Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Hutan "wah" di ibukota

Gaya arsitektur gedung departemen kehutanan manggala wanabhakti, dirancang oleh almarhum Ir. Sujudi dan arsitek-arsitek PT. Gubahlaras. diresmikan oleh presiden suharto. (ilt)

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDUNG yang baru di Senayan itu direncanakan untuk tidak menambah sumpek dan gersang belantara gedung Jakarta. Hujan, bagaikan restu, mengguyur Ibukota beberapa saat setelah Presiden meresmikan kompleks tersebut di tengah musim kemarau Rabu lalu. "Taman Hutan", dengan 2.000 jenis pohon yang ditanamkan di sekitar gedung itu, memang diharapkan menjadi kantung hujan buat kawasan Jakarta. Gedung itu sendiri menjadi markas pejabat dan pengusaha kehutanan seluruh Indonesia. Sesuai fungsinya, maka oleh Presiden Soeharto dinamakan Manggala Wanabakti. Seluruh kompleks Departemen Kehutanan yang terletak dekat arena olah raga Senayan itu meliputi 12 ha lebih. Denahnya mirip lapangan softball -- tempat pemain lari setengah lingkaran di sini adalah jalan masuk kompleks yang menyusuri taman. Sudut pusat permainan adalah gedung Manggala Wanabakti (MW) yang terdiri dari enam blok itu. Blok I menjulang setinggi 16 lantai menjadi perkantoran Departemen Kehutanan. Blok ini diapit dua gedung berlantai dua yang dipergunakan untuk auditorium (blok III) dan Klub Perkayuan atau Lumbering Club (blok II). Blok IV, yang dibangun 11 lantai dalam bentuk simpang tiga dan dilengkapi kolam renang, menjadi gedung sewaan -- sebagai sumber biaya pemeliharaan kompleks. Dua blok lainnya -- masing-masing berlantai dua -- adalah tempat mesin-mesin listrik (blok V) dan museum kehutanan (blok VI). Bagi mata awam, gedung MW ini menimbulkan kesan ruwet dan nyentrik. Baik di luar maupun ruangan-ruangannya berbentuk bagaikan pecahan kristal (amorf). Lantai dasar yang membentang 1,5 ha lapang dan terbuka. Semuanya memberi kesan hutan liar. Juga, "ada gaya monumental untuk mencerminkan kebesaran lembaga kehutanan," kata Menteri Kehutanan Soedjarwo pada peresmian gedung itu. MW dirancang arsitek aliran modern penganut gaya De Stijl, Almarhum Ir. Sujudi, bersama rekan-rekannya di PT Gubahlaras. "Di samping kekuatan artistik, kami juga menghormati bangunan yang telah ada," kata Nurpontjo, 48 tahun, yang ikut merancang. Yang dimaksud arsitek lulusan ITB ini yakni kompleks "telinga gajah" MPR/DPR, yang juga buah cipta Sujudi. "Ciri Indonesia, yakni konsep bangunan Jawa dan Bali, kami bentuk juga berkesinambungan di sini," tambah Nurpontjo. Sesuai kehendak Presiden, bahan gedung hampir semuanya produksi dalam negeri. Hanya rangka baja dan atap pelat tembaga yang diimpor. Selebihnya, dari kayu-kayuan, keramik sampai marmar, semuanya barang lokal. Repotnya, karena banyak bahan belum diproduksi secara standar, maka harga pesanan khusus ini jatuhnya lebih mahal. Total biaya pembanunan, Rp 50 milyar, ini alhasil memberi kesan "wah" juga: Di lantai dasar tersusun pualam dan di lantai selebihnya beralas bahan kayu. Ruangan-ruangan diberi nama menurut bahan kayu yang dipakai, misalnya, Meranti Room, Jati Room, Ramin Room, dan sebagainya. Sejak peletakan batu pertama, 1976, kompleks yang dirancang Sujudi pada 1973 itu harus mengalami 16 kali perombakan dan perbaikan selama masa pembangunannya. Konon arsitek luar negeri yang meninjaunya tercengang mendengar MW hanya dikerjakan oleh 9 arsitek Gubahlaras. "Di Jepang atau Eropa, karya seperti ini dikerjakan paling tidak oleh 40 arsitek," kata Nurpontjo dengan bangga. Sayang perancangnya, Sujudi, meninggal sebelum gedung itu diresmikan. "Pekerjaan sudah rampung, lalu ia sakit dan meninggal pada 1981," kata lr. Abukasan Atmodirono, direktur Gubahlaras. Persyaratan praktis dan keamanan dipenuhi gedung Manggala Wanabakti. Ada pemancar radio, SSB, dan satu skuadron helikopter melengkapi sarana komunikasi telepon dan teleks. Agaknya, "angin hutan" bisa menerbangkan kertas-kertas kerja dalam ruangan itu, seperti pernah dialami gedung MPR/DPR, sehingga perlu dipasang AC. Di kompleks kehutanan itu memang bukan hanya urusan kayu-kayuan melulu kegiatannya. Berbagai perusahaan perkayuan, bank, sampai restoran telah menyewa 55% ruangan di blok IV, dengan tarif dollar antara Rp 18 ribu-Rp 22 ribu per meter per bulan. "Kami akan mengusahakan akhir tahun sudah tersewa 85%, supaya biaya perawatan gedung bisa tersedia," kata Menteri Soedjarwo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus