Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan gambar cetakan tangan berwarna merah terakota terlukis di dinding gua. Tampak lima di antaranya lebih menonjol. Gambar tangan-tangan tadi seperti dihubungkan oleh sebuah garis yang menjalar mirip ranting pohon. Itulah salah satu karya di antara beberapa karya seni masa lampau yang direkam oleh Carsten Peter, juru foto lepas majalah National Geographic Indonesia, yang diberi judul Tree of Life.
Peter juga merekam lukisan dinding gua yang mengasosiasikan sebuah peta perjalanan. Lihatlah, dua garis arang sejajar—mirip bentuk rel kereta api tanpa bantalan—ditorehkan memanjang dan berliku. Seekor binatang seperti rusa dan kura-kura menyembul di salah satu bibir garis jalan. Ujung dari kedua garis ini berpangkal pada dua gambar cetakan tangan berwarna merah.
Dan pekan lalu, puluhan lukisan gua tersebut diboyong ke Jakarta, dalam sebuah pameran foto di Plaza Semanggi, sebuah mal mentereng di kawasan bisnis Jakarta. Semua foto lukisan dinding gua peninggalan prasejarah ini direkam Peter dari sejumlah gua di Pegunungan Marang, Kalimantan Timur, sekitar 400 kilometer utara Balikpapan.
Kawasan Pegunungan Marang memang dikenal sebagai pusat ”galeri” gambar cetakan tangan prasejarah di Kalimantan. Setidaknya, ditemukan 1.500 karya seni seperti itu yang tersebar di 30 gua. Sejak pertengahan 1995 kawasan ini telah menjadi magnet bagi sejumlah peneliti. Tim arkeolog Indonesia dan Prancis, misalnya, membuat ekspedisi khusus yang diikuti Peter. Gua-gua yang terletak di tebing tinggi didatangi, gambar-gambarnya ditelusuri, diteliti dan diabadikan.
Carsten Peter, fotografer yang biasa bertualang dan menantang bahaya (salah satunya mengikuti dan memotret tornado dalam jarak kurang dari 200 meter di Dakota Selatan, Amerika Serikat) berhasil menghadirkan pesan dari masa purba—gambar-gambar itu diperkirakan berusia 10 ribu tahun.
Menurut staf pengajar arkeologi Universitas Indonesia, Karina Arifin, gambar cetakan di Pegunungan Marang memiliki ciri berupa garis, garis putus-putus, atau berbagai pola titik-titik semacam membentuk motif khas. ”Sepertinya si pembuat gambar cetakan tangan bermotif ini ingin menunjukkan identitas masing-masing dengan kode garis atau pola titik,” kata Karina. Ini berbeda dengan lukisan gua prasejarah di gua-gua Prancis, Afrika, dan Australia yang polos tanpa motif.
Perbedaan lain gambar prasejarah di Kalimantan Timur, semacam adanya pembagian gender yang tegas. Tengoklah karya yang tertera di Gua Masri II. Di sana cetakan tangan pria dan wanita dipisahkan di dua lokasi berbeda. Jenis kelamin pemilik cetakan tangan diketahui dengan membandingkan proporsi panjang jari manis dan telunjuk. ”Panjang kedua jari ini hampir sama pada perempuan tapi berbeda pada pria,” kata Pindi Setiawan, salah satu anggota tim peneliti di Pegunungan Marang.
Jenny Wood, peneliti Australia, dalam bukunya Caves (1958) menjelaskan teknik pembuatan lukisan gua. Pada mulanya tangan yang ingin dibuat gambarnya ditempelkan ke dinding gua. Kemudian si seniman menyemburkan cairan pewarna—terbuat dari berbagai jenis batuan, tanah liat, sari tumbuhan, dan lemak binatang—ke punggung tangan langsung dari mulutnya atau dengan tulang jenis pipa. ”Hasilnya adalah gambar cetakan tangan yang sangat ekspresif,” tutur Sopandi.
Selain cetakan tangan, ada juga gambar hewan, pohon, dan ikan. Ada bentukan binatang bertanduk besar di atap dinding gua Tewet, Pegunungan Marang. Sejumlah ahli berpendapat, lukisan hewan bermakna magis. ”Maksudnya, lukisan itu mencerminkan harapan para pemburu agar hewan buruan mereka bertambah banyak,” kata Karina, doktor dengan tesis tentang penduduk manusia awal yang tinggal di hutan Kalimantan Timur (Early Human Occupation of the East Kalimantan Rainforest).
Menurut Pindi, yang juga dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, lukisan gua tersebut dikerjakan oleh orang yang terampil menggambar. Peletakan gambar di dinding gua juga menarik dikaji. Sebab, menurut dia, masyarakat prasejarah sangat sadar proporsi antara gambar dan bidang gambar. Di ruang kecil seperti di gua Kei Kecil, wimba atau imaji konkret digambar kecil. Tapi di ruang gambar besar seperti di gua Kaimana, wimba juga berukuran raksasa.
Karya-karya foto Peter, selain secara visual menghadirkan estetika, juga menyampaikan makna sejarah perkembangan pemikiran manusia. Dengan kajian berlandaskan pengetahuan adat, etnografi, etnoarkeologi, dan pengetahuan lainnya, kita dapat membaca pesan-pesan lukisan purba. ”Kajian ini mencoba mengungkap ciri-ciri berpola sama dan kemudian dianalogikan pada perupaan prasejarah yang ada di lukisan gua,” ujar Pindi.
Misalnya, gambar gecho (kadal) di cadas yang ditemukan di sejumlah dinding gua Papua, Maluku, dan Kalimantan bermakna bahwa masyarakat Polinesia kerap menganggap arwah leluhur mereka menjelma dalam bentuk kadal hijau yang disebut ”matutuo”. Hingga kini, di masyarakat Papua dan Maluku, sosok kadal dalam bentuk arwah leluhur dikenal dengan ”mamatua”. ”Kemiripan ini dapat menjadi jembatan untuk menjelaskan soal banyaknya gambar cadas berbentuk kadal di Papua, Maluku, dan Kalimantan,” ujar Pindi.
Serbuk hematit (Fe2O3) diperkirakan berperan penting dalam seni lukis gua sebagai zat pewarna. Bubuk ini biasanya terdapat dalam batu-batuan kapur tropis. ”Penelitian laboratorium menunjukkan hematit merupakan sumber warna merah yang baik,” kata Achmad Sopandi, dosen Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta yang mendalami proses pembuatan pewarna purba. Selain itu, bahan pewarna juga diperoleh dari perasan sari tumbuhan, kulit kayu, atau lemak binatang. Sekurangnya, ada empat warna dasar yang lahir dari bahan pewarna alami ini: hitam, putih, merah, dan oker.
Gambar cetakan tangan di gua-gua adalah laku berkomunikasi, demikian menurut Sardono W. Kusumo, seniman yang juga rektor Institut Kesenian Jakarta. ”Tangan adalah pengganti mulut untuk berkomunikasi, dan tangan adalah wajah kedua sebagai penanda tubuh,” katanya.
Lukisan gua pada dasarnya sama dengan karya seni lainnya yang hidup pada zaman ini, sebagai hal yang menunjukkan kemampuan manusia menyatakan pikirannya, yang diungkapkan melalui suatu bentuk. Karena itu pameran foto Peter ini menjadi penting untuk dapat ”membaca” perkembangan pemikiran manusia dari masa silam. Tentu saja selain keindahan karya foto Peter itu sendiri, misalnya sisi komposisi, warna, sudut pengambilan, ketajaman.
Cahyo Junaedy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo