Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Skripsi riwayat hidup

Mulai tahun 1983 membolehkan penulisan biografi tokoh kepolisian sebagai skripsi. mendapat tanggapan dari berbagai pihak tentang bobot dari skripsi itu. (pdk)

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SOEKANTO mulai tugasnya dengan penuh kesulitan, serba penuh kekurangan, bukan saja dalam menghadapi kekacauan dan pertempuran yang timbul akibat pendaratan Belanda yang membonceng lewat nama Sekutu, tapi segala sesuatu yang menyangkut perlengkapan kepolisian." Kisah tersebut tercantum dalam skripsi seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian yang mendapat nilai memuaskan. Dan jangan kaget, bia skripsi setebal 169 halaman itu hanya berkisah tentang liku-liku hidup Soekanto Tjokrodiatmodjo, kepala Kepolisian RI pertama. Memang, agak menyimpang dari kebiasaan akademis selama ini, PTIK mulai tahun lalu membolehkan penulisan biografi sebagai skripsi. Tahun itu muncul tujuh skripsi biografi di antara 156 skripsi. Dan dari 170 sarjana baru PTIK angkatan ke-18, yang diwisuda Juni yang lalu, 34 di antaranya menuliskan skripsi riwayat hidup tokoh kepolisian kita, antara lain Hoegeng Imam Santoso dan Anton Sudjarwo. Mengundang pertanyaan, seperti yang pernah dilontarkan dalam rubrik surat pembaca di sebuah harian Jakarta, bila cuma sebuah tulisan riwayat hidup bisakah sama nilainya dengan skripsi yang membahas liku-liku peredaran narkotika, misalnya? "Dengan mengungkapkan biografi seorang polisi," kata Dekan PTIK Prof. Dr. Harsja Bachtiar, "kita dapat mengetahui perkembangan kepolisian." Menurut dekan PTIK sejak 1980 ini, dari biografi itu banyak hal bisa dicatat: jenis kejahatan pada periode tertentu, persoalan kepolisian pada tahun-tahun tertentu. "Malahan, kalau skripsi itu dibuat dengan mendetil dan baik, bisa saja mengungkapkan kelemahan kepolisian yang selama ini tak diketahui," tambah ahli sejarah dan sosiologi keluaran Harvard University itu. Masalahnya agaknya, memang bukan apakah skripsi itu berwujud biografi atau bukan. Tapi, seberapa jauh skripsi itu memenuhi syarat sebagai laporan ilmiah, seperti dikatakan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. "Bila sebuah skripsi sudah mengandung hipotesa, penelitian lapangan atau literatur, dan ada kesimpulan yang ditarik dari data-data yang dikumpulkan," kata Prof. Dr. Doddy Tisna Amidjaja, Direktur Jenderal itu, "itu sudah cukup." Dua skripsi biografi PTIK yang tahun ini dianggap baik, tentang Soekanto dan Anton Sudiarwo, memang menyajikan data-data dan peristiwa dengan akurat. Terang ini membutuhkan ketekunan pengumpulan data dan kekritisan pengecekan salahbenarnya. Tapi dari peristiwa yang disajikan lantas tidak disuratkan apa yang tersirat. Dalam skripsi Kapten (Pol) Deddy Komarudin tentang Jenderal Soekanto misalnya. Diceritakan betapa Soekanto mempertahankan kedudukan Jawatan Kepolisian ketika mau dipindahkan dari Kementerian Dalam Negeri ke Kehakiman. Tak disinggung di sini, makna peristiwa itu bagi kepolisian kita. Skripsi biografi PTIK memang sekadar membeberkan perjalanan hidup seseorang. Tapi mutlakkah skripsi? Menurut Ir. A.M. Luthfi, seorang dosen ITB, keharusan menyusun skripsi bagi mahasiswa Arsitektur ITB baru dimulai awal 1970-an. "Dulu cuma ujian khusus untuk tiap mata kuliah," katanya. Dan menurut Ir. Boy Mewengkang, dekan Fakultas Teknik UI, keharusan menulis skripsi bagi mahasiswa fakultas teknik hanyalah untuk "memaksa mereka belajar menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan." Tapi bagi Dr. Nurhadi Magetsari, dekan Fakultas Sastra UI, skripsi memang perlu ditulis bagi calon sarjana. Dari skripsi bisa diketahui pemahaman mahasiswa terhadap semua mata kuliah yang pernah diterimanya, selain kemampuan menuliskan pemikirannya, katanya. Agaknya, untuk tiap bidang disiplin ilmu kebutuhan adanya penulisan skripsi berbeda. "Bagi disiplin ilmu yang lebih membutuhkan kerja praktek, kedokteran misalnya, skripsi boleh tak ada," kata Harsja. Itu sebabnya Harsja ketika menjadi dekan FSUI, 1969-1975, pernah menghapus keharusan menyusun skripsi bagi mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI. Jurusan itu bagi Harsja lebih membutuhkan kerja praktek. Kalau kini ia agak melonggarkan penulisan skripsi di PTIK, mungkin itu sebagai perintisan usaha penulisan sejarah kepolisian RI. Kenyataannya data dan peristiwa sejarah kepolisian belum banyak diungkapkan. Dalam buku Almanak Kepolisian RI, misalnya, sejarah kepolisian hanya diuraikan singkat dan kurang jelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus