Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA Rabu, 7 Maret, sekitar pukul 7.45 pagi, datang pesan pendek yang mengentakkan dada: "Garuda terbakar di Yogya, Pak Koes ada di pesawat itu. Belum jelas kondisinya." Pesan singkat berseliweran sepanjang hari, dan 15 jam kemudian konfirmasi itu datang: Profesor Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H telah tiada. Sesak mendengarnya. Hari itu salah satu guru bangsa terbang untuk selamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pak Koes, panggilan kesehariannya, dikenal dekat dengan anak-anak muda. Tak terhitung jumlah anak muda negeri ini yang tercerahkan dan bangkit karena Pak Koes. Kesungguhan, optimisme, keberpihakan pada rakyat kecil, dan kepedulian pada masa depan, hanya sebagian kecil dari karakternya. Pak Koes bukan orator yang pidatonya menggelegar. Dia lebih banyak berbuat sebagai realisasi atas idealisme dan kata-katanya. Itu sebabnya dia mempesona anak-anak muda. Semangat kerjanya luar biasa. Di usia 80 tahun dia masih secara sungguh-sungguh mengajar di belasan universitas, membimbing puluhan calon doktor dan mahasiswa pascasarjana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koesnadi Hardjasoemantri adalah figur utuh yang eksistensinya di berbagai arena bukan sekadar basa-basi. Dia aktivis, pendidik, peneliti, perwira pejuang revolusi, pakar hukum, pencinta lingkungan hidup, penari, dan seniman. Di balik berbagai peran itu, Pak Koes adalah tokoh tersembunyi tapi kunci dalam membentuk dan mengarahkan peran anak muda di republik ini.
Ketika pendidikan tinggi baru bisa dirasakan oleh segelintir pemuda, sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Pak Koes memimpin Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) terjun ke seluruh pelosok negeri menjadi guru. Pada 1951 dia mengajar sekolah lanjutan di Kupang. Dia pulang ke Yogya dengan membawa anak-anak potensial dari Kupang untuk meneruskan pendidikannya ke universitas. Pak Koes mengurusi proyek PTM ini selama enam tahun, hingga berhasil mengirim 1.400 mahasiswa mengajar di 161 sekolah menengah atas di seluruh Indonesia.
Pengerahan Tenaga Mahasiswa menopang kebijakan pemerintah masa itu agar ada sekolah lanjutan atas di setiap kabupaten di Indonesia. Efeknya, pada 1960-an terjadi ledakan jumlah mahasiswa. Jika sebelumnya, mahasiswa selalu berasal dari kalangan sosial-ekonomi menengah-atas, pada dekade 1960-an untuk pertama kalinya anak-anak muda dari segala penjuru dan semua kelas sosial-ekonomi bisa menembus dan memasuki bangku universitas. Pak Koes ada di sana, dia ada di balik kemunculan mahasiswa dari segala kelas dan dari segala penjuru. Dia tersembunyi, tapi jejaknya jelas dan pahalanya permanen.
Pada 1986 Pak Koes terpilih menjadi Rektor UGM. Begitu banyak cerita menarik dan penting mengenai kepemimpinannya, mulai dari kebiasaannya bersepeda keliling UGM untuk melihat langsung kondisi kampusnya, sampai pada keterbukaan yang luar biasa. "Jam berapa pun, selama lampu teras rumah masih menyala, silakan datang dan akan saya layani," begitu kata Pak Koes seakan menegaskan bahwa jam kerjanya nonstop. Pada era ketika cermin kewibawaan itu adalah kekuasaan yang garang dan berjarak dengan rakyat, Pak Koes memangkas jarak pemimpin dengan "rakyat". Dia menjadi contoh nyata bagaimana menjadi seorang pemimpin, sebuah kemewahan luar biasa untuk para mahasiswanya.
Ketika menjabat rektor sampai tahun 1990, Pak Koes memfasilitasi internalisasi dan re-migrasi gerakan mahasiswa ke dalam kampus. Dia tidak membakar mahasiswa dengan retorika. Pak Koes hanya menunjukkan bagaimana mengemas dan mengartikulasikan idealisme secara akademis. Efeknya dahsyat. Gerakan mahasiswa yang semula selalu berada di luar kampus mendadak terfasilitasi di dalam kampus. Pak Koes mengantar mahasiswanya mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada saat mayoritas pimpinan universitas di seantero negeri ini jadi kepanjangan tangan Orde Baru dan represor mahasiswa, Rektor UGM ini justru bersahabat dengan mahasiswa dan idealismenya. Kemasan dan artikulasi akademis itu membuat Pak Koes tak bisa begitu saja ditonjok oleh rezim Orde Baru.
Ketika Menteri Pendidikan Fuad Hassan mengeluarkan konsep Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) pada 1989, UGM adalah salah satu universitas negeri pertama yang memanfaatkannya. Sebagian mahasiswa memang menentang dan menganggapnya sebagai kepanjangan tangan Orde Baru, tapi sebagian mahasiswa lain mengikuti alur yang dikembangkan Pak Koes dan memanfaatkannya. Efeknya, idealisme, semangat moral, dan sifat keoposisian, yang menjadi karakter utama gerakan mahasiswa, lalu muncul di lembaga kemahasiswaan. Bagi para aktivis lembaga kemahasiswaan UGM, pemanfaatan itu sekadar bingkai atas langkah yang dibangun oleh Pak Koes. Dan di kampus UGM ini pula lahir konsep Badan Eksekutif. Strategi pemanfaatan ini kemudian menular ke berbagai kampus yang lain.
Gerakan mahasiswa kembali menemukan ruang di dalam pagar kampus dan kemudian mahasiswa menjadi garda terdepan yang menuntut reformasi politik. Pak Koes tersembunyi tapi dialah yang menyiapkan landasan pacu bagi take-off-nya gerakan mahasiswa pada 1990-an. Dia tak banyak kata dan tak pernah mengklaim, tapi langkahnya jelas dan efeknya permanen.
Pada saat republik harus bertempur, dia jadi tentara pelajar. Ketika republik perlu anak-anak terdidik, dia jadi guru di pelosok negeri. Tatkala republik perlu pemuda peduli rakyat, dia kirimkan ribuan muridnya ke desa-desa terpencil. Sewaktu republik perlu regenerasi, dia institusikan kampus sebagai wahana penggodokannya. Ini hanya sisi Pak Koes dan generasi muda. Masih panjang deretan jasa besarnya di bidang lingkungan hidup, kebudayaan, seni, ataupun pendidikan.
Pak Koes kini telah berpulang. Keluarga, sahabat, kolega, dan beribu-ribu muridnya terpaku kelu mendengar salah satu putra terbaik bangsa mendadak dipanggil-Nya pulang. Hari itu pesawat Garuda panas terpanggang, tapi Universitas Gadjah Mada serta bangsa ini basah oleh linangan air mata. Selamat jalan, Pak Koes, pahala untukmu akan terus mengalir lewat ilmu dan muridmu yang tersebar di seluruh penjuru negeri tercinta ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Selamat Jalan, Pak Koes..."