Polipropilen kini bisa dijadikan benang yang menyerap keringat, bisa diwarnai, dan tahan terhadap setrika. Terobosan dari ITB. SUDAH sejak awal 170-an bahan polip ropilen dimasukkan "daftar hitam" oleh industri tekstil. Benang polipropilen dianggap tak cukup punya gengsi untuk menjadi komponen tekstil. Pasalnya, ia dianggap tak cukup kuat menyerap keringat, alias kedap air, tidak tahan panas untuk menerima gosokan setrika, dan tak mau menerima zat pewarna. Kenyataan ini membuat Isminingsih Gitopadmono, peneliti di Balai Besar Industri Tekstil, Bandung, penasaran. Hal itu dianggapnya merugikan Indonesia yang punya bahan baku polipropilen, dari limbah pengilangan minyak Cilacap. Limbah itu kemudian diproses menjadi polipropilen di Plaju, Sumatera Selatan, dalam bentuk butir-butir kecil 0,4-0,5 mm -- mirip urea. Butir-butir polipropilen itu pemanfaatannya terbatas, hanya dipakai sebagai bahan baku plastik atau serat plastik. Padahal, pada akhir Pelita V nanti, angka produksi polipropilen nasional naik sampai 450 ribu ton, dengan harga Rp 1.500 per kg. Sejak 1979, Ismi pun mengutak-atik polipropilen itu. Targetnya: merekayasa agar sifat "minus" polipropilen ini bisa dikatrol sehingga butiran polipropilen itu bisa menjadi bahan baku tekstil yang berdaya saing tinggi. Tak sia-sia. Ismi mendapatkan jalan untuk membuatnya naik kelas lewat teknik penyinaran dengan radioaktif. Penelitian itu disusun Ismi dalam bentuk disertasi di ITB. Sabtu 20 April lalu, usai menjawab pertanyaan tim penguji, sidang senat guru besar ITB yang dipimpin langsung Rektor Prof. Wiranto Arismunandar Ismi diberi predikat tertinggi, summa cumlaude. Dalam penelitiannya, Ismi mula-mula menggunakan fasilitas iradiator (pemancar) sinar radioaktif milik Batan (Badan Tenaga Atom Nasional) di Pasar Jumat, Jakarta. Studi ini sempat tertunda gara-gara ia menggaet kesempatan belajar di Universite de Languedoq, Montpellier, Prancis, pada 1981-82. Lalu, pada 1984, Ismi memanfaatkan fasilitas lab di Research Institute for Polymer and Textiles, Tsukuba, sampai 1985. Polipropilen sendiri telah dikenal secara luas sejak 1953. Sebagai bahan tekstil dia sebetulnya punya sifat-sifat baik, bandel terhadap pengaruh pelbagai macam zat kimia, antijamur dan ngengat, serta tahan terhadap tarikan atau gesekan. Bahan ini juga ringan, hanya 0,92 gram per cm2. Tapi sayang dia sulit dicelup pada pewarna, tak tahan panas, dan enggan menyerap keringat. Banyak usaha mengatrolnya. Untuk mengatasi kesulitan pewarnaan, misalnya, orang menambahkan garam kompleks sebelum polipropilen itu dipintal. Upaya ini bisa mendatangkan warna-warna cerah dan tahan luntur, tapi tetap saja tak membuatnya suka menyerap keringat. Ada pula yang mencoba menerobos sifat "antikeringat" polipropilen itu dengan teknik yang disebut kopolimerisasi tempel. Pada teknik ini, tubuh polipropilen, yang berbentuk rantai molekul panjang, direnovasi. Gugus kimia hidrofilik, yang sanggup menyerap air, ditempel-tempelkan (dicangkokkan) pada molekul panjang polipropilen. Kopolimerasisasi dengan gugus (monomer) hidrofilik itu dirangsang dengan penggunaan zat peroksida radikal. Monomer yang dicoba ditempelkan pada rantai polipropilen ini paling tidak ada empat macam: asam akrilat (AA), dimetil aminoetil metaklirat (DAME), vinil pirolidon (VPO), dan etilen glikol aklirat (EGA). Dengan teknik ini, jumlah monomer yang bisa ditempelkan bisa mencapai 30% dari jumlah yang tersedia. Kopolimerisasi tempel ini ternyata membawa hasil yang cukup menggembirakan. Pada PP-AA (pencampuran polipropilen dengan monomer AA), kemampuan menyerap kelembapan bahan itu bisa dilipatgandakan, dari 0,2% menjadi 3% atau lebih. Sedangkan PPDAME (pencampuran polipropilen dengan DAME) mampu menyerap kelembapan 1,7% -- hampir sembilan kali dari kemampuan semula. Di samping itu, kehadiran monomer ini sekaligus bisa mengatasi problem pewarnaan -- - polipropilen plus itu akan menjadi lebih mudah diwarnai. Namum agaknya, teknologi tersebut makan ongkos besar hingga belum didekati oleh industri tekstil. Pada penelitiannya, Isminingsih, 52 tahun, juga memakai konsep kopolimerisasi tempel. Hanya saja, perangsangan proses pencangkokan oleh zat-zat radikal didahului dengan iradiasi (penyinaran) sinar radioaktif gamma dari Cobalt (Co-60). Maka, Ismi menyebut proses itu sebagai iradiasi kopolimerisasi tempel. Dalam eksperimennya, Ismi mencoba empat monomer sekaligus, AA, VPO, DEMA, dan EGA. Hasilnya: tiga kelemahan polipropilen bisa diatasi sekaligus. Pada formula PP-AA dan PPVPO, penyerapan kelembapan meningkat drastis dari 0,2% ke 5%. Untuk PP-EGA penyerapan naik menjadi 2,3% dan pada PPDEMA 1,7%. Pada saat yang sama, problem pewarnaan teratasi, dan sifat "antisetrika" pada popipropilen dijinakkan. Titik lelehnya naik dari 160 menjadi 300C. Hasil penelitian Isminingsih, alumnus Akademi Tekstil Bandung 1963 yang menggaet gelar master di bidang tekstil di Women's University di Dentom, Texas, 1971, itu mendapat pujian khusus dari promotornya, Prof. Oey Ban Liang. "Ini langkah besar dalam teknologi tekstil," katanya. Maka, Prof. Oey mendesak Ismi untuk mengirim hasil penelitiannya itu agar diterbitkan di jurnal ilmiah bergengsi di luar negeri. Namun, dalam hal penerapannya, Prof. Oey tak bisa meramalkannya. "Itu masih perlu langkah panjang karena menyangkut perhitungan ekonomis," kata pakar kimia industri dari ITB itu. Achmad Novian (Bandung) dan Putut Trihusodo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini