APA yang mendorong Dr Eugene Dubols dan Von Konigswald
menggalgali tanah di lembah-lembah Bengawan Solo, guna menemukan
jejak asal-usul manusia?
Dorongannya ada dua: pandangan radikal sarjana ilmu hewan
kelahiran Inggeris, Charles Darwin (1809-1882) yang berpendapat
bahwa manusia berasal dari kera. Tapi di mana "mata-rantainya
yang hilang" (missing link), Darwin tak dapat menjawab. Sehingga
Ernst Hekel, seorang filsuf materialisme Jerman dalam bukunya,
Naturliche Schopfungsgeschichte (Sejurah penciptaan alam)
berspekulasi bahwa mata rantainya itu ada semacam "manusia kera"
(pithecantropus). Manusia-kera itulah nenek-moyang manusia
Neanderthal yang fosilnya ditemukan tahun 1856 di Jerman Barat
(ditafsirkan hidup 100 ribu tahun silam). Manusia kera itu
menurut Hackel, tentunya lebih mirip dengan manusia ketimbang
kera. Khususnya mirip gibbon atau orang-utan yang terdapat di
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Pokoknya di kepulauan
Indonesia.
Terangang oleh teori Hackel itulah seorang dosen anatomi di
Amsterdam, Dr Euene Dubois pergi ke Indonesia mencari fosil
manusia 'pra Neandrthal'. Setelah bersusah-payah sekian lama,
akhirnya dalam tahun 1891 dia menemukan apa yang dicarinya di
desa Trinil di tepi Bengawan Solo, Jawa Timur. Di situ digalinya
sebuah tenkorak kepala manusia yang mirip kera. Fosil itulah
yang disebut Pithecantropus I.
Mengapa Dubois secara khusus mencarinya di lembah Bengawan Solo,
begitu jauh dari Kalimantan dan Sumatera yang kaya
orang-utannya? Hal itu tak terlepas dari kebiasaan mencari fosil
manusia di pinggir sungai, mengingat peradaban yang besar
seringkali bermunculan di lembah sungai Tigris dan Efrat, lembah
sungai Indus, lembah sungai Hoango.
Maklumlah, manusia yang sudah lebih bermasyarakat memerlukan
banyak air. Baru kalau lembah sungai tidak ketemu fosil manusia
pencaharian dialihkan ke gua-gua kapur yang kelembabannya dapat
mengawetkan kerangka manusia menjadi fosil. Seperti misalnya
gua-gua Naga yang angker, 40 Km dari Peking, tempat penemuan
Manusia Peking (Sinantropus) yang hampir 'sebaya' dengan
manusia Trinil.
"Brangkas" Sisa Manusia
Nah, mungkin saja lembah Bengawan Solo lebih mudah ditelusuri di
akhir abad ke-19 itu ketimbang lembah-lembah sungai di Sumatera
atau Kalimantan. Tambahan lagi, lembah Bengawan Solo (yang
tanahnya berlapis-lapis karena erosi sungai itu sendiri maupun
Zaman Es yang telah melanda bumi empat kali) merupuhn 'brangkas'
atau lemari es alamlah tempat sisa peradaban manusia dapat
tersimpan dengan aman.
Apa pun alasannya, penemuan Dubois itu membuat para ahli
purbukala jadi ketagihan. Susul menyusul mereka datang menggali
di daerah aliran Bengawan Solo, mului dari hulunya di Gunung
Sewu sumpai muaranya yang juga jadi tempat pertemuan Kali
Brantas dan Bengawan Madiun. Dan alam ternyata tidak
mengecewakan mereka: di kawasan ini ditemukan fosil-fosil
manusia furba dari 300 sampai 600 ribu tahun yang lalu. Dari
tengkorak anak sampai kerangka "raksasa Jawa" dari pemakan
daging manusia sampai pemakan tumbuhan seperti orang utan.
Penemuan Dubois sendiri masih menimbulkan perdebatan di antara
pendukung dan penentang teori evolusi di Eropa, antara yang
mengakui dan yang menentang anggapan bahwa fosil Manusia Trinil
itulah "mata rantai manusia kera" yang dicari. Maka sarjan
Jerman Von Kongiswald pun datang pula menggali di Sangiran kini
makin ke hulu. Di tahun 1933 dan 1939 ia berturut-turut
menemukan tengkorak kepala lengkap yang disebut Pithecantropus
II, dan rahang atas serta bagian belakang kepala yang disebut
Pithecantropus IV.
Ciri-ciri fosil kepala itu semuanya sama: dahi rendah, miring ke
belakang, lengkungan besar di atas mata, mulut menonjol, dan
tanpa dagu. Sangat mirip kera, kecuali giginya yang, sama sekali
manusiawi. Artinya tak ada taring, yang menonjol seperti kera.
Volume otak Manusia Sangiran hanya 775 Cm3, lebih kecil dari
Manusia Trinil yang 935 Cm3. Keduanya mula-mula disebut
Pithecantro-pus erectus. Tapi setelah tidak lagi diragu-ragukan
kemanusiaannya yakni setelah penemuan 'adik-adik'nya di Gua Naga
deka Peking nama itu diganti menjadi Homo erectus. Manusia
Trinil Hidup 429 sampai 236 ribu tahun yang lalu. Sedang Manusia
Sangiran dianggap lebih tua.
Wong Solo
Sebelum Von Konigswald menemukan Manusia Sangirannya yang
pertama, Oppenoorth menemukan 6 tengkorak kepala manusia purba
di desa Ngandong, juga dekat Trinil. Fosil inilah yang kemudian
disebut Homo Soloensis. Manusia purba ini rupanya lebih cerdas
dari pada Manusia Trinil dan Sangiran, sebab volume otaknya
sampai 1100 cm3. Tapi juga lebih 'ganas': di bagian belakang
tengkorak kepala ada tanda bekas pukulan. Diduga keras bahwa
Manusia Solo itu pernah makan daging sesamanya.
Tapi misteri Sangiran belum selesai terungkap. Antara tahun
1939-1941, Von Konigswald yang baru meninggalkan Indonesia di
awal PD II menemukan fosil Meganthropus palaeojavaricus alias
"raksasa Jawa". Tubuhnya memang jauh lebih besar daripada
Manusia Trinil. Ngandung dan Manusia Sangiran sebelumnya.
Mulutnya mirip kera primat (kera yang paling menyerupai
manusia). Tahun 1952, Marks yang melanjutkan penyelidikan Von
Konigswald menemukan lagi rahang bawah manusia purba.
Raksasa Jawa yang pernah hidup di lembah Bengawan Solo 600
sampai 543 ribu tahun lalu, giginya jauh lebih besar dari pada
gigi manusia biasa. Menurut pengamatan Dr Franz Dahler dan
Julius Chandra, fosil gigi raksasa Jawa itulah yang sering
diperjual-belikan dalam rumah-rumah obat Cina. Dalam dunia
pengobatan Jawa, siung atau taring itu digilas menjadi obat
mujarab. Namun kedua penulis itu mengakui, bahwa para sarjana
masih meragukan apakah siung itu sungguh gigi manusia purba yang
sudah membantu, atau hanya gigi binatang purba yang mirip
manusia.
Saudaranya di Peking
Akhirnya perlu pula dicatat penemuan fosil manusia purba yang
tertua di Indonesia, yakni di Jetis, dekat Mojokerto, Homo
Mojokertensis Tengkorak anak-anak ini, isi otaknya hanya 700
cm3. Kalau dewasa, mungkin sampai 900 cm3. Hidupnya 600 ribu
tahun yang lalu.
Dari lokasi dan selisih usia fosil-fosil itu tampak suatu gerak
dari hilir ke hulu Bengawan Solo. Fosil tertua ditemukan di
hilir, sedang yang termuda, di bagian tengah Bengawan Solo.
Namun lebih ke Selatan lagi, di Pacitan yang terletak di pantai
selatan Jawa Tengah, Von Konigswald menemukan 2400 alat kerja
dari batu yang diduga buatan Manusia Trinil dan sebangsanya.
Homo erectus inilah - termasuk pula saudaranya yang di dekat
Peking itu - diduga telah merintis kebudayaan zaman Batu Tua.
Pada masanya, hebat juga kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini