Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mencari Di Tepinya Bengawan Solo

Terpengaruh teori Darwin, ahli-ahli purbakala Eropa menggali fosil di aliran Bengawan Solo. Ditemukan beberapa manusia Jawa purba: Homo Soloensis, Homo Erectus.

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang mendorong Dr Eugene Dubols dan Von Konigswald menggalgali tanah di lembah-lembah Bengawan Solo, guna menemukan jejak asal-usul manusia? Dorongannya ada dua: pandangan radikal sarjana ilmu hewan kelahiran Inggeris, Charles Darwin (1809-1882) yang berpendapat bahwa manusia berasal dari kera. Tapi di mana "mata-rantainya yang hilang" (missing link), Darwin tak dapat menjawab. Sehingga Ernst Hekel, seorang filsuf materialisme Jerman dalam bukunya, Naturliche Schopfungsgeschichte (Sejurah penciptaan alam) berspekulasi bahwa mata rantainya itu ada semacam "manusia kera" (pithecantropus). Manusia-kera itulah nenek-moyang manusia Neanderthal yang fosilnya ditemukan tahun 1856 di Jerman Barat (ditafsirkan hidup 100 ribu tahun silam). Manusia kera itu menurut Hackel, tentunya lebih mirip dengan manusia ketimbang kera. Khususnya mirip gibbon atau orang-utan yang terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Pokoknya di kepulauan Indonesia. Terangang oleh teori Hackel itulah seorang dosen anatomi di Amsterdam, Dr Euene Dubois pergi ke Indonesia mencari fosil manusia 'pra Neandrthal'. Setelah bersusah-payah sekian lama, akhirnya dalam tahun 1891 dia menemukan apa yang dicarinya di desa Trinil di tepi Bengawan Solo, Jawa Timur. Di situ digalinya sebuah tenkorak kepala manusia yang mirip kera. Fosil itulah yang disebut Pithecantropus I. Mengapa Dubois secara khusus mencarinya di lembah Bengawan Solo, begitu jauh dari Kalimantan dan Sumatera yang kaya orang-utannya? Hal itu tak terlepas dari kebiasaan mencari fosil manusia di pinggir sungai, mengingat peradaban yang besar seringkali bermunculan di lembah sungai Tigris dan Efrat, lembah sungai Indus, lembah sungai Hoango. Maklumlah, manusia yang sudah lebih bermasyarakat memerlukan banyak air. Baru kalau lembah sungai tidak ketemu fosil manusia pencaharian dialihkan ke gua-gua kapur yang kelembabannya dapat mengawetkan kerangka manusia menjadi fosil. Seperti misalnya gua-gua Naga yang angker, 40 Km dari Peking, tempat penemuan Manusia Peking (Sinantropus) yang hampir 'sebaya' dengan manusia Trinil. "Brangkas" Sisa Manusia Nah, mungkin saja lembah Bengawan Solo lebih mudah ditelusuri di akhir abad ke-19 itu ketimbang lembah-lembah sungai di Sumatera atau Kalimantan. Tambahan lagi, lembah Bengawan Solo (yang tanahnya berlapis-lapis karena erosi sungai itu sendiri maupun Zaman Es yang telah melanda bumi empat kali) merupuhn 'brangkas' atau lemari es alamlah tempat sisa peradaban manusia dapat tersimpan dengan aman. Apa pun alasannya, penemuan Dubois itu membuat para ahli purbukala jadi ketagihan. Susul menyusul mereka datang menggali di daerah aliran Bengawan Solo, mului dari hulunya di Gunung Sewu sumpai muaranya yang juga jadi tempat pertemuan Kali Brantas dan Bengawan Madiun. Dan alam ternyata tidak mengecewakan mereka: di kawasan ini ditemukan fosil-fosil manusia furba dari 300 sampai 600 ribu tahun yang lalu. Dari tengkorak anak sampai kerangka "raksasa Jawa" dari pemakan daging manusia sampai pemakan tumbuhan seperti orang utan. Penemuan Dubois sendiri masih menimbulkan perdebatan di antara pendukung dan penentang teori evolusi di Eropa, antara yang mengakui dan yang menentang anggapan bahwa fosil Manusia Trinil itulah "mata rantai manusia kera" yang dicari. Maka sarjan Jerman Von Kongiswald pun datang pula menggali di Sangiran kini makin ke hulu. Di tahun 1933 dan 1939 ia berturut-turut menemukan tengkorak kepala lengkap yang disebut Pithecantropus II, dan rahang atas serta bagian belakang kepala yang disebut Pithecantropus IV. Ciri-ciri fosil kepala itu semuanya sama: dahi rendah, miring ke belakang, lengkungan besar di atas mata, mulut menonjol, dan tanpa dagu. Sangat mirip kera, kecuali giginya yang, sama sekali manusiawi. Artinya tak ada taring, yang menonjol seperti kera. Volume otak Manusia Sangiran hanya 775 Cm3, lebih kecil dari Manusia Trinil yang 935 Cm3. Keduanya mula-mula disebut Pithecantro-pus erectus. Tapi setelah tidak lagi diragu-ragukan kemanusiaannya yakni setelah penemuan 'adik-adik'nya di Gua Naga deka Peking nama itu diganti menjadi Homo erectus. Manusia Trinil Hidup 429 sampai 236 ribu tahun yang lalu. Sedang Manusia Sangiran dianggap lebih tua. Wong Solo Sebelum Von Konigswald menemukan Manusia Sangirannya yang pertama, Oppenoorth menemukan 6 tengkorak kepala manusia purba di desa Ngandong, juga dekat Trinil. Fosil inilah yang kemudian disebut Homo Soloensis. Manusia purba ini rupanya lebih cerdas dari pada Manusia Trinil dan Sangiran, sebab volume otaknya sampai 1100 cm3. Tapi juga lebih 'ganas': di bagian belakang tengkorak kepala ada tanda bekas pukulan. Diduga keras bahwa Manusia Solo itu pernah makan daging sesamanya. Tapi misteri Sangiran belum selesai terungkap. Antara tahun 1939-1941, Von Konigswald yang baru meninggalkan Indonesia di awal PD II menemukan fosil Meganthropus palaeojavaricus alias "raksasa Jawa". Tubuhnya memang jauh lebih besar daripada Manusia Trinil. Ngandung dan Manusia Sangiran sebelumnya. Mulutnya mirip kera primat (kera yang paling menyerupai manusia). Tahun 1952, Marks yang melanjutkan penyelidikan Von Konigswald menemukan lagi rahang bawah manusia purba. Raksasa Jawa yang pernah hidup di lembah Bengawan Solo 600 sampai 543 ribu tahun lalu, giginya jauh lebih besar dari pada gigi manusia biasa. Menurut pengamatan Dr Franz Dahler dan Julius Chandra, fosil gigi raksasa Jawa itulah yang sering diperjual-belikan dalam rumah-rumah obat Cina. Dalam dunia pengobatan Jawa, siung atau taring itu digilas menjadi obat mujarab. Namun kedua penulis itu mengakui, bahwa para sarjana masih meragukan apakah siung itu sungguh gigi manusia purba yang sudah membantu, atau hanya gigi binatang purba yang mirip manusia. Saudaranya di Peking Akhirnya perlu pula dicatat penemuan fosil manusia purba yang tertua di Indonesia, yakni di Jetis, dekat Mojokerto, Homo Mojokertensis Tengkorak anak-anak ini, isi otaknya hanya 700 cm3. Kalau dewasa, mungkin sampai 900 cm3. Hidupnya 600 ribu tahun yang lalu. Dari lokasi dan selisih usia fosil-fosil itu tampak suatu gerak dari hilir ke hulu Bengawan Solo. Fosil tertua ditemukan di hilir, sedang yang termuda, di bagian tengah Bengawan Solo. Namun lebih ke Selatan lagi, di Pacitan yang terletak di pantai selatan Jawa Tengah, Von Konigswald menemukan 2400 alat kerja dari batu yang diduga buatan Manusia Trinil dan sebangsanya. Homo erectus inilah - termasuk pula saudaranya yang di dekat Peking itu - diduga telah merintis kebudayaan zaman Batu Tua. Pada masanya, hebat juga kan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus