Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mary Jane dari Blitar

Perempuan asal Blitar divonis penjara seumur hidup di Filipina karena kasus narkotik. Ada dugaan ia korban perdagangan manusia.

1 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mary Jane dari Blitar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOCAH tujuh tahun itu menggelayut manja di pelukan ibunya, Dwi Wulandari, Rabu tiga pekan lalu. Inilah pertemuan pertama Kasa Devi Kifana Efendi Putri dengan sang bunda setelah terpisah selama lima tahun lebih. Ibu dan anak ini bertemu di tempat yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya: The Correctional Institution for Women atau penjara khusus perempuan di Mandaluyong, Filipina.

Kasa Devi datang ke penjara itu bersama kakak perempuannya, Deviana Riska, dan sang nenek, Pujiatustik. Mereka bisa membesuk Dwi Wulandari karena difasilitasi Kementerian Luar Negeri dan Migrant Care, lembaga nirlaba yang menangani masalah buruh migran. Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dan salah seorang perwakilan Kedutaan Besar RI Manila juga ikut dalam kunjungan tersebut.

Sepanjang pertemuan yang berlangsung hampir lima jam itu, Dwi yang mengenakan rompi tahanan berkelir jingga terus mendekap kedua buah hatinya. Perempuan 37 tahun itu berurai air mata ketika Kasa Devi bertanya kepadanya kapan mereka bisa berkumpul bersama lagi di rumah sang nenek di Blitar, Jawa Timur. "Bunda kapan pulang?" ujar Kasa Devi. Sambil terisak, Dwi menjawab pertanyaan anak keduanya itu. "Kalian sekolah yang rajin saja. Jangan seperti Bunda."

Ibu Dwi, Pujiatustik, juga tak kuasa menahan haru menyaksikan kondisi anak kandungnya itu. Beberapa kali ia menyeka air mata mendengar percakapan Dwi dan anaknya. "Tapi saya lega dan senang karena mereka akhirnya bisa bertemu setelah lama terpisah," kata Pujiatustik menceritakan kembali pertemuannya dengan Dwi di penjara Filipina kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Dwi Wulandari menghuni penjara itu sejak 2012. Philippine Drug Enforcement Agency atau semacam Badan Narkotika Nasional (BNN) Filipina menangkap perempuan asal Blitar ini pada 30 September 2012. Mereka menemukan sekitar enam kilogram narkotik jenis kokain dari salah satu tas yang dibawa Dwi, yang baru mendarat dari Lima, Peru, di Terminal 1 Bandar Udara Internasional Ninoy Aquino, Filipina.

Petugas awalnya curiga melihat Dwi kepayahan membawa salah satu koper. Setelah memeriksa tas Dwi itu, petugas menemukan kokain yang dimasukkan ke plastik fiber dan dibungkus kertas karbon untuk mengelabui pintu pemeriksaan. Dengan bukti itu, mereka menangkap Dwi.

Setelah melalui proses pemeriksaan dan persidangan yang panjang, pertengahan tahun lalu, Dwi diganjar hukuman seumur hidup. Pada Januari lalu, pengacara yang ditunjuk Kedutaan Besar RI di Manila mengajukan permohonan banding atas putusan tersebut. "Sampai sekarang kami menunggu hasilnya," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir.

Sebermula, Dwi terjerat kasus ini karena tergiur tawaran pekerjaan salah satu kenalannya di forum pekerja luar negeri di jejaring sosial Facebook. Ketika itu, pertengahan 2012, seorang anggota forum Facebook yang mengaku bernama Erna mengajak Dwi bekerja di Cina. Bukan sebagai buruh, Erna mengajak Dwi berbisnis impor tas dari Cina untuk dipasok ke Indonesia. Karena kepincut keuntungan besar yang dijanjikan Erna, Dwi menerima tawaran itu.

Bekerja di luar negeri sebenarnya bukan hal baru bagi Dwi. Lulusan sekolah menengah atas ini sudah pernah menjadi asisten rumah tangga di Malaysia serta buruh di Makau dan Hong Kong. Ia baru kembali ke kampung halamannya pada medio 2009 untuk menikah. Belakangan, ia bercerai dari suaminya.

Karena menjadi tulang punggung keluarga, Dwi memutuskan kembali mencari pekerjaan di luar negeri. Hingga pada akhirnya datanglah tawaran dari Erna. Menurut Pujiastutik, Dwi mempercayai Erna karena kepada anaknya itu dia mengaku juga berasal dari Blitar. Dwi juga menganggap Erna serius karena ia yang menanggung segala urusan tiket keberangkatannya ke Cina. "Dwi hanya tinggal berangkat," ujar Pujiastutik.

Pada akhir Agustus 2012, Dwi tiba di Kuala Lumpur, Malaysia, lewat penerbangan Surabaya-Jakarta-Kuala Lumpur. Menurut Pujiastutik, anaknya sempat singgah di kota tersebut sebelum ke Cina. Dua hari di Malaysia, Dwi mengabari ibunya bahwa ia mendapat tugas dari Erna untuk pergi ke India buat membantu menjual karpet.

Hanya sekitar dua hari di India, Dwi diminta Erna ke Hong Kong. Di sanalah keduanya bertemu. Dalam pertemuan itu, Erna tidak langsung membicarakan bisnis tas. Ia menyuruh Dwi pergi ke Lima untuk mengambil barang. Dwi pun menjalankan tugas itu. Setelah transit di beberapa negara, ia tiba di ibu kota Peru itu pada 10 September 2012.

Di Lima, ia bertemu dengan seseorang yang mengaku sebagai kenalan Erna dan menitipkan sebuah tas untuk dibawa ke Filipina. Ketika Dwi dalam perjalanan menuju bandara di Peru, ada seseorang yang mengaku sebagai kerabat Erna bermaksud menukar tas. Orang ini mengatakan tas yang dibawa Dwi keliru. Dwi percaya begitu saja. Karena membawa tas ini ketika hendak masuk ke Filipina, Dwi akhirnya tersandung hukum di negara tersebut.

Pujiastutik mendengar kabar penangkapan anaknya itu setelah dihubungi pihak Kedutaan Besar RI di Manila. "Saya sudah punya firasat buruk ketika Dwi pamit mau kerja lagi di luar negeri," kata perempuan 59 tahun yang sehari-hari berjualan sayuran ini.

Pada akhir 2012, keluarga menghubungi Migrant Care untuk meminta pendampingan. Kepada timnya, menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, Dwi mengaku tidak mengetahui tas yang dibawanya dari Lima berisi kokain. "Ada dugaan ia menjadi korban sindikat narkotik internasional dan perdagangan manusia," ujarnya.

Menurut Anis, kasus Dwi ini memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi pada Mary Jane. Warga negara Filipina itu divonis mati penegak hukum Indonesia karena kedapatan membawa 2,6 kilogram heroin begitu tiba di Bandara Yogyakarta pada 2010. "Kasusnya mirip yang dialami Dwi," katanya.

Mary Jane lepas dari regu tembak setelah Presiden Joko Widodo menunda eksekusinya yang dijadwalkan akhir April 2015. Menteri Kehakiman Filipina Leila de Lima menyurati pemerintah Indonesia agar menunda eksekusi. Pemerintah Filipina menyatakan memerlukan keterangan Mary untuk penyelidikan Maria Kristina Sergio, yang diduga merekrutnya. Kristina yang meminta Mary terbang ke Yogya. Ia juga yang menyediakan tiket pulang-pergi dan uang US$ 500 serta dititipi koper yang belakangan diketahui berisi heroin.

Karena meyakini Dwi sebagai korban kejahatan sindikat internasional, pada 2014, Migrant Care melaporkan perkara ini ke BNN. Anis mengatakan BNN ketika itu menjanjikan akan menelusuri jalur perdagangan narkotik internasional yang menyeret Dwi. "Tujuannya adalah meringankan hukuman Dwi," ucap Anis.

Menurut juru bicara BNN, Komisaris Besar Sulistiandriatmoko, lembaganya tidak pernah menerima surat atau dokumen apa pun terkait dengan penanganan perkara Dwi. "Sudah saya cek, tak ada surat ataupun dokumen terkait dengan kasus itu," katanya.

Pujiastutik berharap anaknya bisa bebas dan kembali ke kampung halaman di Desa Tangkil, Kecamatan Wlingi, Blitar. Masih terngiang-ngiang di telinga Pujiastutik perkataan Kasa Devi saat di Bandara Ninoy Aquino ketika mereka akan kembali ke Tanah Air setelah mengunjungi Dwi. "Dia bilang beberapa kali ibunya mau menyusul pulang," ujar Pujiastutik.

Hari Tri Wasono (blitar), Syailendra Persada (jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus