Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Giliran Probo ke Meja Hijau?

Probosutedjo dituding menipu dalam kasus penjualan tanah senilai Rp 30 miliar. Tanah itu ternyata telah dialihkan ke pengusaha lain, bahkan dijadikan jaminan kredit bank.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAIN menjadi juru bicara keluarga perihal kondisi kesehatan mantan presiden Soeharto, yang terkena stroke ringan dua pekan lalu, pengusaha Probosutedjo ternyata juga harus memberi kesaksian kepada polisi di markas besar kepolisian, Jakarta. Ada apa? Bos kelompok bisnis Mercu Buana yang juga saudara tiri Soeharto itu dituduh telah menipu wanita pengusaha, Ny. Helena Melinda Sujatomo, dalam kasus jual-beli tanah seluas 1,7 hektare di kawasan realestat Taman Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Menurut Direktur Reserse Umum, Kolonel Makbul Padmanegara, polisi telah memeriksa berbagai bukti surat dan banyak saksi, termasuk Probo, yang juga diperiksa Senin pekan lalu. Pertanyaannya, apakah Probo bakal terjerat hukum. Kolonel Makbul menyatakan, nasib Probo baru bisa dipastikan pekan depan, tapi Helena, 45 tahun, merasa yakin bahwa sudah cukup bukti untuk menggiring pengusaha itu ke meja hijau. Sehari-hari bertindak sebagai Manajer Umum PT Pakuwon Subentra Anggraeni—sebuah perusahaan pengelola pusat belanja Blok M Plaza, Jakarta—Helena menugasi asistennya, Stefanus Ridwan, untuk mengungkapkan kisah jual-beli tanah yang merugikan dirinya itu. Menurut Stefanus, Helena membeli tanah tersebut dari Probo pada Desember 1994, dengan harga Rp 13,5 miliar. Waktu itu Probo menjadi direktur utama perusahaan pengembang PT Intercon Enterprises. Tanah itu terdiri dari 56 kapling siap bangun. Helena sendiri berencana, kelak akan menjual kembali tanah itu. Apa daya, rencananya berantakan. Tanah yang dibelinya itu ternyata dikuasai PT Pancanusa Sentana. Menurut PT Pancanusa, pada Juni 1993, PT Intercon sudah sepakat menunjuk Pancanusa sebagai penjual tunggal lahan seluas 50 hektare di situ, termasuk tanah yang dibeli Helena. Untuk itu, Intercon menerima imbalan Rp 74,5 miliar dari Pancanusa. Helena semakin gusar ketika mengetahui bahwa belakangan tanah itu dikabarkan telah menjadi jaminan kredit di Bank Pembangunan Indonesia. Hal itu benar-benar tak sesuai dengan janji Probo, yang menyatakan bahwa tanah itu tak terikat perjanjian dengan pihak lain. Probo lalu menjanjikan bahwa Helena pasti bisa memperoleh tanahnya paling lambat 90 hari kemudian. Bila tidak, uang Helena akan dikembalikan plus bunga 20 persen setahun. Untuk memperkuat janjinya, Probo menjaminkan dua bidang tanah seluas hampir 1,7 hektare di Srengseng, Jakarta Barat. Ternyata, janji tinggal janji. Helena tak kunjung bisa memperoleh kembali uangnya, yang ditaksir sudah mencapai Rp 30 miliar. Lebih celaka lagi, tanah di Srengseng juga sudah dimiliki perusahaan lain, di antaranya PT Waringin. Padahal, sertifikat kedua bidang tanah itu masih di tangan Helena. Dan tidak cukup sampai di situ. Helena kemudian seperti dipingpong. Sewaktu ditagih, Probo berdalih bahwa ia sudah tak punya kaitan dengan PT Intercon. Itu karena sebagian besar saham Intercon sudah diambil alih Pancanusa. Dan Direktur Utama Pancanusa, Eddy Yuwono, menjadi Direktur Utama Intercon. Ketika Intercon ditagih, pemilik barunya mengatakan bahwa uang Helena menjadi tanggung jawab Probo. Merasa jengkel dipermainkan, Helena lalu memailitkan Intercon. Pada Juni silam, pengadilan niaga memvonis bangkrut Intercon. Selesai? Ternyata, belum. Soalnya, menurut Stefanus Ridwan, aset Intercon tak seberapa. Bahkan sebagian besar aset itu sudah dijadikan jaminan utang di berbagai bank. Akhirnya, melalui Pengacara Harry Pontoh, Helena mengadukan Probo ke kepolisian. Pengacara Probo, Abdul Fickar Hadjar, menganggap tuduhan Helena berlebihan. "Ini perkara perdata. Dengan pailitnya Intercon, seharusnya urusan itu selesai. Helena akan kebagian aset Intercon," kata Fickar, berkelit. Dengan demikian, perkaranya menjadi urusan Intercon, bukan tanggung jawab pribadi Probo. "Dulu, Probo selaku direktur utama Intercon cuma teken-teken di berbagai transaksi jual-beli tanahnya. Ia tak mengetahui bahwa tanah-tanah itu ternyata sudah dijual ke pihak lain oleh salah seorang direktur Intercon," tutur Fickar. Lagi pula, menurut Fickar, Helena tak seharusnya memerkarakan Probo. Sebab, pada 21 Juli lalu, sudah ada perdamaian antara Intercon dan Helena. Menurut perjanjian perdamaian itu, sementara menunggu hasil pelelangan aset Intercon, Helena akan diberi beberapa rumah kantor milik Intercon di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Bila alternatif itu gagal, Intercon akan mencicil utang Helena selama tiga tahun. Tapi soal perjanjian itu dibantah oleh Stefanus. "Perdamaian baru ada bila sudah terjadi pembayaran yang sesuai," ucapnya. Kalau begitu, masih panjang jalan yang harus ditempuh Helena sebelum ia mendapatkan kembali tanah senilai Rp 13,5 miliar itu. Dan muslihat Probo, tentu, tak bisa dianggap enteng. Happy S., Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus