DUNIA biologi mencatat lagi sebuah langkah maju. Misteri di sekitar sistem kekebalan tubuh, yang mengusik para biolog sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir, baru-baru ini diungkapkan. Sebuah penemuan yang menjanjikan banyak hal, misalnya penanggulangan beberapa jenis penyakit gawat, termasuk kanker. Selama ini, para ilmuwan dibuat pusing oleh apa yang dinamakan "sel T". Sel ini sangat vital dalam sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit. Ia, secara tidak terpahami, dapat langsung mengenali "musuh-musuh asing" yang menyerbu tubuh manusia, misalnya virus dan bakteri. Bahwa sel ini memiliki penerima (recetor) pada permukaannya, sudah bukan rahasia lagi. Tetapi wujud, dan cara kerja penerima itulah yang selalu luput dari pengamatan. Kini, struktur kimiawi dan fisik sel itu sudah bisa diterangkan. "Problem yang mengganggu para immunolog selama satu generasi ini sudah teratasi," kata Dr. William Paul, dari Lembaga Nasional untuk Alergi dan Penyakit Infeksi di Bethesda, Maryland, AS. Di lembaga itulah pernah bekerja Dr. Mark M. Davis dari Universitas Stanford dan Dr. Stephen M. Hedrick dari Universitas California - keduanya kini memimpin tim ilmuwan yang mempelajari sel T tadi. Sebuah tim lagi bekerja di Kanada, dipimpin Dr. Tak W. Mak dari Lembaga Kanker Ontario dan Universitas Toronto. Kekebalan tubuh tergantung pada isyaratisyarat pengenalan. Sel-sel pertahanan di dalam jasad manusia harus selalu mampu mengenali diri sendiri dan unsur asing, musuh dan sahabat. Di antara sel paling penting dalam sistem kekebalan ini terdapat sel-sel T dan B. Merekalah yang bertindak sebagai orgamsator, pusat komando, bahkan pembunuh dan "rudal" yang akan menangkal setiap invasi dan subversi berbagai penyakit. Untuk menjamin ketepatan dan ketelitian tindakan mereka, sel ini dilengkapi penerima, yang memegang peranan kunci. Bila sesuatu pada permukaan sebutir virus, misalnya, terekam oleh penerima di permukaan sel B, sel itu mulai memproduksikan sejumlah antibody untuk memerangi virus tadi. Identitas penerima sel B sudah diketahui sejak lama. Sementara itu, penerima sel T tetap tinggal teka-teki. Tetapi, karena penerima sel B diketahui berfungsi sebagai antibody, menurut logika, penerima sel T pun seharusnya berfungsi serupa. Hanya saja, hingga beberapa bulan berselang, dugaan itu tidak berhasil dibuktikan. Melalui kedua tim tadi, sejumlah hasil yang menggembirakan sudah diumumkan. Sebuah laporan pendahuluan disampaikan Dr. Davis dalam pertemuan ilmiah di Jepang, musim panas lalu. Laporan lebih terperinci dari tim AS dan Kanada secara bersama-sama diturunkan oleh jurnal Nature, Maret lalu. Kalau tim AS bekerja dengan menggunakan sel-sel tikus, tim Toronto langsung menggunakan sel-sel manusia. Secara kimiawi, sel B dan sel T memang mirip, bahkan dapat dikatakan sebagai varian-varian dari benda yang sama. Sel T ternyata terdiri dari dua untai amino acid unsur pembentuk protein. Masing-masing untai itu dikenal sebagai "untai alpha" dan "untai beta". Sampai saat ini, para ilmuwan sudah dapat mengidentifikasikan detail untai beta secara kimiawi dan genetik - sesuatu yang sangat berarti dalam memahami sel T. Dalam waktu dekat, hal yang sama diharapkan dapat dilakukan terhadap untai alpha. Fungsi sel T dan sel B sebetulnya terpisah tapi saling berpautan. Pemahaman yang lebih baik terhadap sel T dengan sendirinya mempermudah penelitian dan pengendalian terhadap saling hubungan kedua sel itu. Seperti diketahui, dalam tubuh manusia terbentuk jutaan jenis antibody yang saling berbeda. Masing-masing memiliki keandalan untuk mengenali wujud dan pembentukan kimiawi tertentu. Pada sel B, misalnya, pengenalan itu akan dilanjutkan dengan produksi sebuah generasi sel baru, yang disebut sel-sel plasma. Sel ini, pada gilirannya, memproduksikan lagi antibody dari jenis yang lebih spesifik. Sistem kekebalan ini memiliki memory yang sangat ampuh. Setiap "insiden" seolah-olah dicatat dengan teliti, sehingga serangan kedua oleh virus yang sama langsung ditangkal dengan kekuatan yang memustahilkan infeksi. Dengan cara itulah vaksin menghasilkan memory kekebalan pada tubuh manusia yang tidak pernah menderita infeksi oleh virus alamiah. Namun, sel-sel T ternyata memainkan peranan yang lebih kompleks. Beberapa di antara sel ini, disebut "sel T penolong", justru menunjang aktivitas yang dilakukan sel-sel B. Lainnya, disebut "sel T penindas", berfungsi menghentikan pekerjaan sel B, bila dianggap sudah memenuhi tujuan. Kedua jenis sel itu menjadi penting demi menjaga keseimbangan sistem kekebalan itu sendiri. Keseimbangan yang rusak dalam sistem kekebalan ini bakal menimbulkan penyakit serius. Pada penyakit AIDS misalnya, sel-sel T penolong, yang dinamakan "sel T-4" ternyata tidak berfungsi. Pada leukemia dan lymphoma - kanker pada sistem pembentukan darah - ditemukan perkembangbiakan sel B dan sel T yang tidak sempurna. Kegiatan sel-sel T, termasuk memproduksikan substansi yang disebut lymphokine, berfungsi membawa sel-sel kekebalan lain dalam pertahanan tubuh. Tetapi, beberapa sel T, yang tidak tergolong "penolong" atau "penindas" malah bisa berbalik menjadi pembunuh. Pasien yang akan mengalami pencangkokan ginjal, misalnya, harus diberi obat yang mampu menghambat kerja sel-sel T. Jika tidak, sel-sel itu langsung bereaksi terhadap jaringan "asing" yang dicangkokkan, sehingga seluruh upaya penyelamatan menjadi batal. Para ilmuwan memandang arti penting penemuan ini dari tiga hal. Secara intelektual, problem sistem kekebalan ini memang rumit. Dari segi ilmu pengetahuan, pemahaman terhadap sel-sel T akan membuka dimensi yang sangat luas. Dan dari sudut pengobatan, identifikasi sel T diharapkan membawa pelbagai kemajuan terhadap penyembuhan beberapa penyakit gawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini