Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ilmu jawa atau kebatinan

Javanologi, sebagai pusat penelitian dan pengembangan kebudayaan jawa (proyek bp3k), dikritik oleh menteri p dan k, nugroho notosusanto. akan dijadikan proyek indonesianologi.(ilt)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI mulut lelaki Belanda itu meluncur dengan fasih tembang macapat -- puisi Jawa yang dilagukan -- dari jenis maskumambang, menceritakan kisah pewayangan dari buku Brotoyudo karya Raden Ngabehi Yosodipuro, sastrawan Kraton Kasunanan Surakarta di abad lampau. Benharaed Arbe, 22 tahun, sejak remaja sudah tertarik pada kebudayaan Jawa. Mahasiswa Universitas Leiden, Negeri Belanda itu, kini mendalami sastra Jawa di Akademi Seni Karawitan Indonesia di Sala. Setiap malam Selasa Kliwon -- yang muncul setiap 35 hari sekali dan oleh kalangan masyarakat Jawa dianggap sebagai malam keramat, disebut malam hanggoro kasih -- Ben selalu hadir dalam acara macapatan yang diselenggarakan Proyek Javanologi di Yogyakarta. Dalam acara itu didiskusikan berbagai hal mengenai sastra Jawa. Pembacaan puisi kuno seperti, di Proyek Javanologi pada 1 Agustus itu sejak dulu merupakan tradisi masyarakat Jawa. Javanologi, sebagai proyek Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P dan K, diresmikan Menteri P dan K (waktu itu) Dr. Daoed Joesoef pada Juni 1982. Dimaksudkan sebagai pusat penelitian dan pengembangan kebudayaan Jawa, tujuan dan proram kegiatannya banyak. Tapi belakangan Menteri P dan K Nugroho Notosusanto sendiri mengkritik berdirinya proyek yang dianggapnya, "bisa membahayakan persatuan bangsa" itu. Di depan Komisi IX DPR, bulan lalu, Menteri menyatakan: "Proyek Javanologi tidak boleh berdiri sendiri, tapi akan dilengkapi dengan studi budaya lain dari seluruh suku bangsa, sehingga terangkum dalam Proyek Indonesianologi." Menurut Soeroso, M.A., ketua proyek yang juga bekas rektor UGM, Javanologi sebenarnya mencoba menjajaki kemungkinan bangsa Indonesia berpegang pada filsafatnya sendiri. Hal itu, misalnya, bisa digali dari filsafat dan kebudayaan daerah, antara lain dari Jawa, yang sumbernya memang cukup banyak seperti, karya-karya pujangga Ronggowarsito atau Mangkunegoro IV. Sehingga proyek ini tampak hanya berkiblat pada kultur priayi yang bersumber dari Kraton Sala-Yogya -- dua kawasan yang selama ini dianggap center of excellence (pusat paling jempol) kebudayaan Jawa. Sub-kultur Jawa yang lain, misalnya, Jawa Timuran atau Jawa Pesisiran, belum mendapat tempat. Namun proyek ini banyak bisa diharapkan manfaatnya. Selama ini studi mengenai hal itu -- juga mengenai sub-kultur Indonesia yang lain -- terpaksa digali di Negeri Belanda. Di abad ke-18 sebuah lembaga ilmiah Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen pernah menerbitkan berkala Bibliotheca Javanica. Bahkan puluhan tahun sesudah itu Instituut voor de Javaansche Taal, yang didirikan di Sala, diboyong ke Delft kemudian dilebur ke dalam Universitas Leiden. Toh muncul kritik, misalnya, dari Dick Hartoko, budayawan terkemuka dari Yogyakarta. Ia menyangsikan Javanologi bisa menomorsatukan kegiatan ilmiah. "Sebab setahu saya, sampai saat ini proyek lebih mengarah pada kegiatan kebatinan," kata pastor yang juga pengasuh majalah budaya Basis itu. Barangkali karena kegiatan Javanologi hampir selalu diselenggarakan pada hari-hari keramat menurut kepercayaan Jawa. Peresmian berdirinya pun sengaja diselenggarakan pada malam Selasa Kliwon. Kebatinan atau bukan, ilmu atau ngelmu, gedung Javanologi di Jalan Cik Di Tiro, bekas Lembaga Musikologi yang tak jauh dari kampus UGM itu, sehari-hari sepi. Toh kegiatan ada. Sejak diresmikan tahun lalu, beberapa ceramah diselenggarakan di berbagai kota di Jawa Tengah. Ceramah ilmiah secara rutin diselenggarakan dua kali sebulan. Selain menghimpun buku-buku langka -- kebanyakan bertulis tangan -- Javanologi sudah menerjemahkan 22 buku dari bahasa Belanda dan Inggris. Dalam usia yang masih sangat muda proyek ini telah menghimpun buku-buku tak kurang dari 10 lemari, antara lain sumbangan dari Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV), sebuah lembaga ilmiah di Negeri Belanda yang banyak menerbitkan publikasi mengenai Indonesia. Antara lain majalah Pustaka Jawi (terbitan 1924-1941), majalah Djawa (dalam bahasa Belanda, terbitan 1926-1941). Juga arsip dalam micro film. "Untuk studi Javanologi, satu saat kelak tak perlu lagi ke Leiden. Cukup ke Yogya," kata Soeroso.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus