Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kutang Pembasmi Kanker

Warsito membuat alat pembunuh kanker bertenaga baterai. Diklaim ampuh terhadap beberapa pasien, alat ini menunggu uji klinis yang paripurna.

6 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELUHnya belum tiris ketika calon pembeli pertama datang ke kiosnya yang sedang libur. Ia baru selesai membuang sampah dan, seperti biasanya setiap Minggu pagi, ia punya sederet pekerjaan rumah yang menunggu. Tapi ia seperti tak terganggu. Kepada tamunya, dengan ramah ia mengatakan bahwa hari ini tokonya tutup.

Lalu datang calon pembeli lainnya. Ia mengulang hal yang sama. Terus begitu.

"Memang repot. Tapi sudah konsekuensi," kata Warsito Purwo Taruno kepada Tempo dua pekan lalu. Tamunya kebanyakan perempuan pada "usia cerewet": setengah baya. Mereka datang untuk membeli kutang spesial.

Warsito tidak menjual Wacoal, Triumph, Bali, atau Victoria's Secret. Ia menjual bra pembunuh kanker payudara—tepatnya menyewakan, karena pembeli cuma mendapatkan hak guna pakai. Setiap bra disewa dengan harga Rp 1 juta hingga Rp 5 juta, sampai kanker sembuh atau kutang itu tidak dipakai lagi.

Kutang berbentuk seperti rompi penutup dada itu bernama Breast Cancer Electrocapacitive Therapy. Setiap hari sekitar 10 orang datang ke kiosnya untuk mendapatkan kutang ini. Mereka tidak hanya dari Indonesia, tapi juga dari luar negeri, misalnya Amerika Serikat, Arab Saudi, dan India.

Nama Warsito sudah lebih dulu mendunia. Pria berusia 44 tahun ini adalah penemu teknologi tomografi medan listrik (electrical capacitance volume tomography, ECVT) empat dimensi (4D). Tomografi adalah teknologi pemindai obyek tanpa harus menyentuh bendanya. "Empat dimensi dimaknai sebagai tiga dimensi ruang (volume) dan satu dimensi waktu, karena obyeknya bergerak," ujarnya.

Ini merupakan terobosan besar dalam teknik memindai, karena ECVT mampu memindai 3D (volumetrik) dengan obyek bergerak berkecepatan tinggi. Teknologi pemindai semacam CT Scan dan MRI menjadi terlihat kuno. Asal tahu, dua alat itu sekadar menghasilkan citra dua atau tiga dimensi dengan obyek tidak bergerak. Aplikasinya sangat luas, dari reaktor di pabrik, tubuh manusia, obyek berskala nano, hingga perut bumi.

Warsito mulai membuat pemindai itu ketika ia mengajar di Ohio State University, Amerika, pada 2001, setelah hijrah dari Jepang pada 1999. Pada 2003, di tengah kariernya yang cemerlang di Amerika, satu dari 15 peneliti terkemuka yang menjadi anggota Industrial Research Consortium itu memutuskan menyempurnakan alatnya di Tanah Air. Ia mendirikan Centre for Tomography Research Laboratory (Ctech Labs) Edwar Technology dan rela pulang-balik Indonesia-Ohio untuk mengajar di universitas itu.

Di laboratorium yang berdiri di rumah toko Modernland, Tangerang, Banten, itulah ia berhasil menciptakan ECVT-nya pada 2004. Pada 2006, ia sudah menerima paten atas temuannya itu dari biro paten Amerika. ECVT-nya telah dibeli berbagai lembaga, termasuk NASA, yang memakainya untuk memindai keretakan dinding pesawat. Untuk Indonesia, ia membuat Sona CT Scanner, yakni pemindai ultrasonik untuk memeriksa dinding tabung gas bertekanan tinggi yang digunakan pengelola bus Transjakarta. Berkat prestasinya itu, Warsito didapuk majalah Tempo sebagai Tokoh Tempo 2006.

Ia mulai menjadi pembuat bra setelah sang kakak, Suwarni, divonis menderita kanker stadium IV pada Februari 2010. Menurut dokter, umur kakaknya maksimal dua tahun lagi. "Inilah awal mula inspirasi saya," kata ayah empat anak ini.

Warsito kembali tenggelam di laboratoriumnya yang berukuran 5 x 12 meter, di antara komputer, sirkuit listrik, gulungan kabel, dan oscillator. Kebiasaannya sewaktu bekerja di Jepang diterapkan kembali. Ia hanya tidur dua jam dan bisa di mana saja. Sofa, bangku, atau meja kerja— semua tak lebih buruk daripada kasur di kamar tidurnya.

Ia dibantu 20 anggota staf, termasuk lima doktor. "Ada juga dua orang ahli kesehatan dari Rumah Sakit Dharmais dan Universitas Gadjah Mada yang ikut proyek ini," ujarnya. Doktor tomografi lulusan Jepang itu juga "menghukum" dirinya sendiri menjadi mahasiswa biologi. Inilah dosennya: buku tebal seperti Molecular Cell Biology, Principles of Internal Medicine, hingga jurnal ­ilmiah.

Dari gudang ilmu itu ia mengetahui bahwa sel makhluk hidup, tak terkecuali manusia, dipengaruhi medan listrik. Medan listrik memberikan pengaruh terkuat kepada sel, saat sel berada dalam fase membelah diri. Fase ini adalah upaya sel untuk memperbanyak diri.

Ketika sel kanker yang akan membelah diberi medan listrik dengan takaran tertentu, pada frekuensi 50 kilohertz-5 megahertz, mekanisme pembelahan sel kanker lumpuh. Adapun pengaruh medan listrik itu pada sel sehat belum diketahui dengan persis, tapi Warsito yakin tak banyak. Akibatnya, sel kanker tak bisa menyelesaikan fase pembelahan. "Lama-kelamaan sel tersebut mati, lalu akhirnya punah karena tak bisa berkembang biak," ujarnya.

"Prinsipnya memakai sifat paling dasar dari kanker itu sendiri," kata Warsito. Kini tinggal bagaimana membuat alat yang bisa memancarkan medan listrik statis itu. Medan ini tak kasatmata, tapi terasa. Membuatnya pun gampang. Sila gosok penggaris plastik, lalu dekatkan ke serpihan kertas atau rambut. Medan listrik di penggaris menarik rambut dan kertas itu. Masalahnya, medan listrik dari penggaris itu tak kekal. Warsito perlu medan listrik yang konstan dan terukur.

Ini bukan soal pelik. Tomografinya berbasis medan listrik dan ia salah satu ahli terbaik dalam bidang itu. Utak-atik sebentar, ia sudah punya alat yang mengadopsi prinsip dasar EVCT untuk membangkitkan medan listrik. Versi ringkasnya adalah seperti ini: ia menggunakan dua lempeng logam untuk difungsikan sebagai katoda dan anoda yang dialiri listrik dari baterai 9 volt. Pada Juni 2010, generator medan listrik statis untuk kutangnya sudah rampung.

Dibantu ahli dari Dharmais dan UGM, generator itu dijajal pada kultur jaringan sel kanker. Hasilnya, sepertiga jaringan kanker mati dalam tiga hari. Namun ada satu alat lagi yang harus ia buat: pemindai tumor. Alat ini vital untuk menentukan di mana katoda dan anoda harus dipasang di payudara. Posisi yang akurat terhadap posisi tumor penting agar medan listrik melintas tepat di jaringan tumor. Ia pun tak perlu waktu lama untuk menciptakan alat ini, karena cuma perlu memodifikasi EVCT-nya sehingga berkemampuan memindai jaringan hidup, empuk.

Ia lalu menguji-pakai kutang itu kepada kakaknya pada September 2010. Alat itu dipakai Suwarni 24 jam sehari, selama satu bulan. Pada November, dokter menyatakan kanker payudara Suwarni sudah negatif. Karena alat ini tak menghasilkan getaran, tidak menimbulkan radiasi, Suwarni boleh dikata tak merasakan pengaruh apa-apa selain rasa gerah. Ini berbeda dengan kemoterapi, yang juga ­mempengaruhi sel sehat. "Karena medan listrik hanya mempengaruhi sel yang mengalami pembelahan," ujar Warsito.

Ada catatan lainnya sebagai dampak dari alat ini. Selama menggunakan alat itu, keringatnya menyerupai lendir. Air seni, feses (kotoran), dan gas buangnya menjadi lebih berbau. Warsito menduga anomali itu akibat dari sel kanker yang mati dan harus dibuang ke luar tubuh. "Sel kanker mati dibuang melalui kotoran-kotoran tersebut," ujarnya.

Pemakai kutang Warsito asal Banjarmasin, Erlin Fualita, 44 tahun, mengalami hal sama. "Peluhnya bau hangus," ujar Syamsir Rahman, suami Erlin. Ia berharap alat terapi Warsito bisa berfungsi pada Erlin, yang mengidap kanker payudara stadium III.

Warsito juga menguji-pakai alatnya untuk mengobati pasien kanker otak berusia 21 tahun. Kali ini sirkuit medan listriknya ditempatkan pada medium seperti helm. Ia mengklaim alatnya juga efektif pada pasien kanker otak itu. Kisah sukses inilah yang menjadi magnet bagi para penderita kanker untuk mendatangi tokonya.

Maklum, penyakit ini sangat mematikan dan menyakitkan, sedangkan biaya pengobatannya mahal. Cuma, untuk kemoterapi, pasien perlu mengeluarkan uang hingga Rp 30 juta. Padahal prosedur ini perlu diulang sekitar sembilan kali dalam setahun. Sudah begitu, terapi yang memiliki banyak efek samping itu belum tentu berhasil.

Para onkolog—dokter ahli kanker—lebih berhati-hati menanggapi penemuan Warsito. Dokter spesialis kanker Rumah Sakit Dharmais, Walta Gautama, mengatakan temuan Warsito masih membutuhkan uji klinis dan uji kasus. Tahapannya termasuk presentasi kepada ahli onkologi, pengujian alat medis di laboratorium, kemudian cara kerja menghantam kanker, hingga uji coba ke beberapa binatang. "Setelah itu baru layak diujicobakan ke manusia," kata Walta.

Ia juga sangsi akan kesembuhan Suwarni. "Kami yang sudah sekian lama di bidang ini saja susah mengkategorikan sembuh dari kanker," ujarnya. Menurut dia, sejauh ini dunia medis modern belum menemukan terapi terbaik untuk menyembuhkan kanker.

Tapi mekanisme kerja alat Warsito bukan tak terjangkau akal. Ahli radiologi Universitas Gadjah Mada, Gede Bayu Suparta, mengatakan pada prinsipnya listrik yang membangkitkan gelombang elektromagnetik bisa diatur hingga menghasilkan resonansi frekuensi yang diinginkan, yakni sel-sel yang dituju. "Gelombang listrik tidak berbahaya, tapi bisa mengubah struktur atom," ujar Gede, yang menemukan kendali sistem radiografi digital.

"Memang seharusnya diuji klinis, dicobakan ke hewan terlebih dulu," kata Warsito. Ia menekankan, alatnya belum memenuhi kriteria uji klinis tersebut. Ia berharap pengujian itu bisa segera dilakukan.

Ada tanda terang untuk ini. Universitas King of Abdulaziz, Arab Saudi, dan sebuah rumah sakit di India telah memesan alat tersebut dalam jumlah banyak untuk uji pakai. "Saya juga ingin melihat fenomena hasil penelitian ini," kata Warsito.

Tito Sianipar, Ayu Cipta (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus