Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Jejak Kolonialisme pada Pemindahan Ibu Kota Negara

Pemindahan ibu kota negara oleh Presiden Joko Widodo mengulang sejarah. Lebih dari dua abad silam, pemerintah Hindia Belanda mendirikan pusat pemerintahan di Batavia Baru (sekitar Lapangan Banteng, Jakarta Pusat) dan meninggalkan Batavia Lama (sekarang Kota Tua, Jakarta Barat). Eka Permanasari, arsitek dan lektor Monash University, Tangerang, menulis berbagai kesamaan keduanya.

10 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seremoni ritual Kendi Nusantara di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 14 Maret 2022. ANTARA/Hafidz Mubarak A

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Kebijakan ini seperti mengulang kebijakan pemerintah kolonial Belanda pada lebih dari 200 tahun silam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibu Kota Nusantara didesain sangat berbeda dari Jakarta--yang kian terancam tenggelam oleh banjir, polusi, dan kemacetan lalu lintas tanpa ujung. Permasalahan serupa menyerang Hindia Belanda pada akhir abad XVIII dan awal XIX yang membuat mereka memutuskan pemindahan ibu kota dari Batavia Lama ke lokasi baru, sekitar delapan kilometer di selatan, yang kini menjadi wilayah Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengulangan kebijakan pemerintah penjajah ini menjadi fenomena yang menarik dalam pembahasan teori poskolonialisme.

Teori poskolonialisme meninjau ulang, mengenang, dan menelaah pembangunan bangsa selepas bebas dari penjajahan. Teori ini mendalami hubungan antara eks negara koloni dan mantan penguasanya, termasuk bagaimana kebijakan kolonial mempengaruhi kedua negara. Satu kondisi pascakolonialisme adalah amnesia politik, keinginan untuk menghapus kenangan sebagai bangsa terjajah dan catatan pahitnya.

Teori poskolonialisme mengeksplorasi hubungan simbiosis antara eks negara penjajah dan terjajah yang bersifat benci tapi rindu. Negara yang baru merdeka selalu ingin berbeda dari bekas penjajah, namun pemisahan identitas itu tak lepas dari lingkup eks penjajah mereka. Nasionalisme hadir sebagai upaya modernisasi yang sering kali bersandar pada bentuk kolonialisme yang telah dimodifikasi.

Dalam kasus Jakarta, ketika VOC, perusahaan Hindia Timur Belanda, menaklukkan Sunda Kelapa dan membangun benteng pada 1619, Batavia bertransformasi dari kota bandar menjadi pusat pemerintahan. Pusat kota Batavia, sekarang menjadi Kota Tua, dikelilingi tembok yang di dalamnya mengalir kanal-kanal. Benteng-benteng di sepanjang dinding itu melindungi kota dari serangan musuh. Sistem pertahanan dan pengairan itu menunjukkan Batavia dirancang sebagai Amsterdam kecil.

Pemandangan balai kota dan sekitarnya di Batavia (Kota Tua), 1900-1940. TROPENMUSEUM via Wikimedia Commons

Meski dirancang seperti kota-kota di Belanda, kelembapan Batavia terlalu tinggi bagi para pendatang dari Eropa tersebut. Kanal dan sungai menjelma menjadi sarang nyamuk. Malaria dan demam berdarah pun mewabah. Sungai yang kemudian tercemar menjadi sumber bakteri kolera, diare, dan berbagai penyakit kulit. Batavia tak lagi layak sebagai tempat tinggal. Kondisi yang tak tertolong itu membuat warganya berangsur-angsur pindah ke selatan, kini Jakarta Pusat.

Setelah Napoleon Bonaparte menaklukkan Belanda pada 1806, adiknya, Louis Bonaparte, menjadi penguasa Negeri Oranye, diikuti peralihan kekuasaan dari Belanda ke Prancis. Louis mengutus Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal baru di Batavia. Dia ditugaskan menata ulang kota tersebut.

Kebijakan pertamanya adalah memindahkan Batavia Lama yang sudah centang perenang ke lokasi baru, sekitar delapan kilometer di selatan. Lokasi yang hijau itu dikenal sebagai Weltevreden, yang sebelumnya merupakan pinggiran Batavia dan digunakan oleh orang-orang kaya sebagai vila. Pemerintahan Daendels merancang dua area sebagai pusat kekuasaan: Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) dan Koningsplein (sekarang Taman Medan Merdeka atau Monas).

Daendels merobohkan tembok Batavia dan membangun Weltevreden sebagai pusat pemerintahan baru. Dia membangun istana yang megah di depan lapangan luas--kini menjadi Kementerian Keuangan. Kehadiran Batavia Baru meresmikan peralihan kekuasaan kolonial dari Belanda ke Prancis.

Berbeda dengan Batavia Lama, Weltevreden lebih didominasi jalan raya ketimbang kanal. Peninggalan masih bertahan hingga sekarang.

Dari pemindahan ibu kota ini, kita dapat melihat pola lokus kekuasaan dan kolonialisme. Pertama, alih-alih memperbaiki kota lama, pemerintah penjajah lebih suka menunjuk lokasi baru dan membangun kota dari nol. Kedua, pemerintah kolonial membentuk identitas baru dengan membangun pusat kekuasaan yang berbeda dari sebelumnya. Ini merupakan upaya untuk meninggalkan warisan baru, yang terlepas dari penguasa sebelumnya.

Mobil truk menerobos banjir rob yang melanda Pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta, 26 Desember 2022. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Jakarta terus menjadi pusat kekuasaan selepas era kolonial. Kota ini meluber ke selatan mengikuti poros yang digariskan pemerintah Hindia Belanda. Di sana bermunculan bangunan-bangunan historis, seperti Monumen Nasional di eks lokasi Koningsplein, Jembatan Semanggi, gedung MPR/DPR, dan Stadion Gelora Bung Karno. Sementara itu, Istana Merdeka dan Istana Negara--yang sebelumnya merupakan kantor dan rumah dinas gubernur jenderal Belanda--merefleksikan dilema poskolonialisme: membenci mantan penjajah, sekaligus ingin menjadi seperti mereka.

Setelah beberapa dekade, Jakarta tumbuh menjadi megapolitan dengan perkiraan populasi 11 juta. Kota ini memiliki sejumlah permasalahan akut, seperti kepadatan penduduk, penyedotan air tanah secara berlebihan, serta banjir, yang menjadikannya sebagai kota yang laju penurunan permukaan tanahnya tercepat di dunia. Jakarta juga memiliki reputasi buruk soal kemacetan, ketimpangan ekonomi, dan bencana alam.

Upaya menyelamatkan kota ini dari ancaman tenggelam dilakukan dengan membangun tiga lapis tanggul raksasa (sea wall) agar terlindung dari air pasang. Namun tanggul raksasa berbentuk burung garuda itu mendapat penentangan karena akan menutup sepenuhnya Teluk Jakarta dan merusak lingkungan. Biayanya pun teramat mahal. Proyek ini juga dianggap semata membangun beton tanpa menyentuh sumber masalah atau penyebab banjir.

Pada 2019, pemerintah memutuskan memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur. Ibu kota baru ini mewakili gambaran kota impian: cerdas dan berkelanjutan, tahan ancaman, ramah lingkungan, demokratis, ekonomis, serta bebas dari bencana alam, polusi, dan kemacetan.

Meski demikian, gaya-gaya poskolonialisme terasa kental. Ketimbang memperbaiki masalah Jakarta, pemerintah poskolonial memilih pindah ke lokasi baru dan membangun ibu kota dari nihil.

Keputusan ini mendefinisikan ulang identitas nasional di era pascapenjajahan. Mengadopsi internasionalisme di masa Presiden Sukarno, kembali ke tradisionalisme di era Presiden Soeharto, menjadi kota cerdas dan berkesinambungan di bawah Presiden Jokowi. Semua menunjukkan betapa Indonesia, sebagai negara merdeka, benci tapi rindu pada kolonialisme.

---

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris di 360 Info dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Reza Maulana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus