Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya Luky menemukan Kromman—nama ini adalah singkatan dari Kursi Roda Mekanik Mandiri. Bagi Abdul Luky Shofi’ul Azmi S., seorang penyandang cacat bisa sama cepat dan sigapnya dalam hidup. Pemikiran Luky ini kemudian melahirkan rancangan kursi roda serba mekanis. Kursi yang menelan biaya Rp 2,5 juta ini mampu membawa penyandang cacat berbelok gesit, berputar 360 derajat, bahkan mundur.
Kreativitas mahasiswa Teknik Mesin ITB angkatan 2003 ini meraih hadiah pertama pada National Innovation Contest 2007 yang diselenggarakan dua pekan lalu. Luky berhak mendapat uang Rp 18 juta. Tak hanya itu, panitia juga memberikan fasilitas hak desain industri. ”Saya ingin mendapatkan hak paten,” kata Luky.
Para juri menilai kursi yang diberi nama Kromman ini memiliki nilai yang tinggi untuk empat kategori: inovasi karya dibandingkan dengan penemuan yang sudah ada, mudah dibuat, mudah pemakaian dan perawatannya. ”Rancangan ini sudah nyata, bisa jalan dan berfungsi,” kata Bambang Sujatmo, anggota dewan juri yang menjadi Sekretaris Kementerian Riset dan Teknologi.
Bambang juga menilai mekanisme kerja kursi roda buatan Luky tidak mudah. Dia menunjuk penggunaan gir diferensial untuk menggerakkan kursi. Gigi diferensial ini biasanya ada dalam gardan belakang kendaraan roda empat.
Luky memang membuat inovasi dari kursi roda yang selama ini ada. Menurut dia, kursi roda berpedal yang rata-rata berukuran besar sulit digunakan pada ruang sempit. ”Sementara kursi roda standar tidak nyaman dipakai menjelajah di ruangan terbuka,” katanya menilai kelemahan dua model kursi roda yang ada di pasar.
Penilaian itu didasarkan pada pengamatannya menyaksikan seorang penyandang cacat di Jalan Jatayu, Bandung. ”Dia kelelahan memutar roda kursi yang dipakai menyusuri jalan itu,” ujarnya. Dari sini, pemuda kelahiran Tegal ini berselancar di dunia maya mencari informasi.
Tak hanya itu, Luky juga mengumpulkan referensi mekanis dari semua jenis kursi roda yang dijual di toko. Ada model standar yang digerakkan dengan memutarkan rodanya. Ada lagi kursi roda berpedal yang digerakkan tangan yang digunakan dalam ajang balapan para penggunanya.
Ia kemudian membuat sketsa kursi roda yang nyaman digunakan di segala medan. Untuk merealisasi rancangan itu, Luky merogoh kocek Rp 2,5 juta. Uang ini untuk membeli kursi roda bekas plus bermacam-macam onderdil sepeda hingga gir bekas gardan kendaraan roda empat.
Perubahan pertama dilakukannya dengan memotong lengan kursi roda bekas. Lantas disambung kembali dengan terlebih dulu ditambah semacam engsel. Dengan cara ini lengan kursi itu bisa mengayun, bergerak ke atas dan bawah. Kemudian pada ujung lain, sebuah pipa bulat sepanjang 10 sentimeter dipasang untuk memudahkan tangan menggerakkan lengan kursi modifikasi itu.
Pada ujung yang sama, di bagian bawah, dipasang besi panjang. Besi ini tersambung dengan engkol untuk memutar sebatang besi as yang melintang di bawah dudukan kursi. Bagian tengah as itu dipasang cakram pemutar. ”Saya beli dari sepeda balap bekas,” katanya.
Gerakan lengan kursi akan memutarkan as penggerak. Lalu piringan cakram yang berputar menarik rantai yang tersambung dengan deretan gigi bekas sepeda balap. Gigi ini berada di tengah-tengah as penggerak roda belakang. Deretan gir gigi ini membuat kursi roda bisa berputar dengan berbagai tingkat kecepatan.
Ia lalu memutar otak mencari cara agar si Kromman bisa mundur. Ia menambahkan satu bagian lagi, yakni cakram paling besar. Maksudnya, jika rantai tersangkut di gigi tambahan, kursi roda secara otomatis akan bergerak mundur.
Tak cukup dengan itu, Luky memodifikasi rangkaian gigi diferensial yang biasanya ada dalam gardan belakang kendaraan roda empat. Gigi ini dipilih yang berukuran paling kecil dan, dengan sedikit rekayasa, roda bisa berputar berlawanan arah. ”Kursi roda dapat berputar 360 derajat dengan sekali ayunan tangan,” katanya.
Rupanya, gigi diferensial ini yang menjadi rahasia si Kromman. Ia mengaku telah menguji coba kursi rancangannya pada penyandang cacat. ”Memang, masih banyak kelemahan,” katanya. Misalnya, roda engkol yang menggerakkan putaran as di bawah kursi membuat pemakainya harus memeras tenaga. Tapi semua gerakan seperti maju, membelok, berputar, dan mundur berhasil dilakukan.
Hanifan, ketua panitia kontes, mengakui ingin membuat terobosan bagi pemenang dengan mengusahakan hak paten atas karya mereka. Maklum, selama ini hak atas karya dalam kontes biasanya dimiliki panitia. Apalagi, untuk mendaftarkan satu hak paten butuh biaya sekitar Rp 2 juta. ”Dengan memberikan hak ini, mereka mendapat perlindungan untuk desainnya,” katanya. Kontes yang baru pertama kali diselenggarakan ini diikuti 40 karya mahasiswa dari 13 perguruan tinggi di Jawa.
Bagi Luky, setengah dari hadiah itu bakal digunakan untuk menyempurnakan rancangannya. Ia akan membenahi mekanisasi kursi roda dan mencari bahan baku yang cocok. ”Butuh waktu sampai dua tahun lagi,” ia memperkirakan.
Kebahagiaan Luky juga dirasakan Ubaidillah dan kawan-kawan dari Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya. Kelompok mahasiswa yang merancang Mini Combine Harvester atau mesin panen buat petani ini meraih juara kedua.
Perbedaan skor yang dimiliki Luky dan Ubaidilah memang tipis. Bambang Sujatmo mengakui tak mudah menilai kedua rancangan ini. ”Seperti membandingkan sesuatu yang sesungguhnya nggak pantas untuk dibandingkan,” katanya. Tempat ketiga diraih Wicaksono dan kawan-kawan dari Jurusan Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB, yang merancang kursi puzzle.
Ahmad Fikri, Untung Widyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo