Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUDUK dengan posisi tegak di kursi pesakitan sejak persidangan dimulai, Setya Novanto khusyuk menyimak pembacaan tuntutan perkaranya oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi pada Kamis pekan lalu. Sesekali terdakwa kasus megakorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) itu menggerak-gerakkan kakinya dan menundukkan kepala.
Dua jam berselang, Setya baru merebahkan punggungnya di sandaran kursi, tak lama setelah jaksa membacakan penggalan tuntutan yang memuat permohonannya sebagai justice collaborator. Lima kali mengajukan upaya ini ke KPK sejak Januari lalu, Setya baru mendapatkan jawaban permohonannya itu saat sidang pembacaan tuntutan. "Terdakwa belum memenuhi kualifikasi justice collaborator," kata jaksa KPK, Abdul Basir, saat membacakan berkas tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat.
Menurut jaksa, perbuatan dan keterangan bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu belum memenuhi ketentuan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban serta Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang whistleblower dan justice collaborator. Setya, misalnya, dianggap belum signifikan membongkar kejahatan proyek yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu. Jaksa juga menilai Setya belum membuka pelaku besar lain perkara e-KTP dan belum mengembalikan seluruh hasil kejahatannya.
Bekas Ketua Umum Partai Golkar itu mengajukan permohonan justice collaborator agar KPK memberikan tuntutan ringan kepadanya. Tapi komisi antikorupsi berkata lain. Menurut jaksa, hal yang meringankan Setya hanya karena ia belum pernah dihukum, bersikap sopan di persidangan, dan menyesali perbuatannya.
Menurut jaksa, fakta persidangan menunjukkan hal-hal yang memberatkan dan membuktikan tuduhan kepada Setya. Dalam tuntutannya, jaksa menyebutkan Setya terbukti mengintervensi pembahasan anggaran dan pengadaan hingga mendapatkan keuntungan dari proyek senilai Rp 5,9 triliun itu. Jaksa berkesimpulan fakta persidangan menunjukkan Setya telah memperoleh US$ 1,8 juta dan US$ 2 juta serta Sin$ 383 ribu dari proyek e-KTP.
Karena perbuatan Setya itu, jaksa menyatakan timbul dampak yang merugikan masyarakat sampai saat ini menyangkut data kependudukan. "Terdakwa juga tidak bersikap kooperatif, baik selama penyidikan maupun persidangan," ujar salah satu jaksa KPK saat bergiliran membacakan berkas tuntutan.
Di ujung pembacaan berkas tuntutan yang berlangsung sekitar empat jam, jaksa meminta majelis hakim yang dipimpin Yanto menghukum Setya 16 tahun penjara. Jaksa juga mengajukan tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik politikus Golkar itu.
Setya tak menyangka bakal dituntut hukuman seberat itu. "Terus terang saya sebagai manusia biasa sangat kaget mendapat tuntutan yang begitu berat ini," katanya.
KEINGINAN Setya Novanto menjadi justice collaborator sesungguhnya sudah muncul dua pekan setelah ia ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 17 November 2017. Kepada tim pengacaranya, Setya menyampaikan keinginannya itu dalam beberapa kesempatan saat bertemu dengan mereka di ruang tahanan gedung KPK di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. "Saat itu baru sebatas obrolan," ujar Maqdir Ismail, salah satu pengacara Setya.
Demi mengejar hukuman ringan ini, Setya mengajukan permohonan sebagai justice collaborator. Ia baru secara resmi mengajukan permohonan itu pada awal Januari lalu. Setya menulis sendiri draf naskahnya dan menyerahkannya langsung saat diperiksa penyidik KPK.
Surat permohonan menjadi kolaborator itu berisi beberapa poin penting. Pertama, Setya meminta agar hukuman yang bakal ditimpakan kepadanya bisa lebih ringan. Kedua, KPK menjamin keamanan istri dan anak-anaknya. Ketiga, Setya berjanji memberikan nama-nama anggota Dewan penerima uang e-KTP.
Dalam empat halaman surat permohonan itu, Setya baru mengungkap nama-nama penerima suap proyek kartu tanda penduduk elektronik di Kementerian Dalam Negeri pada 2010-2011 dari DPR persis seperti yang disebutkan dalam dakwaan di pengadilan. Misalnya legislator Partai Hanura, Miryam S. Haryani, dan Gubernur Jawa Tengah dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ganjar Pranowo. Dalam beberapa kesempatan, Miryam dan Ganjar sudah membantah tuduhan itu.
Karena tidak mendapat tanggapan dari KPK, Setya kembali mengajukan permohonan serupa. Kali ini ia menuliskan dua penerima baru. Dalam permohonan itu, menurut Maqdir, Setya menulis dua posisi baru di DPR yang diduga menerima duit proyek e-KTP. "Di permohonan itu baru disampaikan salah satu ketua fraksi dan pemimpin DPR," ucap Maqdir.
Setya belum menulis jelas dua nama yang dimaksud karena tim pengacaranya memberi masukan bahwa kesaksian Setya terbilang belum kuat. Ini karena tidak ada saksi yang mengetahui penyerahan uang itu. Kepada tim pengacaranya, Setya mengatakan mengetahui nama-nama itu dari dua orang dekatnya, Made Oka Masagung dan Andi Narogong, ketika mereka berkunjung ke rumahnya di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, pada Oktober 2012. "Ada konflik batin untuk menyebut atau tak menyebut nama," ujar Maqdir.
Setya baru menyebutkan secara jelas dua nama baru itu dalam permohonan justice collaborator pada 20 Februari lalu. Dalam permohonannya itu, ia menuliskan salah satu ketua fraksi di DPR yang ia maksud adalah Puan Maharani, kini Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Saat pembahasan proyek e-KTP bergulir pada 2009-2012, Puan adalah Ketua Fraksi PDI Perjuangan. Adapun pemimpin DPR yang dimaksud Setya adalah Pramono Anung, kini Sekretaris Kabinet. "Dua nama itu memang disebut tegas pada permohonan justice collaborator 20 Februari," kata Maqdir.
Permohonan itu disampaikan Setya sehari setelah Muhammad Nazaruddin memberikan kesaksian di persidangannya. Menurut Nazar, yang ketika itu anggota DPR dari Fraksi Demokrat, koordinator Badan Anggaran Komisi Pemerintahan DPR, Mustokoweni Murdi, pernah bercerita kepadanya bahwa semua pemimpin fraksi DPR mendapat bagian duit e-KTP. Politikus Golkar yang meninggal pada Juni 2010 itu, menurut Nazar, orang yang membagikan duit e-KTP ke DPR. "Menurut laporan Bu Mustoko, semua terealisasi," ujar bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu.
Kendati dalam permohonannya sudah tegas menyebutkan nama-nama penerima, Setya tak kunjung mendapatkan jawaban dari KPK soal justice collaborator ini. Karena tak kunjung mendapatkan respons, Setya mengungkap dua nama itu saat diperiksa sebagai terdakwa dalam persidangan perkaranya, Kamis dua pekan lalu. "Itu untuk Puan Maharani US$ 500 ribu dan Pramono Anung US$ 500 ribu," kata Setya, yang mengaku mendapat informasi itu dari Made Oka Masagung di rumahnya di Jalan Wijaya. Menurut Setya, ada Andi Narogong juga ketika itu.
Dalam persidangan kasusnya, Andi-yang sudah divonis 8 tahun penjara dalam proyek e-KTP-sempat memberi kesaksian bahwa ia pernah diundang Setya ke rumahnya untuk dipertemukan dengan Oka. Andi menyebutkan waktunya sekitar November 2012. Menurut Andi, Setya ketika itu mengatakan Oka yang akan mengurus fee proyek e-KTP untuk DPR. "Pak Novanto mengatakan Pak Oka Masagung yang akan mengurusi fee ke DPR karena punya jaringan luas," ujarnya.
KPK sudah menetapkan Made Oka Masagung sebagai tersangka karena diduga menjadi perantara jatah proyek e-KTP bagi Setya melalui dua perusahaannya di Singapura. Total dana yang diterima Oka yang kemudian diteruskan kepada Setya sebesar US$ 3,8 juta. "MOM (Made Oka Masagung) diduga juga menjadi perantara fee untuk anggota DPR sebesar 5 persen dari proyek e-KTP," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Melalui pengacaranya, Bambang Hartono, Made Oka Masagung membantah pernah memberi tahu Setya soal pemberian uang kepada Puan Maharani dan Pramono Anung pada Oktober 2012. "Pernyataan itu tidak benar karena Pak Made (Oka) tak pernah ke rumah Setya Novanto pada Oktober 2012," ujar Bambang.
Puan Maharani mengatakan tidak pernah menerima uang terkait dengan proyek KTP elektronik. "Selama menjadi ketua fraksi, saya tidak pernah membahas e-KTP," kata Puan, Jumat dua pekan lalu. Pramono Anung pun membantah "nyanyian" Setya di persidangan. "Saya itu enggak pernah ngomong satu kata pun yang berurusan dengan e-KTP," ucapnya.
Terhadap permohonan Setya, KPK memiliki alasan tak mengabulkannya. Syarat utama menjadi justice collaborator, kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, Setya harus mengakui kejahatannya lebih dulu bahwa ia menerima uang dan merupakan otak dari korupsi ini. Sampai sidang tuntutannya, Setya membantah menerima aliran duit e-KTP. Dia memang mengaku sudah mengembalikan Rp 5 miliar ke KPK, tapi duit itu ia sebut sebagai pengganti uang yang dibagi-bagikan kepada anggota DPR. "Jadi jangan setengah hati," ujar Febri.
Atas pengakuan Setya yang menyebut nama-nama penerima dana, menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, lembaganya akan menjadikan informasi itu sebagai petunjuk awal. Kelemahannya, kata dia, Setya mengatakan hal itu bukan dalam kapasitasnya sebagai orang yang membagi-bagikan uang kepada orang-orang yang ia sebut. "Keterangan itu juga perlu diwaspadai KPK karena Setya menyebutkan beberapa nama tapi dia sendiri tidak mengakuinya," ujar Syarif.
Seorang penegak hukum di KPK mengatakan sejak awal pengakuan Setya itu tidak ada gunanya bagi pengusutan korupsi e-KTP. Semua itu, kata dia, merupakan siasat Setya agar hukumannya ringan. Apalagi, menurut sumber ini, Setya tak pernah menuangkannya dalam berita acara pemeriksaan perkaranya atau saat diperiksa untuk tersangka e-KTP lainnya. "Informasi yang dia sampaikan itu juga dari orang lain," ucapnya.
Maqdir Ismail menyadari pengakuan kliennya itu lemah karena bersandar pada pernyataan orang lain. Kesaksian testimonium de auditu semacam ini, kata dia, bukan alat bukti, melainkan hanya sebuah petunjuk. Maqdir meminta KPK tetap menindaklanjuti pengakuan Setya itu. "Risiko pengakuan ini sangat besar karena tidak ada perlindungan KPK," tutur Maqdir. "Yang juga penting, dia mengungkapkan bahwa ada nama lain yang selama ini belum pernah terungkap."
Kendati sudah mendapat penolakan jaksa, Setya tetap akan memperjuangkan permohonannya di sidang berikutnya. Ia berjanji mengungkap detail-detail kasus itu. "Nanti lihat saja di sidang pembacaan pleidoi," ujarnya.
Syailendra Persada, Anton Aprianto, Andita Rahma, Caesar Akbar, Vindry Florentin, Ahmad Faiz
Peluru Hampa
DALAM berkas tuntutan yang dibacakan jaksa pada Kamis pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menolak permohonan justice collaborator Setya Novanto. Kesaksiannya yang mengungkap sejumlah nama dianggap sebagai peluru hampa.
Ketentuan Justice Collaborator
- Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban: "Kesaksian seorang pelaku yang dinyatakan bersalah tidak bisa menggugurkan pidananya, tapi bisa meringankan hukuman."
-Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
- Pemohon harus merupakan pelaku dari kejahatan itu.
- Pemohon harus mengakui perbuatan.
- Bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut dan memberikan keterangan sebagai saksi ketika persidangan.
- Jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa pelaku memberikan keterangan signifikan dan membantu membongkar peran yang lebih besar.
Syarat KPK
- Setya mengakui menerima uang sebesar US$ 7,3 juta dari proyek e-KTP.
- Mengakui menjadi otak untuk mengakali proyek e-KTP sehingga dimenangi oleh Andi Narogong, orang dekatnya.
Kesaksian Setya
- Membantah menerima uang: "Untuk apa saya mengakui hal yang tidak saya lakukan? Tidak ada bukti bahwa saya menerima uang," kata Setya, Kamis pekan lalu.
- Mengakui beberapa kali bertemu dengan pengusaha, tapi membantah menjadi otak proyek.
- Menyebut sepuluh nama anggota DPR periode 2009-2014 sebagai penerima duit e-KTP. Delapan adalah nama yang pernah disebut dalam dakwaan pelaku sebelumnya dan dua nama baru. Tapi keterangan Setya ini berdasarkan cerita orang lain (testimonium deauditu). Satu di antaranya sudah membantah pengakuan Setya itu.
Naskah: Syailendra Persada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo