DARI mulut lelaki Belanda itu meluncur dengan fasih tembang
macapat -- puisi Jawa yang dilagukan -- dari jenis maskumambang,
menceritakan kisah pewayangan dari buku Brotoyudo karya Raden
Ngabehi Yosodipuro, sastrawan Kraton Kasunanan Surakarta di abad
lampau. Benharaed Arbe, 22 tahun, sejak remaja sudah tertarik
pada kebudayaan Jawa. Mahasiswa Universitas Leiden, Negeri
Belanda itu, kini mendalami sastra Jawa di Akademi Seni
Karawitan Indonesia di Sala.
Setiap malam Selasa Kliwon -- yang muncul setiap 35 hari sekali
dan oleh kalangan masyarakat Jawa dianggap sebagai malam
keramat, disebut malam hanggoro kasih -- Ben selalu hadir dalam
acara macapatan yang diselenggarakan Proyek Javanologi di
Yogyakarta. Dalam acara itu didiskusikan berbagai hal mengenai
sastra Jawa. Pembacaan puisi kuno seperti, di Proyek Javanologi
pada 1 Agustus itu sejak dulu merupakan tradisi masyarakat Jawa.
Javanologi, sebagai proyek Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P dan K, diresmikan
Menteri P dan K (waktu itu) Dr. Daoed Joesoef pada Juni 1982.
Dimaksudkan sebagai pusat penelitian dan pengembangan kebudayaan
Jawa, tujuan dan proram kegiatannya banyak. Tapi belakangan
Menteri P dan K Nugroho Notosusanto sendiri mengkritik
berdirinya proyek yang dianggapnya, "bisa membahayakan persatuan
bangsa" itu.
Di depan Komisi IX DPR, bulan lalu, Menteri menyatakan: "Proyek
Javanologi tidak boleh berdiri sendiri, tapi akan dilengkapi
dengan studi budaya lain dari seluruh suku bangsa, sehingga
terangkum dalam Proyek Indonesianologi."
Menurut Soeroso, M.A., ketua proyek yang juga bekas rektor UGM,
Javanologi sebenarnya mencoba menjajaki kemungkinan bangsa
Indonesia berpegang pada filsafatnya sendiri. Hal itu, misalnya,
bisa digali dari filsafat dan kebudayaan daerah, antara lain
dari Jawa, yang sumbernya memang cukup banyak seperti,
karya-karya pujangga Ronggowarsito atau Mangkunegoro IV.
Sehingga proyek ini tampak hanya berkiblat pada kultur priayi
yang bersumber dari Kraton Sala-Yogya -- dua kawasan yang selama
ini dianggap center of excellence (pusat paling jempol)
kebudayaan Jawa. Sub-kultur Jawa yang lain, misalnya, Jawa
Timuran atau Jawa Pesisiran, belum mendapat tempat.
Namun proyek ini banyak bisa diharapkan manfaatnya. Selama ini
studi mengenai hal itu -- juga mengenai sub-kultur Indonesia
yang lain -- terpaksa digali di Negeri Belanda. Di abad ke-18
sebuah lembaga ilmiah Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en
Wetenschappen pernah menerbitkan berkala Bibliotheca Javanica.
Bahkan puluhan tahun sesudah itu Instituut voor de Javaansche
Taal, yang didirikan di Sala, diboyong ke Delft kemudian dilebur
ke dalam Universitas Leiden.
Toh muncul kritik, misalnya, dari Dick Hartoko, budayawan
terkemuka dari Yogyakarta. Ia menyangsikan Javanologi bisa
menomorsatukan kegiatan ilmiah. "Sebab setahu saya, sampai saat
ini proyek lebih mengarah pada kegiatan kebatinan," kata pastor
yang juga pengasuh majalah budaya Basis itu. Barangkali karena
kegiatan Javanologi hampir selalu diselenggarakan pada hari-hari
keramat menurut kepercayaan Jawa. Peresmian berdirinya pun
sengaja diselenggarakan pada malam Selasa Kliwon.
Kebatinan atau bukan, ilmu atau ngelmu, gedung Javanologi di
Jalan Cik Di Tiro, bekas Lembaga Musikologi yang tak jauh dari
kampus UGM itu, sehari-hari sepi. Toh kegiatan ada. Sejak
diresmikan tahun lalu, beberapa ceramah diselenggarakan di
berbagai kota di Jawa Tengah. Ceramah ilmiah secara rutin
diselenggarakan dua kali sebulan. Selain menghimpun buku-buku
langka -- kebanyakan bertulis tangan -- Javanologi sudah
menerjemahkan 22 buku dari bahasa Belanda dan Inggris.
Dalam usia yang masih sangat muda proyek ini telah menghimpun
buku-buku tak kurang dari 10 lemari, antara lain sumbangan dari
Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV),
sebuah lembaga ilmiah di Negeri Belanda yang banyak menerbitkan
publikasi mengenai Indonesia. Antara lain majalah Pustaka Jawi
(terbitan 1924-1941), majalah Djawa (dalam bahasa Belanda,
terbitan 1926-1941). Juga arsip dalam micro film. "Untuk studi
Javanologi, satu saat kelak tak perlu lagi ke Leiden. Cukup ke
Yogya," kata Soeroso.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini