Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMBANG berbahasa Madura, Olle Ollang, yang dinyanyikan seorang biduan wanita itu mengalun dari komputer Artidjo Alkostar di ruang kerjanya di lantai 5 gedung Mahkamah Agung pada Senin siang pekan lalu. Sembari sesekali menghirup inhaler untuk meredakan batuk keringnya, hakim agung yang baru pensiun pada 22 Mei lalu ini menyimak khusyuk tembang yang diputar melalui YouTube itu. Artidjo masih masuk kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaannya di Mahkamah yang belum kelar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di ruangan bekas Ketua Kamar Pidana itu tidak tampak lagi gunungan map merah berisi berkas perkara. Di sana yang tampak hanya tumpukan tas hitam dari kain di sudut ruangan yang terlihat berantakan. "Saya sudah tidak meneken surat-surat lagi," kata pria 70 tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokumen, buku, dan tas suvenir peluncuran biografinya berserakan di meja dan lantai ruangan. Saking asyiknya menikmati tembang, Artidjo mengabaikan dering panggilan telepon dari Nokia hitam kusam yang tergeletak di atas meja. Badannya bersandar di kursi hingga sabuk hitamnya yang bertulisan Hermes terlihat. "Ini beli di pinggir jalan. Pedagangnya yang memilih sabuk ini untuk saya," ucap Artidjo, menjelaskan bahwa sabuknya itu bukan Hermes betulan.
Selama 18 tahun menjadi hakim agung, Artidjo sudah menangani 19.708 perkara. Ia mengatakan perkara terakhir yang ditangani sebelum pensiun adalah kasus korupsi. Namun pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur, ini mengaku lupa perkara terakhirnya itu. "Setahun saya bisa menyelesaikan 1.100-an perkara," ujarnya.
Nama Artidjo Alkostar laksana "horor" bagi koruptor yang perkaranya maju ke Mahkamah Agung, baik di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali. Sejumlah terdakwa yang namanya menjadi sorotan publik merasakan betapa kerasnya ketukan palu majelis hakim pimpinan Artidjo saat memutus perkara mereka. Salah satunya bekas Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, yang terjerat perkara korupsi proyek Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat, dan proyek dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara lainnya.
Tak hanya melipatgandakan hukuman dari 7 tahun menjadi 14 tahun, Artidjo dan dua hakim agung lain juga menghukum Anas membayar uang pengganti Rp 57,5 miliar dan US$ 5,2 juta. Selain itu, majelis ini mencabut hak politik Anas. Dua hari setelah Artidjo pensiun, Anas menjalani sidang pengajuan permohonan peninjauan kembali atas perkaranya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Permohonan ini diajukan tiga tahun setelah putusan majelis kasasi pimpinan Artidjo. Anas membantah anggapan bahwa permohonannya ini ada kaitannya dengan pensiun Artidjo. "Sekarang kesempatan mengajukan PK," kata Anas menolak menjelaskan alasannya secara gamblang.
Bagi dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini, vonis Anas belum seberapa. Artidjo pernah memperberat hukuman sampai sepuluh kali lipat dari vonis awal untuk Kepala Pengadilan Agama di Padang. Hakim itu terjerat perkara korupsi pembangunan kantor pengadilan dan divonis satu tahun penjara di tingkat pertama. "Putusan ini sama dengan vonis hakim pengadilan korupsi yang terjerat kasus suap di Semarang," ujarnya.
Hakim yang dimaksudkan Artidjo tidak lain adalah Pragsono. Hakim Pengadilan Negeri Semarang itu terbukti melakukan jual-beli putusan. Di tingkat pertama, Pragsono diganjar hukuman enam tahun penjara. Dalam kasasi, Artidjo menambah hukuman Pragsono menjadi sebelas tahun bui.
Menurut Artidjo, penambahan hukuman yang berlipat-lipat itu memiliki pedoman yang kuat. Ia mengatakan banyak pertimbangan sebelum menentukan hukuman, di antaranya nilai kerugian negara, peran dan posisi, serta perbandingan hukuman dengan terdakwa lain. Di Kamar Pidana Mahkamah Agung, Artidjo mempunyai konsesi dengan hakim-hakim lain tentang pasal-pasal untuk menjerat koruptor. Jika nilai kerugian di atas Rp 100 juta, para hakim agung akan menggunakan Pasal 2 ketimbang Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 mengatur perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara. Sedangkan pasal 3 mengatur tindakan penyalahgunaan menggunakan jabatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara. Di pengadilan pertama atau banding, menurut Artidjo, pasal yang dikenakan biasanya pasal 3. Artidjo kerap mengubahnya menjadi pasal 2. "Saya punya penerapan berbeda dengan hakim lain," ucapnya.
Artidjo mengatakan perbedaan penerapan pasal tersebut salah satunya di penentuan minimal pidana penjara. Dalam pasal 3, hukuman minimalnya 1 tahun dan maksimal 20 tahun bui. Sedangkan dalam pasal 2 ancaman sanksi minimalnya 4 tahun dan maksimal 20 tahun bui. Padahal intinya sama-sama merugikan keuangan negara. Jika pasal 2 yang digunakan, kata Artidjo, hakim bisa memberi hukuman yang maksimal. Sedangkan untuk kerugian negara di bawah Rp 100 juta, hakim agung kamar pidana bersepakat menggunakan pasal 3. "Ini untuk menghindari disparitas hukuman yang dijatuhkan hakim satu dan yang lainnya," ujarnya.
Dalam beberapa kasus, Artidjo juga kerap mengubah jerat Pasal 11 yang dikenakan menjadi jerat Pasal 12-a Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dua pasal ini sebenarnya mengatur pidana untuk penyelenggara negara atau pegawai negeri yang menerima janji atau hadiah terkait dengan jabatannya. Perbedaannya pada penekanan perbuatan aktif pada pasal 12-a sehingga ancaman hukumannya lebih berat mulai 4 hingga 20 tahun. Sedangkan pasal 11 mengatur hukuman 1-5 tahun.
Artidjo mempraktikkan penerapan pasal ini pada bekas politikus Demokrat, Angelina Sondakh, dalam kasus korupsi Wisma Atlet dan anggaran di Kementerian Pendidikan. Di pengadilan tingkat pertama dan banding, Angelina hanya terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi sehingga hukumannya 4 tahun 6 bulan penjara. Saat perkaranya maju ke kasasi, majelis pimpinan Artidjo membatalkan penerapan pasal itu dan menjerat bekas Puteri Indonesia itu dengan pasal 12-a dan memperberat vonisnya menjadi 12 tahun penjara. "Terdakwa aktif meminta imbalan atau fee," kata Artidjo. "Aktifnya dia itu yang membedakan penerapan pasal 11 dan 12-a."
Artidjo mendengar dari sejumlah kolega dan media bahwa beberapa terdakwa batal mengajukan permohonan kasasi karena takut perkara mereka ditanganinya. Ia mengatakan sebenarnya putusan hakim yang memperberat vonis terdakwa merupakan hasil musyawarah tiga anggota majelis. Kebetulan, menurut dia, majelis yang dipimpinnya punya pemahaman yang sama tentang bagaimana menghukum koruptor secara adil. "Itu kesalahannya menilai saya. Padahal majelis tidak terdiri atas saya seorang," ujarnya.
Putusan Artidjo ada juga yang menuai kritik publik. Ia, misalnya, menganulir vonis bebas Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan dalam kasus dugaan korupsi penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan 737-500. Majelis kasasi pimpinan Artidjo memvonis Hotasi empat tahun penjara. Di persidangan sebelumnya, jaksa tak bisa membuktikan adanya dugaan korupsi sewa pesawat tersebut. Artidjo mengatakan bisa mempertanggungjawabkan putusan tersebut. "Saya punya pertimbangan sendiri," tuturnya.
Artidjo mengaku beberapa kali mendapat teror, dari ancaman hingga akan disantet, selama menjadi hakim agung. Semua itu, kata dia, tak membuatnya takut. Beberapa kali Artidjo juga mengusir orang yang sengaja menemuinya untuk menerima suap. "Saya bilang Anda merendahkan dan menghina saya," ujarnya.
Setelah pensiun, Artidjo tidak khawatir orang-orang yang pernah dihukum berat olehnya kecewa dan melakukan aksi balas dendam. Rencananya, ia akan pulang kampung ke Situbondo untuk mengembangkan ternak kambingnya. "Darah Madura membuat saya tidak takut sama orang," kata Artidjo, lalu terkekeh. "Saya juga belajar bela diri sejak kecil."
MENJADI hakim agung bukanlah cita-cita Artidjo Alkostar. Setelah lulus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, ia menekuni profesi advokat sekaligus aktivis hak asasi manusia. Membuka kantor advokat sendiri di Yogyakarta, Artidjo muda kerap membantu penanganan kasus-kasus hak asasi manusia dan masyarakat yang terpinggirkan.
Sepak terjangnya di belantara hukum dan hak asasi manusia itu membuat nama Artidjo dikenal banyak kalangan. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia saat itu, Yusril Ihza Mahendra, menelepon Artidjo memberitahukan ada kesempatan untuk menjadi hakim agung dan ia diminta mendaftar. Kepada Yusril, Artidjo yang malang-melintang menjadi pengacara itu mafhum betapa bobroknya dunia kehakiman. Merespons permintaan Yusril, Artidjo menyampaikan bahwa tidak mudah membenahi dunia peradilan. "Memang, justru itu tugas kamu," ujar Artidjo menirukan ucapan Yusril. Saat dimintai konfirmasi, Yusril membenarkan. "Saya saat itu sebagai Menteri Kehakiman," kata Yusril.
Setelah meminta pertimbangan ke berbagai pihak, Artidjo akhirnya menyerahkan curriculum vitae-nya kepada Yusril dan mendaftar sebagai hakim dari kuota pemerintah. Melewati serangkaian uji kelayakan dan kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat, Artidjo akhirnya dinyatakan lolos. Ia seangkatan dengan dosen senior Universitas Islam Indonesia, Bagir Manan; akademikus Universitas Diponegoro, Semarang, Muladi; dan hakim karier pengadilan negeri, Benyamin Mangkudilaga. Setelah dilantik, Artidjo langsung tancap gas. "Tidak ada orientasi apa-apa," dia menerangkan.
Artidjo langsung diberi perkara kakap, di antaranya perkara menyangkut status hukum bekas presiden Soeharto dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui yayasan-yayasannya; gugatan membubarkan Partai Golkar; dan kasasi terdakwa korupsi surat utang Bank Bali, Djoko Tjandra.
Dalam pembahasan kelanjutan kasus Soeharto, Artidjo mengatakan ada perdebatan cukup pelik. Ketua majelis, Syafiuddin Kartasasmita, meminta Soeharto dikembalikan saja ke Kejaksaan Agung karena sakit. Namun Artidjo mempunyai argumentasi bahwa Soeharto harus mempunyai status hukum yang final. Perdebatan itu sampai buntu dan dilanjutkan seusai salat Jumat. Setelah perdebatan panjang, akhirnya Mahkamah memutuskan status Soeharto tetap terdakwa dan akan diadili setelah sembuh serta biayanya ditanggung negara.
Perdebatan lain soal pembahasan perkara kasasi yang diajukan Djoko Tjandra. Artidjo keukeuh bahwa perkara Djoko termasuk pidana karena ada kerugian negara. Sedangkan dua anggota majelis lain ngotot kasus Djoko adalah perdata. Pendirian Artidjo itu dalam putusan tercatat sebagai dissenting opinion (perbedaan pendapat). "Ini dissenting pertama. Langsung heboh," ujarnya.
Artidjo dan dua anggota majelis hakim lain sampai dipanggil pimpinan Mahkamah Agung dan dimintai penjelasan soal perbedaan pendapat pada putusan itu. "Saya tanya dulu ke pimpinan, apakah saya diadili atas putusan saya itu, dan dijawab no. Akhirnya saya jelaskan," katanya. Artidjo menyampaikan bahwa pendapatnya itu merupakan bentuk pertanggungjawaban ke publik.
Pengalaman menangani perkara bekas presiden Soeharto dan perkara kakap lainnya membuat Artidjo mantap menangani kasus lain. Namun, di satu sisi, dia juga risi terhadap budaya di Mahkamah Agung saat itu. Banyak orang yang beperkara berseliweran dan bebas masuk ruangan hakim. Bahkan ia sempat didatangi seorang pengusaha asal Surabaya. "Pak, yang lain sudah," ujar Artidjo menirukan ucapan pengusaha itu. Artidjo langsung mencak-mencak dan menanyakan maksud pengusaha itu. Tanpa menunggu jawaban, dia mengusir pengusaha tersebut dari ruangannya. Ia menolak disuap. Padahal, saat itu, Artidjo ke kantor masih menunggang bajaj atau Kopaja.
Tak ingin terusik oleh orang-orang yang beperkara, Artidjo menempelkan kertas di pintu berisi tulisan tidak menerima tamu yang terkait dengan perkara. Kertas tersebut sempat menjadi bahan sindiran oleh hakim agung lain. Menurut Artidjo, pengamanan di Mahkamah saat itu sangat longgar. Bahkan Ketua Mahkamah Agung kala itu, Bagir Manan, mengakui kerap ada transaksi di lapangan barat Mahkamah pada sore hari. "Iya, benar. Cuma, waktu itu masih ada kultur orde sebelumnya. Perlahan kami perbaiki," tutur Bagir.
Saat ini, kata Artidjo, tidak sembarang orang bisa nyelonong masuk ke ruangan hakim. Aturan penjagaan di Mahkamah diperketat. Bahkan, menurut Artidjo, pensiunan hakim agung juga tak seenaknya bisa berseliweran di gedung Mahkamah. "Sekarang sudah steril," ujarnya.
Karena ketegasan dan konsistensinya mengetuk "keras" palunya untuk koruptor, Artidjo kerap disebut Hakim Bao dari Indonesia. Hakim Bao atau Bao Zeng adalah hakim dari Dinasti Song Utara, Cina, yang keras menegakkan hukum dan memberikan vonis berat kepada orang yang terbukti bersalah. Ditanyai soal predikatnya itu, Artidjo hanya tersenyum. "Saya biasa saja," katanya.
Linda Trianita, Anton Aprianto, Syailendra Persada
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo