Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merdeka 100%: Tiga Percakapan Ekonomi-Politik Penulis: Tan Malaka Penerbit: Marjin Kiri, 2005 Tebal: xv + 173
Tan Malaka memang punya pesona. Sepanjang tahun lalu, paling tidak terbit lima buku yang mengkaji Tan Malaka. Dan satu yang menarik adalah buku yang berasal dari kumpulan pamfletnya sendiri—disatukan di bawah judul Merdeka 100%.
Tan Malaka bisa memukau bukan cuma atas apa yang ditulisnya, tapi juga dari cara dia menuliskannya. Pamflet-pamflet dalam Merdeka 100% ini ditulis dalam format percakapan antara lima tokohnya: Mr. Apal (cendekiawan), Si Toke (pedagang kelas menengah), Si Pacul (petani), Denmas (priayi), dan Si Godam (buruh). Percakapan mereka berkisar pada kemerdekaan, rencana ekonomi, dan taktik perjuangan bersenjata. Harus diingat bahwa Tan Malaka menuliskan berbagai pamflet ini di Surabaya menjelang akhir tahun 1945, sehingga ketiga tema tersebut harus diberi kerangka dalam konteks proklamasi kemerdekaan Indonesia beberapa bulan sebelumnya.
Inilah yang membedakan buku ini dari, misalnya, Madilog. Madilog, mahakaryanya, ditulis ketika kemerdekaan Indonesia masih menjadi idaman, sementara pamflet-pamflet ini ditulis ketika kemerdekaan itu sudah riil namun Indonesia terancam dijajah kembali. Tan Malaka bermaksud lebih praktis dengan buku ini. Sementara Madilog sengaja dimaksudkannya sebagai karya ”filsafat kaum murba”, buku ini hendak membumikan ”filsafat” tersebut ke dalam bahasa rakyat kebanyakan, bahasa kaum murba itu sendiri. Bila Si Godam atau lainnya mulai melantur ke filsafat, Pacul sering kali mengingatkannya.
Bagi Tan Malaka, tak ada jalan lain untuk menuju merdeka 100 persen selain membangun sektor industri berat yang kukuh. Kita tahu, kita justru menggencarkan ekspor bahan mentah dan mengimpor barang jadi. Hasilnya: ketergantungan. Begitu pula dengan modal asing. Jauh-jauh hari Tan Malaka sudah mengingatkan: ”Kapital-asing itu kalau ditanam begitu saja dalam suatu Negara Merdeka bisa mengacaukan politik Negara Merdeka itu. Bisa mengadu domba penduduk.” (hlm. 32-33)
Tak semua orang harus setuju dengan tesis-tesis Tan Malaka. Dari kacamata sekarang, beberapa praksis politik yang diajukannya memang terlihat ”kuno”. Soal perempuan, misalnya. Tan Malaka memang bagian dari sebuah zaman yang belum begitu ”direcoki” oleh urusan gender, sehingga peranan kaum perempuan memang tak banyak disinggungnya selain yang terkait dengan urusan keputrian. Kaum feminis boleh menggugat: semestinya ada tokoh Mbakyu! Tidakkah kaum perempuan berhak mempunyai wakil yang turut bertukar jawab dengan kelima tokoh lainnya (yang pria semua), dan bukan hanya diperbincangkan oleh mereka?
(Agus Bachtiar, penggemar buku, copywriter)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo