Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ichsan Suwandhi harus cepat menggambar karena batas akhir penyampaian karya ke panitia The Margaret Flockton Award 2018 tinggal dua hari lagi. Tak lama berpikir, ia memutuskan menggambar tanaman mengkudu atau pace yang tumbuh di halaman rumahnya di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kiriman perdana dan satu-satunya wakil Indonesia dalam kompetisi ilustrasi botani, yang diumumkan pada Mei lalu, itu menempati peringkat ke-24 dari 39 karya dari seluruh dunia. "Awalnya saya mau mengirim gambar lama. Tapi, biar spesial, saya buatkan yang baru," ujar Ichsan, dosen Program Studi Rekayasa Kehutanan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ichsan mengetahui lomba tahunan, yang digelar Royal Botanic Garden, Sydney, Australia, sejak 1993, itu dari mahasiswanya. "Sekadar untuk mengenalkan diri," dia mengungkap alasannya ikut lomba yang digelar untuk mengenang ilustrator botani pertama di Kebun Raya Sydney tersebut.
Gambar mengkudu yang dibuat Ichsan menggunakan pensil black (B) dan half black (HB) itu terkesan sederhana. Sepotong ranting pohon berdaun tujuh dengan sebuah bunga mekar di cabangnya. Daun utuh menjadi latar belakang. Tulang dan pola "retakan" daun tampak jelas. Ada pula bunga mekar dan bakal buah yang diperbesar. Satu buah mengkudu dan irisan melintangnya melengkapi gambar tumbuhan bernama Latin Morinda citrifolia ini. "Dari dulu aliran saya pensil," kata Ichsan, awal Mei lalu.
Panitia lomba ini juga menerima ilustrasi hitam-putih yang dibuat dengan pena bertinta dan ilustrasi digital. Pemenang pertama The Margaret Flockton Award 2018 adalah Natanael Nascimento dari Brasil, sementara pemenang kedua adalah Edmundo Saavedra Vidal dari Meksiko. Adapun ilustrasi buatan Alastair Robinson dari Australia menjadi karya paling terpuji (Highly Commended).
Ichsan menilai karya ketiga pemenang itu luar biasa bagus. Menurut dia, karya mereka terlihat bagus karena mampu menampilkan secara presisi semua detail ciri. Selain itu, sentuhan artistik membuatnya menjadi indah. "Teknik skalanya juga tepat,sementara punya saya masih banyak kekurangan, terlalu polos, dan kurang sentuhan seni kontemporer," katanya, tertawa.
Selama satu dekade menggeluti ilustrasi botani, Ichsan mengaku tidak pernah tertarik ikut lomba. Berbekal hobi menggambar sejak kecil, pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 27 November 1970, itu merasa bisa membuat ilustrasi botani sejak menekuni bidang taksonomi tumbuhan. Lulusan strata-3 Program Studi Silvikultur Tropika Institut Pertanian Bogor tahun 2014 itu telah membuat sekitar seratus gambar. Tapi banyak yang hilang dan rusak sehingga tersisa 40-an karya saja. "Sekarang mulai saya arsipkan dengan baik," ujar anggota Kelompok Keahlian Ekologi di kampusnya itu.
Sebelum menggambar, Ichsan selalu meruncingkan pensil HB dan B level 0-8 miliknya menggunakan penyerut. Bubuk grafit serutan digunakannya untuk membuat efek bayangan berupa arsiran. Sekali menggambar di kertas ukuran A3, ia bisa menghabiskan sepertiga batang pensil 5B-8B. Ia juga memerlukan penggaris dan karet penghapus berwarna hitam karena lebih mudah membersihkan gambar.
Ide awal untuk menentukan spesies tumbuhan yang akan digambar, kata Ichsan, tergantung kemampuan ilustrator. "Saya cenderung mencari tanaman yang unik atau langka," ujar anggota Masyarakat Biodiversitas Indonesia itu. Ia menggambar langsung tanaman di lapangan, tapi tidak menargetkan harus segera jadi. Memulai dengan sketsa keseluruhan, ia lalu menebalkan garis, mengarsir, dan merapikan gambar di rumahnya, yang tak memiliki studio gambar.
Gambarnya rata-rata selesai dalam dua hari, termasuk untuk mempelajari karakter morfologis dan deskripsi tanaman. Sasaran pertama matanya tertuju pada bagian tanaman yang mudah layu atau menyusut, seperti pucuk, bunga, dan buah. Agar spesimen tidak mudah rusak atau layu, Ichsan menyiapkan sampel cadangan yang dicelupkan di dalam air. "Juga dibantu foto spesimen," katanya. Foto bisa berasal dari Internet atau jepretan sendiri.
Tanaman yang menjadi obyek gambar tidak dibuat mati. "Umumnya hanya memetik seranting daun ditambah bunga buah," ucapnya. Untuk rerumputan atauherba liar yang berjumlah banyak, satu tanamannya bisa dicabut dari tanah. Pada tanaman herba tertentu atau bukan tanaman yang dilindungi, misalnya jenis talas-talasan, bagian akarnya bisa digambar. "Lagi pula akar hampir tidak pernah digunakan sebagai sumber identifikasi."
Inti ilustrasi botani, kata Ichsan, adalah menyajikan gambar yang rinci dan akurat karena dipakai sebagai alat pengenal tanaman sesuai dengan nama ilmiahnya. Di kalangan akademikus, ilustrasi tanaman mendapat tempat yang penting sehingga gambarnya lebih kompleks. "Karyanya bukan sekadar seni gambar, tapi bisa dipakai untuk mengidentifikasi tumbuhan," ucap doktor berkeahlian di bidang dendrologi dan taksonomi tumbuhan itu.
Sebelum alat potret muncul, menggambar tanaman juga berfungsi sebagai sarana dokumentasi. Meski fotografi muncul pada abad ke-19 dan berkembang pesat sekarang, ilustrasi botani tidak lantas mati. "Fotografi lebih melihat ke visual obyek. Kalau ilustrasi, lebih menekankan kerincian ciri tumbuhan," ujarnya.
Kolega Ichsan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB, Dian Rosleine, mengatakan ilustrasi botani sangat dibutuhkan untuk biologi. Terutama untuk menjelaskan taksonomi dan sistematika tumbuhan serta hewan. Meski teknologi fotografi sudah canggih, ilustrasi botani bisa menjelaskan tekstur dan bagian rinci lain yang hanya bisa dilihat secara langsung. "Ilustrasi ini menjadi penting untuk publikasi ilmiah," kata pengajar dan peneliti ekologi serta biosistem itu, Selasa dua pekan lalu.
Ichsan mengatakan, di Indonesia, lebih banyak juru gambar botani otodidak. Mereka ada di perguruan tinggi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan lembaga riset lainnya. Jumlahnya, kata dia, masih sedikit dan tak ada organisasinya. Ichsan dan beberapa ilustrator botani malah berkumpul dengan para seniman botani di Indonesian Society of Botanical Artists (Idsba).
Beberapa seniman botani Indonesia sudah memasuki kelas dunia. Ichsan menyebut Jenny A. Kartawinata, Eunike Nugroho, dan nama lain diIdsba sebagai contoh. Mereka umumnya beraliran kontemporer, yang menggunakan seni warna natural seperti aslinya."Aliran ini memang lebih mendekati nilai dekoratif. Karya tersebut pun dijual ke publik," katanya.
Jenny, pemerhati dan pelaku seni botani, menjelaskan perbedaan mendasar antara seni botani dan ilustrasi botani. "Ilustrasi botani itu tujuan utamanya menyajikan identifikasi suatu tanaman," ujarnya, Sabtu dua pekan lalu. "Adapun seni botani melukis tanaman sesuai dengan fisik aslinya secara akurat, cermat, dan detail."
Ichsan menekuni ilustrasi botani saat jeda tugas akademiknya. Ketika libur kuliah, ia melibatkan diri dalam kegiatan kehutanan yang diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pekan lalu, misalnya, ia berangkat ke Lombok untuk mengkaji pengelolaan hutan daerah. Kesempatan seperti itu ia manfaatkan untuk mencari spesies unik atau khas daerah untuk digambar.
Ilustrasi botani kekayaan hayati Indonesia, menurut Ichsan, harus dibuatkan arsip dan disimpan di gedung herbarium atau perpustakaan. "Saya berencana mendokumentasikan di Herbarium Bandungense milik ITB di Jatinangor," tuturnya. Di herbarium tersebut sudah ada buku-buku flora berisi ilustrasi botani buatan para ahli lama. Sebagian yang digambar Ichsan juga masuk buku-buku itu.
Anwar Siswadi (Bandung)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo