi Maria. Karyawan perusahaan yang memegang lisensi Pasifik Satelit Nusantara (PSN) untuk meluaskan jaringan telepon umum satelit (TUS) itu mengatakan bahwa perusahaannya hendak memasang instalasi komunikasi di desa tersebut.
Hasil survei mereka menyimpulkan rumah Maria berada di lokasi strategis—tepat di depan jalan raya dan pas di perempatan—sehingga cocok sebagai tempat telepon umum. Si karyawan lalu meminta izin untuk memasang perangkat TUS di rumah Maria tanpa memungut biaya sepeser pun, karena semua pengeluaran akan ditanggung oleh PSN. Maria, yang masih setengah percaya, akhirnya bersedia menandatangani kontrak kerja sama dengan PSN. Tak lama kemudian, Maria tak hanya sudah bisa menelepon tetangga desanya. Ia pun menjadi pengelola telepon umum yang bisa dipakai orang-orang di desa itu untuk berhubungan dengan "dunia luar".
TUS mempunyai sistem kerja yang berbeda dengan telepon umum milik Telkom. Telepon jenis ini menggunakan gelombang elektromagnetik sebagai media pembawa suara. Mula-mula suara penelepon diolah oleh perangkat ODU (out door unit) menjadi gelombang elektromagnetik, kemudian dipancarkan ke satelit. Dari satelit, gelombang elektromagnetik dipancarkan ke gateway dan dikontrol oleh bagian Network Control Station (NCS). Selanjutnya, NCS memerintahkan gateway untuk menyambungkan ke tempat tujuan.
NCS ibarat operator yang menyambungkan pembicaraan telepon. Operator ini pula yang menyalurkan pembicaraan ke jaringan Telkom. Dengan menggunakan transponder C-band satelit Palapa C-1 buatan Hughes Amerika, TUS sebenarnya bisa digunakan untuk bertelepon ke mana saja. Namun, fasilitas yang mulai dibangun sejak 1996 itu—tapi tidak populer—baru bisa digunakan untuk bertelepon di antara pengguna jaringan Telkom saja. Sambungan ke nomor telepon di jaringan telepon radio (Ratelindo), telepon selular (GSM dan AMPS), maupun hubungan telepon ke luar negeri (SLI) untuk sementara belum bisa dilakukan karena saat ini PSN belum membuka jalur bisnis dengan penyelenggara jasa telekomunikasi selain Telkom.
Begitu juga dengan layanan internet. Padahal, bila ditilik dari sisi teknologi, fasilitas yang dimiliki TUS memungkinkan untuk berselancar ke dunia maya itu. Hanya, investasi yang dibutuhkan untuk itu memang cukup besar. PSN sebenarnya sudah memikirkan kemungkinan itu, tapi masih menimbang-nimbang untung dan ruginya.
Buat penggunanya sendiri tidak ada bedanya menggunakan telepon satelit dengan telepon umum biasa. Memang, kualitas telepon satelit sangat tergantung cuaca—karena gelombang elektromagnetik diterima kurang baik bila cuaca buruk—tapi biayanya kurang lebih sama: sekitar Rp 184 per pulsa untuk percakapan lokal dan Rp 143 per pulsa untuk sambungan langsung jarak jauh.
Tak seperti pengusaha wartel umum, PSN tidak perlu membayar biaya pulsa ke Telkom. Penyebabnya, satelit yang digunakan adalah milik PSN sendiri. Sedangkan pembayaran tagihan pulsa dari pengelola TUS kepada PSN dilakukan setiap 10 hari sekali. Apabila pengelola TUS tidak membayar tagihan selama sebulan, telepon diputus. Hubungan baru disambung lagi setelah pengelola melunasinya.
Persoalannya, para pengelola wartel TUS sering mendapat pemakai telepon yang tak sanggup membayar ongkos percakapan. Sebagai gantinya, mereka membayar ongkos itu dengan hasil kebun. Akibatnya, pengelola pun sering nombok. Mungkin itu sebabnya ekspansi layanan telepon umum satelit ini juga tak terlalu pesat—saat ini TUS hanya terdapat di beberapa daerah Jawa dan Sumatra. Bukan hanya untuk membangun satu fasilitas telepon umum PSN harus menanam investasi US$ 4.000, tapi juga penggunanya pun tampaknya masih terbatas. Maria dari Desa Minggir itu, misalnya, selama dua bulan ini baru meraup untung sekitar Rp 100 ribu.
Wicaksono, Dewi R. Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini