Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Mikrobiologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dede Heri Yuli Yanto mengatakan kebutuhan akan enzim dalam negeri saat ini 99 persen masih impor. Hal ini menjadi ironi di tengah keberlimpahan kekayaan alam Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara, dari 1,5 juta spesies jamur yang ada di seluruh dunia, di Indonesia sendiri diperkirakan terdapat 200 ribu spesies jamur, yang di antaranya mampu memproduksi enzim. Dede meneliti salah satu jenis jamur yang mampu memproduksi enzim yang sangat aktif, yaitu enzim lakase. Enzim ini mampu mendegradasi limbah pewarna tekstil, mendegradasi cemaran antibiotik, limbah tumpahan minyak, serta sisa biopestisida di lahan pertanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Enzim lakase juga mampu mendegradasi senyawa melanin yang biasanya menyebabkan spot hitam pada wajah. Sehingga, pemanfaatannya berkembang tidak hanya ke lingkungan, tetapi juga ke kosmetik,” ujar Dede dikutip dari siaran pers, Kamis, 2 Mei 2024.
Doktor lulusan Ehime University Jepang ini mengatakan berbagai aktivitas riset terkait enzim tidak hanya pada enzim lakase semata. Saat ini, dirinya juga sedang melakukan penelitian terkait enzim PETase, yaitu enzim yang diisolasi dari mikroba di Indonesia dan berfungsi untuk mendegradasi cemaran limbah plastik polietilen tereftalat (PET).
“Selain itu, saya saat ini mempelajari bagaimana mekanisme enzim bekerja, mempelajari struktur dan fungsi, bagaimana mereka berinteraksi dengan substratnya. Misal, dengan pewarna tekstil, plastik, pestisida, dan lain-lain,” ucapnya.
Menurut Dede, saat ini belum ada industri di Indonesia yang bisa memasok kebutuhan enzim secara nasional. “Enzim lakase saja memiliki total demand US$ 3,1 miliar per tahun, dan enzim lakase memang banyak digunakan selama ini, terutama pada industri pulp dan kertas, detergen, makanan, serta personal care,” tutur dia.
“Di Indonesia, hampir semua produk menggunakannya. Jadi, kita bisa membayangkan bagaimana besarnya potensi keanekaragaman hayati kita kalau mau memanfaatkannya. Yang kemudian jadi masalah adalah bagaimana hasil penelitian ini kemudian bisa dihilirisasi jadi industri enzim di Indonesia,” kata Dede menambahkan.
Menghadapi tantangan tersebut, peneliti yang telah mempublikasikan sembilan publikasi terindeks scopus di triwulan pertama 2024 ini melihat perlunya kolaborasi antara industri dan penelitian, sehingga riset-riset dan industrialisasi enzim akan semakin kuat. “Enzim ini menjadi kekayaan yang harus dimanfaatkan, sehingga tidak tergantung dari luar,” katanya.
Laboratorium CryoEM
BRIN saat ini sudah memiliki fasilitas laboratorium CryoEM yang terletak di Kawasan Sains Teknologi Soekarno Cibinong, Bogor. Labaratorium CryoEM sendiri menjadi penopang utama riset-riset terkait protein dan enzim.
Dengan fasilitas ini, para peneliti bisa mengetahui struktur tiga dimensi dari protein enzim yang sedang diteliti. “Sehingga, peneliti bisa mengetahui mekanisme dan fungsi enzim bekerja, bagaimana enzim tersebut mendegradasi senyawa-senyawa yang tadi itu,” kata Dede. “Perkembangan riset enzim Indonesia saat ini masih bisa bersaing dengan luar negeri. Apalagi, dengan ada fasilitas CryoEM,” tambahnya.