PERHIMPUNAN Bank-Bank Nasional Swasta (Perbanas), Selasa pekan lalu, berhasil memilih pengurus baru. "Semua pengurus baru terpilih karena mereka adalah tokoh-tokoh profesional perbankan," begitu alasan yang dikemukakan I Nyoman Moena, bekas Ketua Perbanas yang juga menjadi ketua formatir penyusunan pengurus baru. Terpilihnya Dirut Bank Duta, Abdulgani, yang berusia 45 tahun itu, kabarnya karena ia mudah berhubungan dengan berbagai pejabat pemerintah. Dia lulusan Fakultas Ekonomi UI 1969, yang pernah menjadi Ketua IV ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) -- organisasi yang kini dipimpin Menteri Keuangan J.B. Sumarlin. Ia juga pernah bekerja di Bank Ekspor Impor Indonesia. Dan yang tak bisa dilupakan, Bank Duta adalah bank milik Yayasan Super Semar yang diketuai Presiden Soeharto dan PT Berdikari, dengan preskomnya Bustanil Arifin. Tapi, ruang kerja Abdulgani yang lapang, barangkali tak akan dipenuhi berkas-berkas masalah perbankan. Seperti dikatakannya, berbagai pekerjaan rumah pengurus baru Perbanas sudah diselesaikan dengan keluarnya Paket Deregulasi Keuangan dan Perbankan, yang diumumkan 27 Oktober (Pakto). Satu kebetulan yang tampak seperti disengaja? Abdulgani tersenyum-senyum, tapi tidak membantahnya. Bapak dua anak ini, Kamis pekan lalu, menerima tim wartawan TEMPO untuk sebuah wawancara, di ruang kerjanya yang teduh di gedung Bank Duta, lantai 19, Jakarta. Wawancara terutama mempermasalahkan "nasib" bank-bank swasta, yang kelengar karena "bola Pakto" yang telah ditendang amat keras oleh pemerintah. Petikan wawancara itu: Pendapat Anda tentang Pakto? Pakto 27 merupakan penyempurnaan struktur perbankan. Ditata kembali dalam rangka peranan perbankan menunjang perekonomian. Peranan perbankan menjadi seimbang. Menjurus ke persaingan yang sehat. Longgarnya kesempatan untuk membuka cabang dan pendirian bank baru memungkinkan share bank swasta lebih meningkat, yang kemudian mengacu pada kondisi keseimbangan pasar. Perlakuan yang sama telah diciptakan. Misalnya, bank pemerintah dan swasta diberlakukan sama untuk membuka cabang, 50% dana BUMN boleh ditempatkan di bank swasta. Ini peluang bagi bank swasta untuk berkembang. Peluang yang mana? Buka bank baru cukup bermodal Rp 10 milyar. Nampaknya mudah dan sepele. Tapi orang harus berpikir betul, berpikir dua tiga kali. Harus diperhitungkan secara bisnis murni. Kini memiliki bank tak lagi merupakan hak istimewa. Pemilik bank tak bisa lagi seenaknya menggunakan modalnya untuk kepentingan diri sendiri atau grupnya. Legal lending limit membatasi maksimal hanya 25% yang bisa dipakai sendiri. Implikasinya, pengelolaan bank harus secara profesional. Memenuhi formula yang ada sebagai bank sehat. Katal cukup, pemberian kreditnya baik. Jika tidak, bank itu tak bisa berkembang. Maksudnya, yang tidak profesional silakan menyingkir? Ya begitulah ... ha ... ha .... Persaingan kian tajam. Persaingan bagaimana yang dikehendaki? Pengertian persaingan itu sebetulnya tidak di bidang pricing, tetapi persaingan bidang manajemen yang kian profesional. Efisien, sehat, dan andal dalam pelayanan. Siapkah anggota Perbanas menghadapi Pakto 27? Pengertian siap itu relatif. Yang jelas, perbankan memasuki orientasi baru. Siap atau tidak, yang tahu bank-bank itu sendiri. Perbanas, sesuai dengan program, hanya bisa mengimbau dan memotivasi. Dalam batas-batas tertentu Perbanas akan membantu mempersiapkan anggotanya dalam menghadapi masa transisi seperti sekarang ini. Benarkah pajak atas bunga deposito memberatkan bank swasta? Saya tidak melihat pajak atas bunga deposito sebagai sesuatu yang memberatkan. Kalau orang enggan atau menolak, ini lebih banyak karena faktor psikologis. Kita memang sudah sejak dahulu terbiasa dengan bunga deposito tak dikenai pajak. Kalau orang mau berhitung, riilnya deposito tetap menguntungkan meski bunganya kena pajak 15%. Kalaupun tekanan psikologis masyarakat terlalu besar hingga terjadi penarikan deposito, mengatasinya tidak terlalu sulit. Masa transisi kelihatannya berat. Apalagi bunga call money terus naik. Apa bank kesulitan rupiah lantaran penarikan deposito, atau karena orang menjual dolar? Saya tak melihatnya demikian. Terlalu pagi menilai secara persis penyebabnya. Gejolak semacam itu kan biasa terjadi dalam setiap pembaruan. Mudah-mudahan tak akan jadi masalah. Bagaimana mengantisipasi persoalan itu belum bisa kita kemukakan seharang. Tergantung upaya semua pihak dalam masa transisi ini. Sejauh mana anggota Perbanas menyadari bahwa orientasi baru ini membutuhkan keseriusan. Lantas mereka melakukan upaya maksimal yang memberi pengaruh baik. Apakah anggota Perbanas kompak mempertahankan suku bunga? Perbanas ini asosiasi. Ada etik dan konsensus dalam batas-batas tertentu. Tetapi kita berharap jangan sampai terjadi price war. Kalau nanti ada satu dua bank melakukan yang lain, kita anggap itu sebagai kekecualian saja. Tapi bagaimana sikap perbankan terhadap deposito akan tergantung keadaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini