Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Partai Islam dan Anomali Indonesia

6 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Luthfi Assyaukanie*

Kemenangan partai-partai Islam dalam pemilihan umum di Mesir yang baru lalu semakin meneguhkan tesis yang telah lama berkembang di kalangan pengamat politik Timur Tengah: jika demokrasi diberlakukan di sana, yang akan jadi pemenang dalam pemilihan umum adalah partai-partai berhaluan Islam. Jauh sebelum musim semi menghampiri negara-negara Arab pada 2011, bukti-bukti terhadap tesis itu sudah kelihatan.

Dimulai di Yordania pada 1989, ketika untuk pertama kali dalam 22 tahun negeri itu menyelenggarakan pemilihan anggota parlemen. Pemenangnya adalah kandidat-kandidat dengan latar belakang Ikhwan al-Muslimin. Dua tahun kemudian Aljazair menyusul, ketika Front Islamique du Salut (FIS) berhasil menang dalam pemilu legislatif, meski militer kemudian membatalkannya. Pada 1995, giliran Partai Refah yang menang dalam pemilihan parlemen di Turki. Setelah Arab Spring, sebelum Mesir, Tunisia membuktikan tesis itu dengan kemenangan Partai Ennahda.

Namun tesis itu tidak berlaku di Indonesia. Dalam tiga pemilihan umum setelah 1998, partai-partai Islam di negeri ini mengalami kekalahan. Bahkan pencapaian suara mereka pasca-reformasi menurun jauh jika dibandingkan dengan pencapaian mereka pada 1955, ketika pemilihan umum pertama kali diselenggarakan. Waktu itu gabungan semua partai Islam memperoleh 43 persen suara, sementara pada Pemilu 1999, 2004, dan 2009, jumlah total suara partai-partai Islam tidak sampai 20 persen.

Pertanyaannya: mengapa sukses partai-partai Islam di Timur Tengah tidak terjadi di Indonesia? Apa penyebab anomali tersebut?

Anggapan bahwa negara-negara di Timur Tengah lebih "islami" ketimbang Indonesia tidak memuaskan. Sebab, Turki bukan negara Islam dan kehidupan politiknya jauh lebih sekuler daripada Indonesia. Jawaban lain bahwa partai Islam di Indonesia cukup banyak sehingga suaranya terpecah juga tidak memuaskan. Sebab, di Mesir, partai Islam yang ikut pemilihan umum tak kalah banyaknya.

Saya melihat ada sebab yang lebih dalam dari sekadar "kurang islami" atau "terlalu heterogen". Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, memiliki peran intelektual, pengalaman politik, dan persepsi yang berbeda terhadap partai politik.

Peran Intelektual

Intelektual muslim di Indonesia memiliki peran yang cukup penting dalam mengubah cara pandang dan perilaku politik kaum muslim. Lewat ceramah, tulisan, dan tindakan, mereka mengkampanyekan pembaruan dengan pemikiran politik sebagai satu agenda pentingnya. Mesir juga memiliki intelektual pembaru. Hanya, peran yang mereka mainkan agak berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia.

Di Mesir, pembaruan Islam dipelopori oleh tokoh-tokoh yang relatif tidak mengakar. Meskipun ada tokoh besar seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, mereka tak memiliki wadah untuk menyebarluaskan pemikirannya dan tak memiliki organisasi untuk merekrut pengikut. Pola ini terus berlanjut hingga generasi pembaru berikutnya. Baik Hassan Hanafi maupun Nasr Hamid Abu Zayd, dua intelektual Mesir kontemporer, adalah pemikir soliter yang tak memiliki massa. Mereka berusaha melakukan pembaruan Islam lewat jalur akademis yang canggih tapi tak memiliki pengikut yang cukup.

Di Indonesia, gerakan pembaruan Islam selalu dijalankan secara berjemaah. Sejak pertama, karakter pembaruan Islam bersifat institusional. Para pembaru awal, seperti Abdullah Ahmad dan Karim Amrullah, mendirikan lembaga pendidikan dan organisasi seperti Adabiyat dan Thawalib, untuk menyebarluaskan gagasan dan merekrut pengikut. Pola seperti ini terus berlanjut hingga ke generasi pembaru berikutnya. Selama dekade 1970-1990, tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafi'i Ma'arif, dan Nurcholish Madjid melontarkan gagasan pembaruan mereka lewat gerbong besar yang didengar dan diikuti banyak orang. Gus Dur melakukannya lewat Nahdlatul Ulama, Syafi'i Ma'arif lewat Muhammadiyah, dan Cak Nur lewat Himpunan Mahasiswa Islam serta Paramadina.

Perbedaan karakter pembaruan ini sangat penting dalam melihat dampak dari proses penyebaran ide di tiap negara. Di Mesir, pembaruan Islam terbatas di ruang-ruang kelas dan seminar, sementara di Indonesia pembaruan Islam disebarkan secara masif lewat organisasi-organisasi besar. Gus Dur, misalnya, berbicara tentang kompatibilitas Islam dan Pancasila tak hanya di kampus, tapi juga di pengajian-pengajian NU. Begitu juga, Syafi'i Ma'arif dan Nurcholish Madjid mengkampanyekan tidak perlunya negara Islam—dan juga partai Islam—tak hanya dalam makalah ilmiah, tapi juga di depan pengikut mereka yang jumlahnya cukup besar.

Pengalaman Politik

Alasan kedua yang menjelaskan jebloknya suara partai Islam di Indonesia terkait dengan pengalaman politik di masa silam. Pengalaman politik kita lebih tua dan matang ketimbang Timur Tengah. Sebagai contoh, kaum muslim Indonesia termasuk yang pertama mendirikan organisasi Islam untuk kepentingan politik, yakni Sarekat Islam, pada 1912. Mereka tergabung dalam parlemen Hindia Belanda dan memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk sikap politik kaum muslim masa itu.

Para pemimpin Sarekat Islam, seperti Tjokroaminoto dan Agus Salim, tahu cara menempatkan agama dalam urusan politik. Misalnya ketika Mustafa Kamal Ataturk menghapus sistem pemerintahan Islam, Khilafah, di Turki pada 1924. Gelombang protes dan demonstrasi menjalar dari Turki, Mesir, sampai India. Mereka juga membentuk gerakan pro-Khilafah. Tapi Indonesia, mulai Tjokroaminoto sampai Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah di Sumatera Barat, menyikapinya dengan dingin.

Pemimpin muslim Hindia Belanda memang memenuhi undangan Kongres Khilafah 1926. Tjokroaminoto bertandang ke Jeddah dan Abdul Karim Amrullah ke Kairo. Namun, alih-alih menyatakan kesetujuan bagi sistem pemerintahan Islam, Tjokro menggunakan kesempatan emas itu untuk mencari dukungan dunia bagi kemerdekaan Indonesia. Adapun Amrullah malah reunian dengan teman-teman lamanya di Mesir. Seperti yang diceritakan anaknya, Hamka, dalam buku Ajahku, Amrullah tidak antusias dan cenderung mencemooh orang-orang yang berbicara tentang Khilafah.

Poin penting yang harus diperhatikan di sini: jika para tokoh Islam itu mampu menyikapi secara dingin isu yang sangat fundamental seperti Khilafah, tak akan terlalu sulit bagi mereka untuk menyikapi isu-isu politik lain yang lebih kecil.

Delegitimasi Partai Islam

Kampanye depolitisasi yang dilancarkan sejak awal 1970-an turut menurunkan ketertarikan muslim pada partai politik Islam di Indonesia. Satu agenda penting kampanye itu adalah perlunya memisahkan urusan agama dari politik, sehingga kurang setuju terhadap partai berbasis agama dan tidak mendukung gagasan negara Islam.

Saat itu Nurcholish Madjid mulai menyuarakan sekularisasi dan pentingnya kaum muslim menghentikan cara lama mereka dalam berpolitik, yakni menonjol-nonjolkan identitas Islam dan menggunakan simbol agama secara berlebihan. Bagi Cak Nur, lebih penting menekankan isu yang memberi dampak luas bagi orang banyak, seperti pendidikan dan kesejahteraan.

Hal yang sama juga dilakukan Abdurrahman Wahid, ketika secara terbuka mendukung Pancasila sebagai satu-satunya asas. Gus Dur juga berperan besar dalam mendelegitimasi satu-satunya partai politik Islam di zaman Soeharto, yakni Partai Persatuan Pembangunan. Secara demonstratif, dia mengecam kepemimpinan PPP dan menerima tawaran partai penguasa Golongan Karya sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Delegitimasi partai Islam memiliki dampak besar bagi perilaku politik kaum muslim. Salah satunya adalah terbebasnya kaum muslim untuk menentukan pilihan partai politik yang mereka sukai. Tidak lagi berdasarkan aliran ideologis seperti pada 1950-an.

Tiga alasan di atas tidak terjadi di Mesir dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Kaum muslim Indonesia memiliki pengalaman politik di masa silam yang tampaknya sangat berperan dalam membentuk sikap dan perilaku politik mereka di masa depan. Ketika kaum muslim di belahan lain dunia tengah bereuforia dengan partai-partai politik Islam, di negeri ini isu itu telah usai.

*Dosen di Paramadina Graduate School of Diplomacy dan peneliti Freedom Institute, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus