SURAT kaleng yang melaporkan adanya pencurian aliran listrik itu mulanya tak ditanggapi PLN Ranting Jepara. Sukarno, si pengirim, akhirnya kesal dan membuat surat ketiga. Kali itu dialamatkan ke PLN Cabang Kudus, Jawa Tengah. Dan kepala PLN di situ, Sunarjo, langsung melakukan razia dibantu petugas polisi. Benar saja. Di tiga desa, Troso, Pecangaan. Kulon, dan Pecangaan Wetan, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara, dijumpai sekitar 150 rumah yang di terangi listrik. Padahal, penghuninya tak pernah terdaftar sebagai pelanggan. Setelah diusut, aliran listrik itu ternyata berhulu di dua rumah. Sebuah rumah Teko Jayawelas, yang menjadi distributor untuk 100 pelanggan, dan yang lain rumah Supeno, yang membawahkan 50 rumah tetangganya. Dari kasus tadi, Juni lalu PLN Kudus dibantu polisi setempat kemudian melakukan razia di beberapa daerah lain. Hasilnya? "Ada sekitar 1.700 pelanggan liar yang memanfaatkan aliran listrik secara gelap," ujar seorang pejabat PLN Kudus kepada TEMPO. PLN juga berhasil menyita gulungan kabel dan peralatan listrik, satu truk penuh. Operasi masih akan berlanjut. Namun, "Orang sini banyak yang berangasan, dan ada yang mengancam akan membunuh bila razia diteruskan," ujar seorang pejabat PLN Ranting Jepara. Sebab itulah, meski di Desa Pecangaan Kulon diketahui ada dua orang lagi yang masing-masing mengalirkan listrik secara resmi ke rumah-rumah penduduk, sampai pekan laIu mereka belum diapa-apakan. Teko Jayawelas, menurut sumber di PLN Kudus, telah melakukan kegiatannya sejak lama. Caranya: mencantol aliran listrik dari tiang dekat rumahnya, dan dari situ menyebarkannya. Untuk peralatannya, ia memungut biaya RP. 15.000 - RP. 25.000 per rumah. Kemudian tiap rumah, yang mendapat jatah 50 watt-100 watt, dikenai Rp. 3.500 sebulan. Untuk itu, Teko mempekerjakan seorang karyawan. "Pembayaran tanpa kuitansi. Dan bila kami telat membayar, aliran listrik langsung diputus," ujar Mohamad Syakur, seorang pelanggan. Kasus Supeno agak berbeda. Ia memang tercatat scbagai pelanggan PLN. Hanya, "Ia juga salah karena menyalurkan aliran listrik ke rumah-rumah penduduk tanpa izin PLN," ujar Darmadi, kepala PLN Jepara. Dan, sama seperti Teko, ia juga mengutip uang sambungan instalasi dan uang bulanan. Konon, sebulan ia bisa untung sekitar Rp 160.000. Tapi Supeno membantah. Dia mengaku tak mengambil untung apa-apa, dan jumlah pelanggannya katanya tak sampai 50 tapi hanya 10. Oleh PLN Supeno tak dikenai sanksi. Hanya mendapat teguran keras, dan aliran listrik ke rumahnya dipadamkan tiga hari. Tapi ia sempat berurusan dengan Kodim Jepara. Soalnya, bersama seorang rekannya, Sulkhan, yang juga melakukan bisnis serupa, ia pernah mencari dan mengancam Sukarno yang menulis surat kaleng itu. Bisnis seperti yang dilakukan Teko dan Supeno bisa laris karena cukup banyak industri rumah - pabrik tenun, misalnya. Padahal, meminta listrik langsung ke PLN, menurut mereka, mesti melewati proses panjang dan berbelit. Mohamad Syakur, misalnya, menyatakan bahwa pada 1978, ketika penduduk desanya meminta sambungan listrik, mereka dimintai bayaran sampai Rp 13 juta - untuk pemasangan instalasi dan pemancangan tiang-tiang. Tentu sala penduduk mundur. Tapi, setelah diadakan razia, PLN tampaknya akan mempercepat pendistribusian listrik ini. Para pencuri dan pelanggan yang tadi itu kini umumnya belum sampai diproses secara hukum. "Kami hanya memberi peringatan dan menjatuhkan denda," kata pejabat PLN di Kudus. Teko, misalnya, dikenai Rp 1,2 juta. Sampai pekan lalu belum dibayar, karena ia tak diketahui di mana sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini