Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOBIL Ferrari 458 Speciale mengantarkan Iwan Cendekia Liman ke dalam Rumah Tahanan Salemba, Jakarta, sejak Oktober 2017. Pengusaha showroom mobil dan properti ini mendekam di penjara karena divonis bersalah di pengadilan dalam kasus penggelapan mobil supercepat pabrikan Italia itu. Pada Maret lalu, Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya menguatkan vonis tiga tahun penjara untuk Iwan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama hampir satu tahun mendekam di terungku, Iwan mengaku tidak kerasan dan ingin segera menghirup udara bebas. Ia sama sekali tidak menyangka mobil Ferrari yang ia beli itu membuatnya harus mendekam di bui. Ketika ditemui Tempo di rumah tahanan pada Rabu dua pekan lalu, Iwan begitu marah kepada orang yang telah menyeretnya ke penjara. "Dia menjebak saya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iwan lantas menunjukkan sejumlah dokumen perjanjian jual-beli dengan seseorang yang tertulis di dokumen itu bernama Rezky Herbiyono. Menurut Iwan, Rezky adalah keponakan Nurhadi Abdurrachman, bekas Sekretaris Mahkamah Agung yang mengundurkan diri karena terseret kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Pada April 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi mencegah Nurhadi bepergian ke luar negeri. Tiga bulan kemudian, Nurhadi mengundurkan diri sebagai Sekretaris MA dan sejak itu kasusnya tak jelas.
Dalam dokumen persidangan, Rezky mencantumkan alamat di Jalan Hang Lekir V Nomor 6, Kebayoran Baru, Jakarta. Rumah ini tidak lain adalah rumah Nurhadi, yang sempat menjadi perhatian publik karena digeledah KPK dengan barang sitaan duit Rp 1,7 miliar. Nama Rezky sempat masuk radar media karena resepsi pernikahannya dengan putri Nurhadi begitu mewah dengan suvenir iPod untuk ribuan tamu undangan.
Iwan mengaku berteman dengan Rezky sebagai mitra bisnis. Sembari menunjukkan sejumlah surat perjanjian utang yang ia teken dengan Rezky, Iwan mengatakan menantu Nurhadi itu masih menunggak pinjaman hingga Rp 50 miliar. Ia mengaku berani meminjamkan uang sebesar itu karena ada janji dari Rezky untuk membantunya memberi akses ke pengusaha-pengusaha kolega Nurhadi. Salah satu dokumen surat utang menunjukkan Rezky pernah meminjam Rp 14 miliar dari Iwan pada Februari 2016.
Dalam sidang perkara suap Edy Nasution terungkap bahwa Nurhadi memang dekat dengan sejumlah pengusaha. Melalui Eddy Sindoro, misalnya, Nurhadi memiliki kedekatan dengan Grup Lippo. Ia tercatat beberapa kali membantu mengurus perkara Lippo di Mahkamah Agung. Nurhadi dalam sidang mengakui kedekatannya dengan Eddy Sindoro, yang belakangan menjadi tersangka KPK dalam kasus suap yang melibatkan Edy Nasution. Tapi ia membantah kabar kerap membantu urusan perkara Grup Lippo. "Itu sama sekali tak benar," ucapnya.
Karena melihat Nurhadi, Iwan bersedia membantu Rezky, termasuk ketika Rezky tengah kesulitan membayar cicilan mobil Ferrari senilai Rp 12 miliar. Kepada Iwan, Rezky mengaku membeli mobil mewah itu pada September 2015 dengan skema kredit hampir enam tahun dengan cicilan Rp 192 juta per bulan. Baru empat bulan cicilan berjalan, Rezky meminta Iwan menalangi kredit mobil tersebut. "Walau uang muka belum lunas, mobil itu sudah dibawa Rezky," katanya.
Dari uang muka dan cicilan yang sudah dibayar Rezky, Iwan menghitung biaya yang harus dibayar untuk Ferrari itu mencapai Rp 7,3 miliar kepada pihak pemberi kredit dan Rp 4 miliar sebagai biaya pelunasan uang muka. Keduanya akhirnya sepakat Iwan menutup kredit mobil berlambang kuda jingkrak itu Rp 9 miliar. Rinciannya, Rp 4 miliar untuk melunasi uang muka dan Rp 5 miliar untuk membayar sebagian dari tunggakan Rp 7,3 miliar kepada perusahaan pemberi kredit atau pembiayaan (leasing). "Sisanya Rp 2,3 miliar kewajiban Rezky," kata Iwan.
Setelah uang muka lunas, Rezky mengirim mobil tersebut ke rumah Iwan di Surabaya sebagai jaminan. Iwan menyatakan akan membayar Rp 5 miliar ke perusahaan pembiayaan dengan syarat Rezky terlebih dulu melunasi Rp 2,3 miliar kewajibannya ke pihak leasing. Pada pertengahan 2016, Iwan mendapat pemberitahuan bahwa mobil Ferrari itu akan ditarik perusahaan leasing. "Ternyata Rezky menunggak sejak Agustus dan leasing sudah mencari-cari mobil ini," ujar Iwan.
Kepada pihak leasing, Iwan memberi tawaran melunasi seluruh tunggakan. Hasil kompromi dengan perusahaan itu, Iwan harus membayar Rp 6,2 miliar tunggakan tersisa. Berdasarkan salinan dokumen pembayaran ke pihak leasing, pada 25 Oktober 2016 Iwan melunasi pembelian Ferrari tersebut dengan mentransfer duit Rp 6,2 miliar ke perusahaan pembiayaan.
Karena proses pelunasan itu tanpa setahu dirinya, Rezky melaporkan Iwan ke Markas Besar Kepolisian RI pada Desember 2016. Dalam laporan, Rezky menuding Iwan menggelapkan mobil Ferrari itu. Ia dituduh mengakali pembayaran sehingga bisa mendapatkan surat-surat kendaraan dari perusahaan pembiayaan.
Kasus ini akhirnya bergulir ke pengadilan. Dalam berkas di pengadilan disebutkan Rezky memang berniat menjual mobil tersebut kepada Iwan. Menurut Rezky, Iwan membawa supercar tersebut ke Surabaya dengan dalih untuk uji coba. Pengadilan menjerat Iwan dengan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penggelapan karena membeli mobil tersebut dari leasing tanpa setahu Rezky. "Sudah saya bayar Ferrari itu, bahkan melunasi tunggakan Rezky di leasing," tutur Iwan.
Menurut versi Rezky dalam sidang, hingga Agustus 2016, Iwan belum juga mau membayar mobil Ferrari tersebut. Ketika itu, masih dari berkas persidangan, keduanya sedang bertemu di sebuah rumah makan di Kemang, Jakarta Selatan, untuk membicarakan utang Rezky kepada Iwan. Dalam pertemuan itu, Rezky menanyakan soal Ferrari miliknya.
Karena utangnya tak kunjung dibayar, Rezky sengaja tidak membayar cicilan mobil sejak Agustus sampai Oktober 2016. Tujuannya, mobil tersebut ditarik oleh perusahaan pembiayaan. Rezky baru berencana melunasi tunggakan cicilan setelah mobil itu berada di leasing. Namun, kata Rezky, Iwan malah membeli mobil itu dari leasing. Pembelian inilah yang disebut Rezky sebagai penggelapan.
Dengan tuduhan itu, pengadilan memvonis bersalah Iwan hingga tingkat kasasi. Dalam waktu dekat, tim pengacara Iwan akan mengajukan permohonan peninjauan kembali. Neshawaty Arsyad, salah satu pengacara Iwan, mengatakan masih menunggu salinan kasus sebelum meminta peninjauan kembali. Tim, kata dia, sedang menelaah bukti baru (novum) yang akan dibawa ke pengadilan. "Kami ingin meminta agar perkara ini masuk perdata, bukan pidana," ucapnya.
Menurut Neshawaty, ada beberapa kejanggalan dalam persidangan kliennya tersebut. Dalam risalah persidangan, berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan pada 25 Juli 2017. Sedangkan surat dakwaan sudah dibacakan lima hari sebelumnya. Pembacaan tuntutan, pleidoi, dan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dilakukan dalam satu hari, yaitu pada 16 Oktober.
Sepanjang dua pekan lalu, Tempo sudah mencoba mengirim permintaan wawancara kepada Rezky dan Nurhadi. Surat itu dikirim ke alamat di Jalan Hang Lekir V Nomor 6. Tapi, sampai akhir pekan lalu, tak ada respons dari keduanya.
Kamis pekan lalu, salah satu utusan Rezky yang tidak mau disebutkan namanya menghubungi Tempo. Ia meminta Tempo bertemu dengan beberapa orang yang pernah melaporkan Iwan ke polisi karena ditipu. Ia mengatakan akan mengecek sekali lagi apakah Rezky akan menjawab surat itu atau tidak. "Nanti akan saya tanyakan ke dia," kata pria tersebut. Hingga pekan lalu, Rezky belum membalas surat Tempo.
Syailendra Persada
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo