Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barang-barang itu berserakan di atas meja. Ada magnet yang dicopot dari pengeras suara bekas, pipa PVC, dan kalender terbitan tahun lalu. Perangkat lainnya: penggaris, pisau pemotong (cutter), dan selotip. Di depan alat-alat itu, seorang lelaki beraksi bak bintang film lawas MacGyver.
Ia membungkus pipa dengan kalender bekas, lalu memasukkan dua buah magnet yang tengahnya berlubang ke dalam paralon itu. Masing-masing magnet sama kutubnya: selatan dengan selatan atau sebaliknya. Seperti kuntilanak dalam film horor yang ogah menginjak bumi, magnet di bagian atas emoh dempet dengan magnet di bawahnya. Ketika magnet yang di bawah digerakkan, besi berani di atasnya mental-mentul seperti pemain trampolin.
Itulah salah satu atraksi alat peraga fisika yang diberi nama Magnet Apung. Alat sederhana ini buatan Tjandra Heru Awan, 56 tahun, guru SMA Negeri 10 Malang, Jawa Timur. Alat itu digunakan untuk menjelaskan gaya tolak-menolak magnet yang terdapat dalam buku-buku pelajaran fisika di sekolah. Gaya tolak-menolak sebenarnya bisa juga dilakukan secara horizontal, yang mengakibatkan aksi kejar-kejaran magnet. Namun gaya apung jauh lebih menarik dipandang.
Lewat alat peraga seperti itu, ditambah gaya mengajar yang kocak, Tjandra berhasil memikat murid-muridnya untuk menyukai fisika. ”Pak Tjandra selalu mempunyai pertunjukan untuk menjelaskan pelajaran fisika,” kata Alfifi, siswa kelas III IPA SMA Negeri 10 Malang, tempat Tjandra mengajar. Alfifi tidak asal memuji. Kendati mengaku tidak begitu pandai di kelas, ia tertarik dengan gaya mengajar bapak empat anak itu. ”Saya jadi senang mengikuti pelajaran fisika.”
Tak hanya di depan muridnya Tjandra beraksi. Sejak dua tahun lalu, beberapa kali dia diundang berbagai lembaga nirlaba, seperti Sampoerna Foundation, ProVisi Education, dan Medco Foundation, untuk memberikan pelatihan tentang alat-alat bikinannya itu kepada guru di berbagai daerah, seperti Depok, Jawa Barat; Musi Banyuasin, Sumatera Selatan; dan Tarakan, Kalimantan Timur. ”Kami ingin alat peraga Pak Tjandra ini bisa digunakan di sekolah-sekolah,” kata Roni Pramaditia dari Medco Foundation. Akhir Februari lalu, ia mendatangkan Tjandra untuk memberikan pelatihan kepada guru-guru SMA di Jakarta.
Menyajikan fisika menjadi sebuah permainan mengasyikkan tentu bukan monopoli Tjandra. Nama Johannes Surya sudah lebih dulu dikenal publik. Di tangan Johannes, fisika yang sebelumnya dikenal sebagai pelajaran yang bikin stres berubah menjadi permainan yang menyenangkan. ”Balon atau kaus kaki pun bisa dipakai untuk menjelaskan fisika,” kata Johannes, yang tengah menyiapkan anak didiknya bertarung di Olimpiade Fisika di Shanghai, Cina, April mendatang.
Namun ada yang berbeda antara Tjandra dan Johannes. Tjandra lebih suka memunguti barang bekas untuk membuat alat peraga. Ia menyebutnya ”Laga Si Rangkas” alias alat peraga fisika dari barang bekas. Dengan barang-barang rongsok, dia berusaha menampilkan pelajaran rumit menjadi menyenangkan.
Upaya menciptakan alat-alat peraga dari barang bekas ini, menurut Tjandra, berawal dari pengalaman tak menyenangkan ketika masih menjadi anak sekolah. ”Banyak guru yang hanya bisa omong thok tanpa bisa menjelaskan penerapan teori-teori itu,” katanya. Tjandra muda, yang kurang puas dengan gaya mengajar gurunya, kemudian kerap melakukan percobaan sendiri di rumah.
Ketika ia sendiri menjadi guru, pada 1976, Tjandra kena batunya. Ternyata alat-alat peraga fisika tak mudah didapat. Kalaupun harus dibeli, harganya berkebalikan dengan hukum Newton. Tak ada gravitasi. Setelah naik, harga-harga itu ogah turun. ”Dan tidak semua sekolah di daerah memiliki alat-alat seperti itu,” katanya. Barangkali itu pula sebabnya gurunya dulu kesulitan menjelaskan teori-teori dalam pelajaran.
Sarjana muda lulusan IKIP Malang ini tak mau pengalaman pahitnya di masa lalu terulang. Dia pun putar otak, berikhtiar membuat murid-muridnya antusias dengan materi pelajaran yang diberikan. Alat-alat peraga yang sulit diperoleh itu akhirnya dibuat sendiri.
Tjandra meneguhkan tekad karena dia menilai eksperimen merupakan panglima dalam pembelajaran fisika. ”Pada akhirnya saya menyadari roh dari pembelajaran fisika adalah eksperimen,” katanya. Dalam membuat alat peraga, ia menetapkan syarat bahwa biaya pembuatan tidak boleh mahal. Maka barang bekaslah yang jadi pilihannya.
Ia berbelanja ide membuat alat peraga dengan membuka-buka buku fisika, berdiskusi dengan teman-teman seprofesi, dan mencoba berbagai alat peraga yang sudah ada. Usahanya tak selalu berhasil, bahkan berkali-kali gagal.
Tjandra, misalnya, kesulitan membuat alat peraga Tabung Boyle. Padahal alat peraga ini cukup penting untuk menerangkan hubungan tekanan dan volume gas dalam keadaan tertutup kepada para siswa. Tjandra sebetulnya sudah berhasil menemukan cara kerja tabung, tapi dia sulit menemukan benda pengganti tabung tersebut. ”Saya endapkan saja. Yang penting, saya sudah tahu cara kerjanya.”
Hingga suatu hari, ketika dia sakit dan berobat di sebuah pusat kesehatan masyarakat, eh, saat hendak disuntik, tiba-tiba dia meloncat kegirangan. ”Itu, itu yang saya cari,” katanya setengah berteriak. Dokter di puskesmas keruan kebingungan. Rupanya alat injeksi yang dipegangnya yang menjadi sumber ”kegilaan” Tjandra. Guru kreatif itu akhirnya menemukan benda pengganti yang sudah lama dia cari untuk alat peraga Tabung Boyle.
Kemudian berturut-turut berbagai karyanya muncul. Contohnya Molina atau Motor Listrik Sederhana, yang dia buat dari sekumpulan barang bekas, seperti kardus, magnet bekas pengeras suara, jeruji sepeda, dan kawat tembaga. Alat ini dapat menjelaskan cara kerja motor listrik dan cakram Newton.
Alat peraga lain adalah cermin three in one yang diberi nama Cerio. Rekayasanya ini diganjar penghargaan dalam ajang ”Science in Fun” dua tahun lalu. ”Saat membuat alat-alat itu, saya sama sekali tidak bermaksud untuk mengikutkannya dalam lomba,” ujarnya. Tak terasa, hingga kini dia telah menghasilkan sekitar 20 alat peraga fisika dari barang bekas. Karya-karyanya ia beri nama unik. Misalnya Paranglina (papan rangkaian listrik sederhana) atau Molimama (motor listrik matematika). ”Biar murid-murid tertarik,” katanya.
Murid-muridnya jelas semakin senang dan menyukai pelajaran fisika. Sayangnya, meski Tjandra sudah berkali-kali mendapatkan penghargaan, perhatian Departemen Pendidikan Nasional terhadap hasil ikhtiarnya masih terasa kurang. Padahal karya yang dihasilkannya sangat bermanfaat untuk proses pengajaran fisika atau matematika, terutama untuk sekolah di pelosok atau sekolah yang anggarannya cekak.
Sebagai perbandingan, di toko alat peraga, Tabung Boyle dijual dengan harga Rp 175 ribu. Dengan alat bikinan sendiri dari barang bekas, tabung itu bisa dibuat dengan Rp 5.000 saja. Hitung saja berapa banyak uang yang bisa dihemat jika alat Tjandra yang dipakai. Apalagi Tjandra memang tak berniat mempatenkan temuannya. ”Mungkin lebih baik dibuatkan VCD-nya saja. Mereka tinggal menayangkan jika ingin menjelaskannya kepada murid,” katanya. Tjandra tentu akan pensiun dengan tenang empat tahun lagi jika temuannya bisa menyebar ke seluruh negeri.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo