DEMAM kelebihan tenaga kerja tampaknya akan menular ke dunia komputer. Paling tidak, itulah pernyataan yang dikeluarkan oleh Prof. Dr. Mathias Aroef, Ketua Dewan Produktivitas Nasional Indonesia, bulan lalu. Guru besar ITB ini tentu tak asal bicara. Di depan lebih dari seratus peserta seminar di Institut Teknologi Bandung (ITB), ia mencetuskan kekhawatirannya atas menjamurnya kursus komputer di berbagai pelosok tanah air. Terutama karena tak jelas arahnya ke mana. Karena itu, gejala ini dianggapnya "sebagai budaya latah bangsa". Alias, "Cuma mode saja," katanya. Berdasarkan pengalaman itu, Mathias memperkirakan Indonesia akan segera memiliki kelebihan tenaga terdidik di bidang komputer. Dampaknya cukup mengkhawatirkan. Akan terjadi pengangguran tenaga terdidik, timbulnya berbagai kejahatan yang menggunakan komputer, dan maraknya kekecewaan. Pendapat Mathias ini ternyata dibantah banyak pakar lainnya. Menurut Ir. Harsono, M.Sc., Ketua Jurusan Informatika ITB, ke butuhan tenaga ahli komputer untuk tingkat sarjana buat tahun depan saja mencapai sebelas ribu orang. "Padahal, saat ini Indonesia hanya mampu menghasilkan 300 sarjana informatika setahunnya," katanya. Karena itu, Harsono memperkirakan, tenaga ahli komputer yang dimaksud Mathias mungkin di tingkat operator. Tetapi, menurut J.P. Soebandono, Presiden Direktur PT USI, tenaga tingkat operator pun dirasakannya masih langka. "Konsumen kami selalu mengeluh kesulitan mencari tenaga operator " kata bos agen IBM di Indonesia ini. Alhasil, tudingan memang lebih diarahkan ke kursus-kursus komputer yang sedang menjamur itu. Di wilayah Jakarta dan Bandung saja, menurut Dr. Arifin Wardiman, M.Sc., diperkirakan terdapat 200-an tempat kursus komputer. Dan Direktur Pusat Ilmu Komputer dan Sistem Informasi (PIKSI) ITB ini memperkirakan terdapat sekitar sepuluh ribu tenaga lulusan kursus-kursus tersebut. Ini berarti telah ratusan juta rupiah terserap oleh bisnis kursus komputer. Sebab, untuk kursus satu bulan saja, Lembaga Ilmu Komputer dan Manajeman Indonesia (LIKMI) memungut lima puluh ribu rupiah dari setiap peserta. Lama kursus memang antara satu dan dua bulan untuk satu program aplikasi seperti Wordstar, Lotus 123, ataupun dBase III. Bahkan LIKMI, yang berada di Bandung ini, sudah mengembangkan juga kursus yang lamanya setahun. Dan menurut Dr. Winardi Sutantyo, Direktur LIKMI, minat ternyata cukslp besar. "Saat ini kami memiliki sekitar 1.000 siswa dengan 15 tenaga pengajar," katanya dengan bangga. Padahal, lembaga yang memiliki 150 komputer pribadi (PC) ini baru berdiri tiga tahun yang lalu. Kebanyakan peserta kelihatannya memang tak menganggap kursus ini sebagai tumpuan masa depan. "Saya ikut kursus karena ingin tahu komputer, bisa memakainya, dan menambah keterampilan," kata Hesti Rejeki Tunggadewi alias Etik. Sarjana Peternakan IPB berusia 23 tahun ini sempat menghabiskan 6 bulan dan Rp 120 ribu untuk memuaskan rasa ingin tahunya itu. Bagi pemilik PC seperti Etik, kursus memang terasa bermanfaat. "Namun, kalau tak memiliki PC dan jarang menggunakannya, hasil kursus dapat menjadi mubazir," kata Ir. Santi Sudarpo, Direktur PT Sumber Prawedi Informatika (SPI) di Jakarta. Saat ini, pemanfaatan PC umumnya terbatas terutama sebagai pengolah kata atau mesin ketik canggih. "Padahal, PC sangat bermanfaat dalam bidang manajemen," kata Yusuf Randy, Direktur Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia Amerika (LPKIA) di Jakarta. Hanya saja, untuk melakukan hal ini diperlukan kemampuan membuat program. Sayangnya, menurut Yusuf Randy, tak banyak di antara 6.000 murid LPKIA yang berminat tinggi dalam membuat program ini. Bahkan ia memperkirakan keengganan serupa juga terjadi di seluruh Indonesia. "Soalnya, selama hak ciptanya tak dilindungi, siapa yang akan berminat?" katanya. Sebagai contoh, ia menunjuk program Wordstar, yang seharusnya berharga 200 dolar AS, ternyata di Indonesia dibajak dan dijual dengan harga dua ribu rupiah saja. Keluhan serupa juga diutarakan Santi. "Karena belum ada perjanjian perlindungan hak cipta, perusahaan pembuat program di negara malu tak mau menanam modal di Indonesia," katanya. Santi tampaknya mulai mengincar lahan ini. PT SPI telah berhasil mengekspor tiga programernya ke AS. "Mereka dikontrak perusahaan Jepang di Amerika," katanya menjelaskan. Sedangkan untuk konsumsi dalam negeri, SPI juga menyediakan tenaga untuk pemakaian komputer. Termasuk puluhan ibu rumah tangga yang dilatih untuk memasukkan data. Biasanya tenaga memasukkan data ini dibutuhkan pada saat-saat tertentu saja. "Misalnya saat PLN menyiapkan tagihan langganan," kata Santi. Ia sebenarnya iri juga melihat kemampuan Filipina merebut kontrak memasukkan data dari AS. Yaitu kontrak memasukkan data tulisan menjadi data elektronik untuk sejumlah perusahaan raksasa AS. Namun, pekerjaan memasukkan data ini, menurut Santi, hanyalah untuk sementara. Kemajuan teknologi dan pemakaian komputer akan menggilas peluang ini. Karena itu, ia lebih mengarahkan usahanya di bidang penyediaan tenaga pembuat program. Santi memang tak sendirian. Jepang ternyata sudah menengok ke Indonesia sebagai salah satu penyedia tenaga pembuat program komputer. "Jepang memperkirakan, kebutuhan tenaga programernya untuk tahun 2000 sebanyak 600 ribu," kata Ir. Harry Noor, Kepala Laboratorium Engineering & Computing System di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Karena Jepang merasa tak akan dapat mencukupi kebutuhan itu, maka kerja sama dengan IPTN pun sedang dikembangkan. Siapa tahu, dari para peserta kursus itu akan lahir programer yang andal. Sebab, banyak programer jenius AS ternyata bukan dicetak oleh perguruan tinggi. Jobs dan Wozniac, pendiri perusahan komputer Apple, adalah contohnya. Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini