Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kecerdasan Buatan Meramal Gempa

Meramal gempa susulan menggunakan kecerdasan buatan diklaim lebih akurat ketimbang metode prediksi yang dipakai saat ini. Belum siap diterapkan.

14 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Meramal gempa susulan menggunakan kecerdasan buatan diklaim lebih akurat ketimbang metode prediksi yang dipakai saat ini. Belum siap diterapkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LINDU masih belum berhenti mengguncang Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pada Selasa pekan lalu pukul 04.22 Wita, misalnya, terjadi gempa tektonik berkekuatan 5,3 skala Richter (SR). Pusat gempa berada di darat pada jarak 12 kilometer arah barat laut Kabupaten Lombok Timur dengan kedalaman 10 kilometer. Guncangan tanah dirasakan masyarakat di Kabupaten Lombok Timur, Lombok Utara, Lombok Barat, dan Lombok Tengah serta Kota Mataram.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menilik lokasi episentrum, kedalaman hiposentrum, dan mekanisme sumbernya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyatakannya sebagai gempa susulan dari gempa utama yang mengguncang pada Ahad malam, 19 Agustus lalu. Serangkaian gempa terjadi menyusul lindu berkekuatan 6,9 SR tersebut. Berdasarkan data BMKG, setidaknya 20 gempa susulan berkekuatan 5 SR ke atas terjadi setelah gempa 19 Agustus itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gempa susulan dapat lebih mematikan dan terjadi berbulan-bulan setelah lindu utama, seperti gempa yang melanda Christchurch, Selandia Baru, pada September 2010. Gempa utamanya, yang bermagnitudo 7,1 SR, tidak menimbulkan satu pun korban jiwa. Tapi gempa susulan, yang berkekuatan 6,3 SR dan terjadi lebih dari lima bulan kemudian, merenggut 185 jiwa karena pusat gempa berada di tengah kota.

Para seismolog dapat secara umum meramal kekuatan gempa susulan, tapi mereka kesulitan memprediksi lokasinya. Sampai hari ini, para ilmuwan menggunakan teknik menghitung bagaimana sebuah gempa mengubah tegangan (stress) pada batuan sekitar dan kemudian memprediksi sejauh mana perubahan itu menghasilkan gempa susulan di suatu lokasi tertentu. Sayangnya, metode stress-failure ini tidak selalu mangkus meski mampu menjelaskan dengan sukses pola gempa susulan dari beberapa gempa besar.

Terobosan muncul dari penelitian yang laporannya dipublikasikan dalam jurnal Nature edisi 29 Agustus lalu. Penelitian yang dilakukan Brendan Meade, profesor ilmu bumi dan keplanetan di Harvard University, Cambridge, Amerika Serikat, bersama ilmuwan gempa bumi koleganya, Phoebe DeVries, serta tim Google AI itu menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk meramal gempa susulan.

Para saintis tersebut melatih sebuah jaringan saraf untuk belajar menemukan pola berdasarkan pangkalan data lebih dari 131 ribu gempa utama dan gempa susulannya, termasuk yang paling mematikan dalam sejarah: gempa berkekuatan 9,1 SR yang melanda Tohoku-Oki, Jepang, 11 Maret 2011. Data itu tidak hanya berupa lokasi dan magnitudo gempa, tapi juga hasil pengukuran-pengukuran yang berbeda dari perubahan tegangan pada patahan dari gempa-gempa tersebut.

Setelah menemukan pola, mereka menguji ramalan itu menggunakan pangkalan data berisi 30 ribu pasangan gempa utama-gempa susulan. Prediksi dari mesin pembelajaran tersebut ternyata lebih akurat ketimbang metode stress-failure, yang dikenal dengan nama kriteria Coulomb failure-stress change (DCFS). "Prediksi gempa susulan sebelumnya memiliki presisi sekitar 3 persen. Pendekatan jaringan saraf kami memiliki presisi sekitar 6 persen," ujar DeVries seperti dikutip The Star.

Peneliti gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja, mengatakan ilmu prediksi gempa susulan sudah lama memakai kriteria DCFS. "Metode baru yang dibantu kecerdasan buatan itu tidak lagi memakai prinsip Coulomb failure-stress change, melainkan prinsip baru yang dikembangkan dari teori di bidang metalurgi," ucapnya.

Jika menggunakan skala 0 sampai 1, akurasi ramalan dari kecerdasan buatan itu diklaim mencapai 0,849, sementara akurasi kriteria DCFS 0,583. Tim peneliti Harvard-Google tersebut menyatakan mesin pembelajaran mereka dapat membuat ramalan seakurat itu lantaran mempertimbangkan faktor yang disebut kriteria von Mises yield, yaitu kalkulasi kompleks yang digunakan untuk memprediksi kapan material akan mulai pecah ketika mendapatkan tegangan. "Faktor ini kerap digunakan dalam beberapa bidang, seperti metalurgi. Belum populer dalam ilmu kegempabumian," ujar Brendan Meade kepada ScienceDaily.

Meskipun penelitian ini sukses meramal gempa susulan, kecerdasan buatan belum siap diterapkan dalam dunia nyata. "Kami masih sangat jauh dari kemampuan meramal gempa susulan. Tapi saya pikir mesin pembelajaran memiliki potensi sangat besar untuk itu," kata DeVries.

Kecerdasan buatan ini hanya berfokus pada gempa susulan yang dipicu perubahan permanen pada tanah, yang dikenal dengan istilah tegangan statis (static stress). Padahal gempa juga disebabkan oleh gemuruh pada tanah yang terjadi kemudian, yang disebut tegangan dinamis (dynamic stress).

Danny Hilman mengungkapkan, titik lemah lain metode ramalan dengan kecerdasan buatan adalah dibutuhkan infrastruktur yang besar dengan ketersediaan data gempa berlimpah. Syarat utama untuk melakukan pemodelan, kata Danny, adalah data gempa harus akurat dan cukup rapat. Jika grid pemodelannya 5 kilometer, artinya data episentrum-hiposentrum gempa paling tidak harus memiliki ketelitian 1-2 kilometer. "Artinya, jaringan stasiun seismografnya harus cukup rapat," tuturnya.

Adapun seismolog dari Institut Teknologi Bandung, Sri Widiyantoro, skeptis terhadap upaya meramal gempa. Menurut Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB itu, soal tekanan pada batuan saja tidak ada yang memahami. Padahal jenis batuan di dalam bumi beragam. "Seperti kematian, gempa adalah keniscayaan. Namun soal kapan waktu dan tempatnya, secara alami tidak ada yang tahu," kata Iliksapaan Sri Widiyantorodi ruang kerjanya, Rabu pekan lalu.

Sejauh ini, Ilik lebih setuju dengan laporan penelitian Robert J. Geller, profesor di Departemen Bumi dan Fisika Keplanetan Fakultas Ilmu Pengetahuan Tokyo University, Jepang, berjudul "Earthquakes Cannot Be Predicted" yang dimuat di jurnal Science pada 1997. Meskipun telah berumur hampir satu dekade, riset itu ia nilai masih valid.

Kalau seorang ilmuwan ingin percaya terhadap prediksi gempa, kata dia, ramalan lindu harus bisa dibuktikan. "Selalu terjadi gagal prediksi karena kejadiannya di dalam bumi sana," ujar Ilik. Sumber gempa 10 kilometer, yang disebut dangkal, bisa berkedalaman hingga 600 kilometer. Ia menyebutkan pengeboran untuk mengetahui struktur batuan di lokasi rawan gempa paling banter mencapai 10 kilometer. Kalaupun diketahui kondisi batuan di titik A di suatu sesar, di titik B yang jaraknya tak jauh sudah berbeda komposisi dan kekuatan batuannya terhadap potensi gempa.

Menurut Ilik, metode prediksi gempa memakai kecerdasan buatan paling banter hanya menghitung dan menganalisis data kejadian gempa di suatu tempat. Program cuma dirancang untuk mempelajari catatan gempa. "Tidak sampai soal struktur batuan. Itu berat dan sangat kompleks mengetahui apa yang di bawah sana," ucapnya.

Meramal gempa susulan yang sudah diketahui atau telah terjadi gempa utamanya pun, Ilik melanjutkan, sangat sulit. Ia mengatakan stress pada batuan berubah setelah gempa. Prediksi gempa susulan harus dibuat dengan rumusan baru. Karena bumi sangat dinamis dan heterogen, kondisi hari ini dan besok bisa berubah setelah gempa.

Kelemahan lain kecerdasan buatan dalam meramal gempa susulan adalah terlalu lambat bekerja pada waktu sebenarnya (real time) karena data baru tersedia setidaknya dalam satu hari. Kecepatan menjadi isu penting karena kebanyakan gempa susulan terjadi pada hari yang sama dengan gempa utama, sebelum frekuensinya terus menurun pada hari-hari berikutnya.

Dody Hidayat, Anwar Siswadi (Bandung)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus