DI sudut-sudut maksiat Bombay, terbenam masa depan ribuan bunga bangsa. Statistik mencatat 40 ribu di antara 125 ribu pelacur di metropolitan India itu berusia di bawah 16 tahun. Hari-hari mereka cuma menunggu 30 rupee (sekitar Rp 3.000) untuk pemberian "jasa" beberapa menit. Menyedihkan. Di antara perempuan-perempuan malang itu, ada yang diculik germo dari kampungnya dengan tukaran kurang lebih Rp 2 juta. Sebagian lagi diimingi janji kerja baik-baik di kota. Ternyata, di kawasan lampu merah Suklaji Street mereka disulap menjadi "jajanan". Adakah ini potret satu sisi negara berkembang? Empat tahun terakhir pekerja sosial dari Savdhan berhasil menyelamatkan lebih dari 1.750 remaja yang terperangkap di rumah-rumah pelacuran Bombay. Namun, bekas kembang jalanan itu sudah dibekali penyakit sifilis, gonore, meningitis, dan lebih parah lagi virus AIDS. Para ahli kesehatan memperkirakan 20 ribu penjual diri di Bombay punya HIV positif dalam darahnya. . Apa yang terpikir dalam benak kita tatkala meninggalkan rumah di pagi segar ketika rumput masih berembun? Pernahkah kita sungguh menilai arti sebuah rumah -- tempat kita menuju pulang -- justru ketika kita tengah, misalnya terperangkap kemacetan lalu lintas dalam perjalanan seusai kerja? Mungkin karena itu sebagian dari kita, yang tentu belum merasakan surga, bahkan ada yang bilang: rumah adalah surga. Tetapi jika surga kita itu berarti tempat menemukan keteduhan -- yang kita tuju bila tak lagi ada tujuan lain, maka (sungguh) masih amat banyak dari kita yang belum, atau bahkan tidak akan, memiliki surga itu. . Oleh-Oleh AIDS Virus AIDS menyebar dari kawasan pelacuran Falkland Road di Bombay, India. Tak sadar, konsumen Falkland, yang kebanyakan buruh imigran, secara berkala membawa oleh-oleh bencana AIDS ke kampungnya di seluruh penjuru negeri. Tiga warga Bombay -- Pradeep, 27 tahun, Laxmi, 50 tahun, dan Sunil, 34 tahun -- adalah pengidap virus AlDS. Pradeep, pelacur lelaki, seperti tak peduli. "Ada yang meninggal karena itu, ada yang tidak. Dan saya merasa baik-baik saja, " katanya. Laxmi, 25 tahun melacur, masih mengaku baik. Ia mencegah kliennya ketularan dengan menyodorkan kondom. Adapun Sunil, mencari duit dengan menjual darahnya Rp 900 ribu pet bulan. Ia tak mau peduli darahnya "kotor". Sunil menjual darah di luar kota metropolitan Bombay, yang tak mengetes kandungan AIDS di darah donor. Teks: Bunga Surawijaya Foto: GAMMA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini