Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Orang Jawa Itu Mau Ke Tokyo

Dua tengkorak manusia jawa purba di kirim ke Tokyo memeriahkan HUT ke-100 museum Ilmu Pengetahuan Nasional. Dipertentangkan para ahli karena dikuatirkan keamanannya.

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA tengkorak manusla purba dari Jawa, Homo erectus dan Homo Soloensis, akan diterbangkan dari tempat persemayamannya di Universitas Gajah Mada, Yogya, ke Tokyo. Dengan dijaga seorang pengawal, kedua fosil manusia yang sangat langka itu akan Ikut memertahankan HUT ke-100 Museum Ilmu Penngatahuan Nasional. Tokyn, 19 July sampal 31 Agutus mendatang. Untuk Itu, naskah persetujuan peminjaman sudah ditandatangani oleh Dirje cbudayasn Ptof. Dr. Ida Bugu Muntra dari Indonesia dan Prof. Dr. Hisashi Suzuki dari Jepang. Seluruh ongkos angkut, pengepakan dan penjuguun kedua fosil itu selama pameran ditangung Jepang. Juga asuransi kerugian sebesar juta dollar AS. Kalangan ahli ilmu purbakala tak semuanya bangga dengan diikutkannya fosil manusia purba milik Indonesia itu di sana. Masih ada yang protes. "Saya sama sekali tak setuju peminjaman fosil itu", kata Prof. Dr. S. Sartono dari Departemen Geologi ITB pada harian Kompas, 7 Juni lalu. Ada tiga alasan baginya untuk tidak membenarkan peminjaman fosil-fosil manusia yang dulu dijuluki 'Pithecantropus' alias manusia-kera itu.  Pertama, fosil demikian amat langka di dunia dan sangat penting artinya bagi penyelidikan evolusi umat manusia.  Kedua? fosil manusia purba itu tak dapat dinilai harganya dengan uang, sebab tak dapat ditiru pembuatannya seperti benda budaya? biar yang paling antik sekalipun. Sebab itu risiko hilang, rusak atau cacad harus diperhitungkan sekali.  Ketiga, peminjaman fosil manusia untuk dibawa dan dipertontonkan di luar negeri tak lazim di dunia antropologi purbakala. Para ilmiawan yang ingin menyelidiki fosil manusia biasanya harus datang sendiri ke museum atau tempat penyimpannya. Dalam pameran untuk umum, lazimnya yang dipamerkan hanya tiruannya dari gips atau plastik. Tanggapan arkeolog dari Bandung itu segera disambut di Jakarta oleh ahli filsafat dan teori evolusi manusia, Dr Franz Dahler. "Argumentasi Prof Sartono saya dukung sepenuhnya", katanya pada TEMPO. Alasannya, "belakangan ini para perampok benda berharga mulai beralih perhatiannya dari mutiara dan berlian ke lukisan kuno. Seperti Monalisa karya Leonardo da Vinci, misalnya. Nah siapa tahu mereka sudah mulai tertarik pada fosil-fosil langka pula. Seperti misalnya fosil manusia Peking yang hilang dari Tiongkok itu". Karena itu Dahler berpendapat, bahwa juga di dalam negeri kita sendiri - khususnya di Bandung dan Yogya, tempat fosil manusia purba itu disimpan - keamanannya perlu dijaga. Kalau Dipingit .... Risiko dicuri di Tokyo itu, bukannya tak terfikirkan oleh para ahli purbakala di kantor Departemen PK di jalan Cilacap 4, Jakarta. Tukas Dr R. Panji Soejono, Kepala Bidang Pra-sejarah Ditjen Kebudayaan yang baru saja dipromosikan menjadi Doktor ILmu Purbakala: "Lha wong yang disimpan dirumah baik-baik saja bisa dicuri? Pokoknya, kita percaya keamanan di sana bagus. Kita jangan terlalu bangga terhadap barang itu, kayak memperlakukan anak kita. Kalau dipingit terus, kan kasihan juga si anak akhirnya, toh?" Optimisme Dr Soejono itu tampaknya didukung oleh pengalaman Indonesia mengikuti pameran kebudayaan di luar negeri sebelumnya. "Pameran Tokyo ini masih kecil dibanding dengan pameran kebudayaan Indonesia di New York, beberapa tahun lalu. Waktu itu kita mengirim banyak patung mastepiece ke sana, yang kini dipamerkan di Brussels buat mencari dana restorasi Borobudur. Bayangkan saja, patung Buddha yang besar bersila itu dimasukkan peti naik kapal. Selamat sampai dipamerkan", katanya pada Eddy Herwanto dari TEMPO. Mengapa bukan tiruannya saja yang dikirim ke Tokyo? Sahut Dr Soejono: "Kalau dikasih barang imitasi mengurangi nilai eksposisinya dong. Justru yang orisinil itu menarik perhatian orang. Seperti pameran lukisan Monalisa dulu. Orang Jepang ya nggak mau dikasih imitasinya". Teilhard de Chardin Kendati demikian, optimisme Dr Soejono tetap tak mengurangi kekhawatiran Franz Dahler. Katanya lagi: "Memang, tak begitu mudah bagi pencuri menjual fosil-fosil semacam itu. Museum yang bonafide pasti tak mau menadahnya, malah melaporkannya pada negara pemiliknya. Tapi tak semua museum di dunia mau memegang kode etik ilmu pengetahuan". Dia juga tak menutup kemungkinan, ada jutawan eksentrik mau memiliki salah satu fosil itu. Atau pencurinya sekedar menggunakan fosil itu buat memeras sejumlah uang dari pemerintah Indonesia. "Siapa tahu, justru debat di pers ini akan menarik perhatian para avonturir", katanya -- rada berkhayal. Seperti juga Prof Sartono, Dr Dahler setuju cetakannya saja yang dipamerkan di Tokyo. Tapi dia lebih mendukung lagi, kalau pameran serupa itu diselenggarakan di Indonesia "untuk menyebarluaskan pengetahuan purbakala-khususnya yang menyangkut evolusi manusia -- pada khalayak ramai". Apalagi di Indonesia sendiri, begitu kata sarjana kelahiran Swiss yang juga telah menulis buku ilmiah populer tentang teori evolusi dari Charles Darwin sampai Teilhard de Chardin *), "belum banyak minat masyarakat pada ilmu-ilmu murni yang tak langsung dapat diraih manfaatnya". Kalaupun pameran di Jepang itu akan menyebabkan bencana bagi fosil itu, Franz Dahler akan lipat dua kekecewaannya. Sebab baru tahun lalu fosil 'manusia-kera' itu dipulangkan oleh salah seorang penemunya, Von Konigswald ke Indonesia. Kata Dahler pula: "Dengan banyaknya penemuan fosil manusia purba tahun-tahun terakhir ini (misalnya di Pakistan dan Iran, yang menggoyahkan teori lama bahwa manusia purba muncul di Afrika - Red.), mungkin kedudukan fosil manusia Jawa itu dianggap sedikit berkurang pentingnya. Namun menurut hemat saya, penemuan di lembah Bengawan Solo itu tetap sama pentingnya dengan fosil manapun yang ditemukan di tempat lain. Sebab semua mata-rantai itu perlu untuk menyusuri langkah perkembangan manusia purba menjadi Homo Sapiens sekarang ini. Juga perlu untuk mendalami evolusi kehidupan di muka bumi". *) Dr Franz Dahler & Julius Chandra, Asal Dan Tujuan Manusia -- Teori evolusi yang menggemparkan dunia, Kanisius, Yogyakarta,

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus