Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gagasan itu datang dan singgah pada seorang lelaki yang duduk di laboratorium. Di meja kerjanya yang kusam oleh semburat sisa warna pelitur, Achiar Oemry, si lelaki tadi, terusik oleh pernyataan seorang ilmuwan kawakan, ”Energi masa depan itu akan tergantung pada hidrogen. Kita harus menguasainya.”
Dari sanalah gagasan bermula. Bagaimana cara membuat baterai yang murah, bertenaga hidrogen. Sejak itulah dia berusaha memburu hasil riset tentang pembuatan baterai bertenaga hidrogen atau biasa disebut fuel cell.
Kepala Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Bidang Fisika itu berjuang mendapatkan literatur lewat internet. Namun, komputer dan jaringan internetnya tak sigap membantu. ”Kalau kirim surat elektronik ke luar negeri baru sampai setelah berminggu-minggu,” katanya setengah bercanda, mengomentari komputer yang ada di kantornya.
Achiar juga mencoba menghubungi koleganya di berbagai tempat di Jepang. Ia melawat ke Amerika Serikat untuk mencari rahasia pembuatan baterai bertenaga hidrogen, namun hasilnya minim. ”Mereka menyimpan rapat-rapat ilmu pembuatan itu,” ujarnya seperti gumam.
Akhirnya, gagasan membuat fuel cell yang muncul pada 1995 itu mengendap bertahun-tahun. Tak ada kemajuan. Baru tahun lalu Achiar berhasil mengajak teman-teman peneliti bekerja secara keroyokan membangun mimpinya.
Impian itu telah dapat diwujudkannya dan kini berada di Serpong, Banten. Bentuknya sederhana: sebuah kotak berukuran 10 x 10 x 3 sentimeter. Tentu saja bukan kotak biasa, apalagi akuarium. Inilah cikal-bakal baterai hidrogen itu.
Di kotak itu ada sebuah pipa elastis berdiameter 3 milimeter yang menjulur dari bagian atasnya ke arah tabung plastik berisi air. Gelembung udara keluar di dalam air dari arah pipa hampir setiap dua detik. Enam lampu menyala bergantian di dekat kotak tadi, mirip hiasan lampu pada pohon Natal. ”Beginilah cara kerja fuel cell,” kata Achiar Oemry, Ketua Konsorsium Peneliti Fuel Cell, menjelaskan hasil penelitian timnya.
Fuel cell adalah baterai penghasil listrik berbahan dasar hidrogen. Dipilih hidrogen karena bahan ini murah dan melimpah. Senyawa hidrogen (H2) biasanya diperoleh dari hasil penguapan air.
Teknologi itu sudah lama dikenal di luar negeri. Pada 1995, pabrik motor Ford dari Amerika Serikat pun sudah mulai menggunakan bahan ini. Mereka juga sudah mematenkan teknologi itu.
Urusan hak paten itulah yang membuat Achiar dan para peneliti lainnya pening kepala. Mereka harus kasak-kusuk mencari teknik baru pembuatan baterai hidrogen.
Nah, awal Desember lalu, konsorsium yang beranggotakan para ahli fisika dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), dan sejumlah lembaga nonpemerintah lain menggelar hasil penelitian itu di Bandung, Jawa Barat. Salah satu temuan terpenting, mereka berhasil menciptakan dua komponen terpenting, yakni membran penyaring hidrogen dan katalisator (zat untuk mempercepat reaksi kimia).
Pembuatan membran oleh para peneliti domestik sudah dirintis sejak 1995 ketika gagasan menciptakan baterai hidrogen menghampiri Achiar dan kawan-kawan. Dua tahun pertama, para peneliti itu tampaknya menghadapi kenyataan bahwa dana dari pemerintah tak juga turun sehingga penelitian tak banyak mengalami kemajuan. Ini yang membuat harapan sempat buyar. Akhirnya, mereka bergerilya melakukan penelitian sendiri. Dana pemerintah hanya dijadikan pelengkap.
Alhasil, pada 2004, membran buatan tim khusus yang diketuai Sunit Hendrana selesai. Eureka! Bersama dua rekannya, Sunit telah membuat membran ini dari polesterin, yakni plastik untuk wadah kaset yang dibuat dari produk buangan sisa minyak bumi. Membran ini khas Indonesia dan berbeda dengan membran yang dipakai industri di luar negeri.
Bedanya, terletak pada proses pencampuran bahan saat melalui proses pemberian SO3H atau asam sulfat. Lazimnya membran ini dibuat dengan proses pencampuran pada keadaan padat. Namun, peneliti domestik mencampurnya pada kondisi cair.
”Dari sisi fisik, kelenturannya memang tidak sebaik membran merek terkenal, yakni Nafion,” kata Sunit. Walau begitu, listrik yang dihasilkan produk domestik jauh lebih hebat, karena membran ini bisa menyerap air lebih besar. Secara teoretis, semakin besar air yang terserap, maka elektron yang dihasilkan pun akan lebih besar.
Temuan perihal membran itu juga diikuti oleh tim peneliti zat katalis. Nenen Rosnaeni, anggota tim peneliti katalis berhasil menemukan zat pemicu reaksi. Katalis yang dikembangkan dari bahan campuran antara Platina (Pt) dengan Ruteneum (Ru). Kini, menurut Nenen yang sedang menyelesaikan program doktornya di Jepang, katalis itu telah masuk tahap uji pemasangan.
Mereka juga membuat elektroda (bagian yang menjadi tempat mengalirnya elektron) dari kertas karbon. Elektroda ini berfungsi sebagai penangkap elektron dan pemecah senyawa hidrogen (lihat infografik). Hasil pengujian sementara, menurut Sunit, elektroda yang dipasang bersama membran Nafion—merek dagang milik perusahaan Amerika, DuPont—menunjukkan hasil menggembirakan. Elektroda itu telah menghasilkan listrik seperti hitungan teori.
Tiga tim telah bekerja dan menghasilkan tiga komponen penting. Namun, selama ini ketiganya baru diuji terpisah, belum disatukan. Masing-masing komponen itu telah bekerja baik saat digabungkan dengan produk Dupont. Bahkan mereka telah berhasil membuat baterai hidrogen untuk sepeda, yang kini di laboratorium Serpong menjadi contoh proyek.
Tantangannya berikutnya adalah menyatukan tiga komponen itu. Agaknya, jalan menuju ke sana tak lebih mudah sebab membutuhkan biaya tak sedikit. Untuk menguji ketahanan baterai, membran, atau elektroda, misalnya, mereka harus membeli elektroda yang, katanya, ”Harganya setara dua mobil.”
Meskipun masih prematur, rupanya produk ini sudah dilirik Pemerintah Daerah DKI untuk dicoba dipasang di salah satu koridor busway. Bila tahapan ini tercapai, bukan mustahil, laboratorium yang sunyi di Serpong itu akan menelurkan baterai hidrogen sehebat yang dibuat Ford, Toyota, atau Honda—siapa tahu?
Purwanto, Achmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo