Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eep Saefulloh Fatah*
Anas Urbaningrum, saya duga, sudah tahu persis sejak semula bahwa masuk Partai Demokrat adalah memasuki rimba kepastian sekaligus karantina ketidakpastian. Ketika Anas masuk rimba partai ini, 2005, ia beroleh kepastian pengayoman, keamanan, dan karier politik. Pada saat yang sama, Anas masuk karantina "Susilo Bambang Yudhoyono Fans Club" yang penuh ketidakpastian.
Pengayoman, keamanan, dan kepastian karier politik diperoleh Anas via Hadi Utomo, sang Ketua Umum 2005-2010. Anas beroleh dua kesempatan langka: terus menempel pada Ketua Umum dan mengunjungi semua pengurus daerah hampir tanpa kecuali. Sambil diakui di mana-mana oleh Ketua Umum sebagai guru politiknya, Anas pun mendapatkan pintu leluasa untuk mulai membangun fondasi hubungan dengan jajaran pimpinan partai di semua daerah.
Itulah periode politik pertama Anas dalam Partai Demokrat. Walhasil, ketika Hadi Utomo menjadi "orang keempat" dalam partai, Anas pelan tapi pasti menjadi "orang keempat setengah". Ia memiliki akses dan peranan yang jauh lebih besar dibanding umumnya pengurus lain.
Mengapa "keempat" dan "keempat setengah"? Sebab, di Partai Demokrat, orang pertama, kedua, dan ketiganya sudah sangat jelas, yaitu Susilo, Bambang, dan Yudhoyono.
Yudhoyono sukses membangun personalisasi partai sekaligus gagal membikin partai yang sehat. Dari titik inilah kita bisa melanjutkan pembedahan anatomi politik Anas.
Di Partai Demokrat, Yudhoyono bukan sekadar penentu, tapi nyaris determinan. Walhasil, dalam struktur kekuasaan partai yang begitu tersentralisasi, yang terbangun adalah kepastian-terpimpin alias ketidakpastian bagi segenap yang berada "di luar radius sang pemimpin".
Keluar terlalu jauh dari radius itu amat sangat berisiko. Yudhoyono pun menjadi sumber kepastian sekaligus ketidakpastian. Semua tokoh mendekat ke Yudhoyono sebagai sumber kepastian untuk mengaman-sejahterakan posisinya dalam partai. Sebaliknya, mereka yang membangun basis sendiri terlalu kuat, apalagi mencolok, berpotensi terombang-ambing dalam ketidakpastian. Sebab, penguatan basis sendiri ini berpotensi mengusik rasa nyaman dan aman Yudhoyono. Bukankah, di Partai Demokrat, ketidakpastian biasanya datang serta-merta kepada siapa pun yang membikin tak nyaman dan tak aman Ketua Dewan Pembina?
Anas tak berada jauh di luar radius Yudhoyono tapi juga tak terlalu dekat dengan pusat radius itu. Anas juga bukan anak nakal yang dengan sengaja suka mengganggu kenyamanan-keamanan Yudhoyono. Sekaligus, ia juga bukan orang yang berada amat sangat dekat dan pandai memanjakan rasa senang Yudhoyono.
Dalam konteks itu, Kongres Partai Demokrat 2010 di Bandung menandai mencuatnya "fenomena Anas" sekaligus "fenomena Yudhoyono". Berbekal fasilitas dan akses politik dari Hadi Utomo serentang 2005-2010, Anas yang tak direstui dan didukung Yudhoyono berhasil memenangi kursi ketua umum. Sebaliknya, Yudhoyono "berkenan" membiarkan kompetisi berlangsung sebegitu rupa sehingga kubu yang didukungnya (via anaknya) dirundung kekalahan.
Ke luar, kemenangan Anas di Bandung berdampak baik terhadap citra partai. Ke dalam, selepas Kongres Bandung dimulailah politik baku-akomodasi ala Yudhoyono. Semua kelompok yang bertarung diakomodasi, mendapatkan tempat yang layak di sisi Yudhoyono. Sedangkan Anas tak dibiarkan terlalu leluasa berkuasa dengan dibentengi berbagai organ partai yang semuanya berorientasi kepada dan tersentralisasi di tangan Yudhoyono.
Tapi Anas tahu persis apa yang harus dilakukan. Ia melakukan catur konsolidasi. Pertama, ia mengkonsolidasikan Dewan Pimpinan Pusat sebagai organ politik yang berkemampuan mengelola urusan partai sehari-hari. Dengan demikian, Anas bisa cukup leluasa aktif melakukan tiga jenis kerja konsolidasi sisanya.
Kedua, memperkuat basis dukungan dari jajaran pimpinan partai di daerah. Dalam konteks ini, Anas tampil sebagai "orang baik". Ia hindari ketegangan dan konflik dengan para pemimpin partai di daerah. Ia akomodasi mereka. Anas tak memainkan peranan sebagai penegak disiplin atau pemimpin partai yang kuat. Tapi ia malah menjadi pemimpin akomodatif dan adaptif—persis seperti yang dipraktekkan Ketua Dewan Pembina dalam skala yang jauh lebih luas.
Ketiga, Anas berkonsolidasi dengan jaringan tradisional yang dimilikinya: aktivis Himpunan Mahasiswa Islam dan para alumninya serta para pengelola dan mantan pengelola pemilihan umum di berbagai daerah. Sebagai politikus baru, Anas tahu persis bahwa ia harus mendayagunakan basis-basis sosial miliknya—sesedikit apa pun itu—untuk memperkuat posisi dan daya tawarnya vis a vis politikus lain dan terutama berhadapan dengan Yudhoyono.
Keempat, melebarkan basis dukungan, mempertinggi popularitas dan elektabilitas melalui proyek "Sahabat Anas" itu. Inilah gerakan lintas-kelompok, lintas-daerah, dan (sebetulnya sedang diupayakan) lintas-partai yang difungsikan untuk memperkuat modal politik Anas menuju 2014. Melalui "Sahabat Anas", Anas punya ruang manuver yang luas. Ia, sekadar misal, bisa menghilangkan kerikuhan dan mengajak bergabung para kepala daerah yang tak berasal dari Partai Demokrat.
Saya duga, Anas ingin mendayagunakan hasil dari catur konsolidasi itu pada waktunya, terutama menjelang 2014. Ia tahu persis bahwa pada akhirnya Yudhoyono adalah sang penentu, pembuat keputusan akhir. Tapi ia percaya bahwa jika dirinya memiliki basis dukungan dari tokoh partai, pengurus daerah partai, tokoh-tokoh lintas kelompok-daerah-partai serta memiliki nilai popularitas-elektabilitas yang tinggi, maka Yudhoyono akan terpojok di sudut ruangan untuk menandatangani restu politik untuknya.
Dan semuanya seolah-olah berjalan baik-baik saja sampai akhirnya "badai Nazaruddin" melanda. Bermula dari kasus Wisma Atlet, Palembang, badai ini menerjang ke mana-mana. Belakangan, dalam persidangan kasus ini, nama Anas—bersama-sama Andi Mallarangeng, Choel Mallarangeng, Angelina Sondakh, I Wayan Koster, dan lain-lain—sangat kerap disebut oleh para tersangka dan saksi.
Anas pun menjadi bulan-bulanan publik via media, para politikus partai lain, dan musuh-musuh dalam selimutnya di Partai Demokrat. Badai bertiup kuat tapi, hingga kolom ini saya tulis, Anas belum juga ter-tersangka-kan dan tergeser dari kursi Ketua Umum Partai.
Sebegitu kuat dan berbahayakah Anas sehingga peminggiran dirinya begitu alot dan makan waktu? Jawabannya, menurut saya, tidak!
Anas terlihat kuat berhadapan dengan Yudhoyono dan politikus Partai Demokrat serta partai-partai lainnya bukan karena sejatinya ia kuat tapi karena semua politikus lawannya bertarung secara mengambang, tanpa akar kuat. Akar politik Anas pun sejatinya terbatas belaka, tapi ketika bertarung dengan para politikus mengambang, ia tak mudah dirobohkan.
Selain itu, Anas terlihat kuat lantaran faktor cederanya otentisitas Yudhoyono. Sebagai Sang Penentu, Yudhoyono menjadi sulit menentukan manakala keputusan dan langkahnya bisa membahayakan diri sendiri (dan putranya), membahayakan partai, dan menerjal-curamkan jalan menuju 2014. Memberi Anas sanksi terlalu segera dan keras bisa seperti menepuk air di dulang tepercik muka sendiri.
Walhasil, Ketua Dewan Pembina yang terkenal sangat berhati-hati itu kali ini merasa harus amat sangat berhati-hati. Keputusan pun tak kunjung jatuh.
Bagi Anas, badai Nazaruddin semestinya merupakan pembelajaran amat berharga. Anas diajarkan untuk tak tergopoh-gopoh sambil menyelam minum air. Jika punya agenda menyehatkan demokrasi, Anas mesti menyelam dulu dan baru kemudian minum air (yang sehat) setiba di tepian.
Anas tergesa menyelam (melakukan catur konsolidasi) sambil minum air (mengumpulkan dana sebanyak mungkin untuk membiayai hajatnya pada 2014). Maka, ketika 2014 masih dua penggal jalan lagi, ia bisa tersedak dan tak sampai di tepian.
Sejarah politik Indonesia tampaknya menggariskan dua kemungkinan nasib Anas: menjadi mawar yang layu sebelum berkembang atau menjadi duri di bunga mawar yang kelopaknya sedang berguguran.
*Penulis adalah pendiri dan CEO PolMark Indonesia, Political Marketing Consulting
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo