Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bunga Tinggi, Likuiditas Langka ...

Sejumlah bank terancam kesulitan likuiditas. diduga erat kaitannya dengan paket deregulasi keuangan & perbankan 27 oktober (pakto). bunga deposito naik. akibat mismanajemen. pasar modal mulai basah.

12 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEDANG terjadi proses penyehatan dalam tubuh perbankan di Indonesia, setidaknya itulah yang diharapkan Gubernur Bank Indonesia, Dr. Adrianus Mooy. Dalam proses itu, suku bunga pinjaman antarbank satu malam, yang merupakan barometer likuiditas perbankan, melambung mendekati 30% per tahun. Memang belum sepanas empat tahun silam, ketika suku bunga antarbank mencapai lebih dari 90%. Seiring dengan itu, ada sekitar 11 bank -- atau barangkali juga 25 bank -- diberitakan mengalami krisis likuiditas. Tak kurang dari Astra Internasional yang menyatakan bank-bank itu terkena kartu merah Bank Indonesia. Edaran Astra ini memang sudah dibantah oleh Dr. Mooy Sabtu lalu. Tapi Gubernur BI itu membenarkan bahwa ada dua bank yang dilarang mengikuti kliring. Volume rupiah yang mempis -- hingga bank-bank merasa tercekik -- diduga erat kaitannya dengan Paket Deregulasi Keuangan dan Perbankan yang diumumkan 27 Oktober (Pakto) silam. Namun, hal ini dibantah oleh Mooy. Dirut BDN Samadikun berpendapat sama, bahwa adalah bukan salah Pakto jika sejumlah bank mengalami kesulitan likuiditas. Dengan kata lain, bank-bank guncang dan goyah semata-mata karena pengelolaannya dibiarkan tidak sehat. Pada saat Pakto diumumkan, kontan saja bank-bank itu kehilangan keseimbangan. Dan beberapa tumbang. Dalam upaya menyelamatkan diri, sejumlah bank buru-buru menaikkan bunga depositonya. Dan tampaknya bank-bank ini tak begitu peduli bahwa nasabah bisa semakin curiga bila bunga semakin tinggi. Bank Artha Pusara menaikkan suku bunga deposito jadi 21% (dari 17,5%), Bank Pembangunan Industri menaikkan sampai 21% (dari 18%), dan Bank Danamon 20% (dari 18%), masing-masing untuk deposito berjangka sebulan. Paling mencolok adalah Overseas Express Bank, yang menaikkan suku bunga depositonya dari 17% menjadi 26% per tahun, untuk masa simpan sebulan. Sungguh tak tanggung-tanggung. Bagaimana reaksi para pemilik modal sulit diketahui. Hanya ada kecenderungan, para deposan menarik depositonya dari bank bank kecil, lalu diamankan di bank-bank besar. Sementara itu, tak terjadi gejolak permintaan, baik di money changer, bursa saham, ataupun toko-toko emas. Jelas, deposito masih alternatif yang paling menguntungkan, kendati pada saat yang sama banyak nasabah yang tetap saja dirundung gelisah. Hal serupa juga dirasakan oleh para bankir yang di saat dirinya merasa terancam gara-gara pemberlakuan pajak bunga deposito -- justru mengharapkan pil penenang. Mereka menunggu-nunggu 14 November, hari ketika perbankan mulai menikmati penyusutan reserve requirement (seperti ditetapkan oleh Pakto 1988), yang semula 15% menjadi hanya 2%. Memang, beberapa pengamat meramalkan bahwa langkanya rupiah dan tingginya suku bunga antarbank hanya akan berlaku sementara. Masalahnya kini ialah adakah dengan berlakunya reserve requirement (nisbah tunai) yang hanya 2% itu, situasi akan serta merta membaik? Sulit memastikannya. Yang pasti, dari nisbah tunai inilah bank sentral bisa memonitor sehat tidaknya setiap bank. Setiap bank yang mengeluarkan kredit biasanya mengeluarkan cek kepada debitur. Debitur ini mungkin saja menarik uang tersebut untuk ditaruh di bank lain. Jumlah bank dan nasabah 'kan banyak? Bisa dibayangkan betapa ruwetnya lalu lintas cek antarbank. Tapi sebenarnya sederhana, karena bank-bank melakukan penjernihan (kliring) cek, melalui rekening nisbah tunai mereka di bank sentral. Jadi, bank yang sangat agresif melakukan ekspansi kredit sebenarnya sangat mudah kekeringan dana. Jika saldonya terus merah, dengan sendirinya BI akan mengetahui bahwa bank itu kesulitan likuiditas. Gejala itu tampak pekan silam. Sementara ada 11 bank dikatakan mengalami krisis uang tunai, sebaliknya satu atau dua bank mengalami kelebihan likuiditas dan menanamkannya dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Kabarnya, telah terjadi transaksi pembelian SBI bernilai Rp300 milyar pada awal November ini, dan dilakukan hanya oleh satu bank pemerintah. Selain itu, bank-bank diduga terpaksa melepaskan simpanan valuta asingnya dan menukarnya dengan rupiah. Hanya masyarakat awam yang diduga membeli valuta asing. Investasi dalam rupiah memang menguntungkan dibandingkan dalam valuta asing. Tapi kami perlu menanamkan sebagian dana dalam beberapa valuta. Bukan untuk mencari untung, tapi hanya sekadar pengamanan agar kami bisa tidur tenang," kata Ir. Ciputra, bos PT Pembangunan Jaya yang juga mengelola dana Yayasan Jaya Raya. Cukup mengherankan bahwa bank-bank pemerintah, yang selama ini aktif memasok rupiah di pasar uang call money (pinjaman antarbank berjangka sangat singkat), pekan lalu menahan diri. Mereka lebih suka membeli SBI, yang hanya memberikan bunga sekitar 15% per tahun, daripada melemparkan dananya yang nganggur ke pasar call money, yang memberikan suku bunga hampir dua kali lipat (30%). Beberapa bankir menduga, sikap bank-bank pemerintah itu sebagai langkah pengamanan diri. Selain itu, bank-bank juga berusaha menahan likuiditasnya agaknya karena melihat ancaman dari bank-bank yang sudah guncang. Perbankan nasional memang tak ubahnya kartu domino disusun tegak berbaris. Jika salah satu roboh, semuanya akan ambruk. Tapi BI sebenarnya sudah memblokir ancaman itu, dengan melarang bank yang miring untuk ikut kliring. "Bank Indonesia tentu tak akan membiarkan bank yang kesulitan likuiditas terus megap-megap," kata Dirut BDN Samadikun. Tapi baru pekan depan, bank yang kesulitan likuiditas itu akan bisa bernapas lebih lega, pada saat nisbah tunai secara bertahap diturunkan menjadi 2%. Dan untuk tahap pertama, bank-bank boleh mencairkan 20% dari seluruh nisbah itu. Namun, ketentuan itu pun dianggap mengandung bahaya. "Ketentuan nisbah tunai 2% dari jumlah dana pihak ketiga itu terlalu tipis. Sangat riskan," kata S. Ranty, Direktur Eksekutif Bank Umum Nasional (BUN). Menurut Ranty, selama ini bank-bank justru berusaha mempertahankan nisbah tunai lebih dari 15%. Caranya antara lain dengan mencari pinjaman antarbank jangka pendek yang disebut call money, atau menjual surat utang jangka sangat pendek yang disebut SBPU (surat berharga pasar uang) ke BI. Senin pekan depan, bunga deposito juga mulai dikenai pajak penghasilan 15%. Terjadi arus penarikan dana, tapi Adrianus Mooy membantah isu penarikan deposito besar-besaran itu. Presiden Direktur BCA, Abdullah Ali, menegaskan bahwa bank yang dikelolanya bersama bankir terkenal Mochtar Ryady tidak mengalami penarikan deposito. Bank Umum Asia, menurut Direktur Roy E. Tirtadji, juga tidak mengalami pengeringan dana deposito. Di daerah juga demikian. Bank Surya Indonesia dan Bank Karman di Surabaya, misalnya, masih memberikan bunga deposito tetap (17%-20% per tahun). Pengelola kedua bank tersebut menandaskan, tidak ada penarikan deposito. "Malahan, minggu lalu banyak tabungan besar yang masuk " kata seorang eksekutif Bank Surya. Begitu pula di Sumatera Utara. "Situasi biasa-biasa saja," kata Aiban Durin, Kepala BI Cabang Medan. Tapi para pemilik uang dan manajer dana-dana yayasan agaknya mulai mengalihkan sebagian modal mereka ke bursa. Buktinya, saham-saham Hotel Borobudur Intercontinental sebanyak 6,6 juta lembar yang dijual seharga Rp3.500 per lembar habis terjual. "Malah terjadi overbooked empat kali lipat," tutur Kitty Twysel, Sekretaris PPUE (Persatuan Pedagang Uang dan Efek) yang juga Direktris PT Intan Artha. Mereka yang telah membeli saham emisi kedua Borobudur mungkin beruntung sekali. Baru satu hari saja, mereka sudah memperoleh laba kurs (capital gain) Rp90 per lembar. Tapi Ciputra, sebagai pengusaha, prihatin melihat tingginya suku bunga rupiah di bank-bank nasional. "Bunga sudah terlalu berat untuk dipikul para pengusaha, sehingga mereka sulit melakukan perluasan investasi," katanya. "Tingginya suku bunga bank akan mengakibatkan perusahaan-perusahaan sulit mendapat untung, dan akhirnya bisa memukul para investor di pasar modal," kata Pak Ci. Pakar ekonomi Kwiek Kian Gie, 53 tahun, juga heran melihat Paket Deregulasi 27 Oktober itu. "Gubernur Mooy pernah mengatakan akan berusaha menurunkan suku bunga perbankan untuk mendorong investasi. Pakto ini kok justru meningkatkan suku bunga," tanya Kwiek, yang juga pengusaha barang elektronik itu. Selain itu, Kwiek mendapat kesan bahwa pemerintah belum tegas. "Pakto itu katanya sebagai usaha pemerintah untuk menindak bank-bank yang tidak dikelola baik. Tapi Sabtu lalu ada upaya membentuk satu konsorsium untuk menolong bank-bank yang ditimpa kesulitan likuiditas. Pendapat saya, bank-bank itu dibiarkan saja (mati)," kata Kwiek kepada Liston P. Siregar. Pendapat serupa dikatakan Ketua Perbanas yang baru, Abdulgani (Lihat wawancara). Yang penting, menurut Dirut Bank Duta itu, bank-bank berusaha efisien dan efektif secara profesional. Dalam hal ini, tidak tertutup kemungkinan ada bank tersingkir. Sehingga, "satu lagi yang harus dipikirkan, bagaimana menjamin para deposan," kata Abdulgani. Semacam asuransi deposito, begitu, Pak? Max Wangkar, Sidartha Pratidina, Biro Jakarta dan Daerah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus