Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONFLIK PT Multi Sarana Agro Mandiri dengan sebagian warga tiga desa di Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, memaksa Ratman mengungsi ke Jakarta. Di tanah kelahirannya, ia merasa tak bisa lagi mencari keadilan. Ini alasan saya ke Jakarta, untuk mencari keadilan, ujar Ratman ketika ditemui di kantor pengacara Ery Suryanegara di kawasan Meruya, Jakarta Barat, Rabu pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah dua pekan, sesepuh Desa Salino, salah satu desa yang tengah bersengketa dengan PT Multi Sarana, ini berada di Ibu Kota. Ratman terbang dari kampung halamannya setelah perusahaan melaporkan dia ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama, 27 Maret lalu. Ia menjadi terlapor karena memimpin unjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Selatan, dua pekan sebelumnya. Dalam aksi itu, warga menuding perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut mencaplok lahan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Multi Sarana adalah perusahaan milik Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Di Kalimantan Selatan, Syamsuddin termasyhur sebagai pengusaha tambang yang kerap berseteru dengan pengusaha lain. Sejumlah pemilik tambang masuk penjara setelah berkonflik dengan Syamsuddin. Lelaki asal Batulicin, Kalimantan Selatan, itu pemilik PT Jhonlin Baratama, kontraktor tambang terbesar di sana. Multi Sarana merupakan salah satu perusahaan yang diakuisisi Jhonlin. Syamsuddin juga kerabat Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor.
Perseteruan berawal ketika perusahaan yang berkongsi dengan PT Inhutani II ini mengirimkan alat berat ke Desa Salino, Desa Mekar Pura, dan Desa Selaru pada Mei 2017. Alat berat itu untuk meratakan tanah yang akan ditanami kelapa sawit. Warga menolaknya karena sebagian lahan mereka menjadi sasaran. Menurut Ratman, warga ketiga desa memang tidak pernah mengantongi sertifikat tanah atas lahan tersebut. "Tapi kami sudah di sana lima generasi," katanya. "Saya saja sudah ada dari tahun 1966."
Situasi sempat memanas dan nyaris terjadi benturan fisik antara petugas keamanan perusahaan dan warga saat alat berat mulai meratakan tanah. Suasana baru mereda ketika perusahaan memutuskan menunda sementara pekerjaan tersebut. Dua hari kemudian, dua pihak bertemu dan menyepakati beberapa titik yang menjadi wilayah perusahaan dan warga tiga desa.
Ketika pekerjaan dilanjutkan, menurut Ratman, PT Multi Sarana tidak menepati kesepakatan soal batas lahan. Alat-alat berat tetap meratakan kebun-kebun yang diklaim milik warga. Termasuk lahan makam salah seorang leluhur warga. Ada juga lahan yang sudah disiapkan sebagai lokasi pesantren menjadi sasaran penggusuran. Beberapa warga di tiga desa sempat akan menghentikan secara paksa pekerjaan tersebut. Tapi rencana batal karena mereka menyaksikan banyak anggota kepolisian dengan senjata laras panjang berjaga-jaga di area tersebut. "Kami jadi tidak berani," ucapnya.
Belakangan, perusahaan membuka pilihan akan memberikan ganti rugi atas tanaman masyarakat yang lahannya terkena dampak. Warga tiga desa setuju terhadap tawaran tersebut. "Tapi angkanya kecil," ujar Eko Edi Suryono, salah satu warga Desa Mekar Pura yang juga mengungsi ke Jakarta.
Menurut Eko, perusahaan menjanjikan ganti rugi Rp 741 juta atas kebun karet seluas 25 hektare miliknya. Hasil perhitungan Eko, perusahaan membayar Rp 10 ribu per tanaman. "Sebenarnya rugi karena bibit karet saja Rp 12 ribu, belum ongkos perawatan," katanya. "Tapi daripada anak-istri tidak bisa makan."
Ganti rugi itu, menurut Ratman, ternyata hanya janji belaka. Bukan hanya Eko, menurut Ratman, ada enam orang Desa Salino dengan tanah seluas 31 hektare yang belum mendapat ganti rugi tanam tumbuh. Sementara itu, di Desa Selaru, ada 25,46 hektare tanah dirambah perusahaan. Dari angka itu, sekitar 6,25 hektare menjadi tanggung jawab untuk ganti rugi tanam tumbuh.
Karena tak kunjung mendapatkan ganti rugi, mereka bolak-balik menggelar protes dengan pelbagai cara. Termasuk menggelar demonstrasi di depan gedung DPRD Kotabaru dan DPRD Kalimantan Selatan. Alih-alih mendapat ganti rugi, Ratman malah harus berurusan dengan polisi. Perusahaan melaporkannya ke Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan.
Awal April lalu, Ratman beserta 16 warga tiga desa Pulau Laut berangkat ke Jakarta untuk mengadukan konflik agraria ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kepada pimpinan Komnas HAM, satu per satu dari mereka menumpahkan unek-unek terkait dengan konflik tersebut. Mereka juga melaporkan adanya dugaan pengerahan polisi ke kebun masyarakat dan kriminalisasi terhadap warga pemilik lahan.
Hairansyah, Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal, yang menerima pengaduan mereka, mengatakan lembaganya akan serius menindaklanjuti laporan tersebut. Menurut dia, konflik agraria memang menjadi prioritas pengurus Komnas HAM periode ini. Rencananya, Komnas HAM akan membentuk tim untuk turun ke lapangan guna mengecek kondisi secara langsung. "Akan kami bentuk tim untuk turun ke lapangan," ujarnya.
Beberapa hari setelah mengadu ke Komnas HAM, Ratman dan rombongan kembali ke Pulau Laut. Ratman tak menyangka, setiba di sana, ia mendapat informasi laporan perusahaan yang menyeret namanya sudah naik ke tahap penyidikan. Ery Suryanegara, pengacara Ratman, mengatakan pelaporan itu bentuk intimidasi terhadap warga. "Ada dugaan perusahaan menggunakan tangan aparat penegak hukum," katanya.
Karena kasusnya naik ke tahap penyidikan dan terancam menjadi tersangka, Ratman merasa tak ada lagi keadilan di kampung halamannya. Pria tujuh anak ini pun sementara memilih menetap di Jakarta dan akan terus memperjuangkan haknya. Akibat konflik lahan itu, menurut Ratman, dua anaknya terpaksa putus sekolah. "Perusahaan sudah membuldoser kebun yang jadi mata pencarian saya," ujar kakek lima cucu ini dengan mata berkaca-kaca.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalimantan Selatan Ajun Komisaris Besar Mochamad Rifai mengatakan belum mengetahui soal adanya laporan PT Multi Sarana atas nama terlapor Ratman. "Akan saya cek ke penyidik," katanya.
Adapun Kepala Kepolisian Resor Kotabaru Ajun Komisaris Besar Suhasto menampik tudingan instansinya berada di belakang PT Multi Sarana. Menurut dia, keberadaan polisi di lokasi Multi Sarana termasuk sebagai tugas lembaganya. "Polres wajib memberikan pengamanan kepada setiap masyarakat yang meminta pengamanan," ujarnya.
Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam menolak berkomentar saat ditanya seputar sengketa warga dengan perusahaannya. Ia menyerahkan urusan tersebut ke manajemen PT Multi Sarana. "Nanti saya hubungkan ke mereka," kata Syamsuddin lewat sambungan telepon.
Direktur Utama PT Multi Sarana Agro Mandiri, Kusdi Sastro Kidjan, mengaku tersinggung jika perusahaannya disebut menyerobot lahan masyarakat. Menurut dia, perusahaan sudah memberikan ganti rugi tanam tumbuh untuk 9.695 hektare dari total 11.941 hektare tanah. "Mereka bilang kami menyerobot lahan makam dan pesantren, padahal sudah ada ganti rugi," ujarnya. "Itu menghina dan mencemarkan nama baik kami."
TAK hanya mengadukan Ratman, PT Multi Sarana Agro Mandiri juga melaporkan Muhammad Yusuf, wartawan Kemajuan Rakyat, yang bolak-balik meliput protes warga tiga desa di Pulau Laut Tengah. Perusahaan itu melaporkan Yusuf empat hari sebelum memperkarakan Ratman ke polisi.
PT Multi Sarana menuding Yusuf mencemarkan nama lewat berita yang tayang di portal Kemajuan Rakyat pada 5 Maret lalu. Artikel yang dipersoalkan mengulas pertemuan antarmasyarakat untuk membahas strategi menghadapi perusahaan. Yusuf menulis artikel yang menuduh perusahaan mencaplok lahan warga tanpa menuliskan sumbernya. Dalam artikel itu ada beberapa kutipan, tapi tidak ada nama jelasnya. Tulisan itu juga menyertakan foto Ratman.
Menurut Ery Suryanegara, yang juga pengacara Yusuf, polisi seharusnya membawa perkara ini lebih dulu ke Dewan Pers. "Klien kami hanya memberitakan apa yang ia dengar dan lihat," ucap Ery dari Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Indonesia Setyanegara.
Ajun Komisaris Besar Suhasto mengatakan penangkapan Yusuf sudah sesuai dengan prosedur. Sebelum melakukan penangkapan, menurut dia, polisi sudah mengirimkan artikel Yusuf yang tayang di Kemajuan Rakyat. Dewan Pers, kata Suhasto, menilai artikel tersebut bukan tergolong berita. "Kami sudah berkoordinasi dengan Dewan Pers," ujarnya.
Sabam Leo Batubara, ahli pers Dewan Pers yang diminta meneliti perkara ini, membenarkan permintaan polisi. Ia mengatakan Dewan Pers memeriksa enam berita yang ditulis Yusuf. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Leo menuturkan, tidak satu pun berita yang mencantumkan tanggapan dari PT Multi Sarana. "Tidak cover both side," kata Leo.
Direktur Utama PT Multi Sarana, Kusdi Sastro Kidjan, berdalih pihaknya melaporkan wartawan karena sudah mencemarkan nama perusahaan. "Ada fitnah," ujarnya.
Syailendra Persada (Jakarta), Diananta Semedi (Banjarmasin)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo