DUA tengkorak manusla purba dari Jawa, Homo erectus dan Homo
Soloensis, akan diterbangkan dari tempat persemayamannya di
Universitas Gajah Mada, Yogya, ke Tokyo. Dengan dijaga seorang
pengawal, kedua fosil manusia yang sangat langka itu akan Ikut
memertahankan HUT ke-100 Museum Ilmu Penngatahuan Nasional.
Tokyn, 19 July sampal 31 Agutus mendatang. Untuk Itu, naskah
persetujuan peminjaman sudah ditandatangani oleh Dirje
cbudayasn Ptof. Dr. Ida Bugu Muntra dari Indonesia dan Prof. Dr.
Hisashi Suzuki dari Jepang. Seluruh ongkos angkut, pengepakan
dan penjuguun kedua fosil itu selama pameran ditangung Jepang.
Juga asuransi kerugian sebesar juta dollar AS.
Kalangan ahli ilmu purbakala tak semuanya bangga dengan
diikutkannya fosil manusia purba milik Indonesia itu di sana.
Masih ada yang protes. "Saya sama sekali tak setuju peminjaman
fosil itu", kata Prof. Dr. S. Sartono dari Departemen Geologi
ITB pada harian Kompas, 7 Juni lalu. Ada tiga alasan baginya
untuk tidak membenarkan peminjaman fosil-fosil manusia yang dulu
dijuluki 'Pithecantropus' alias manusia-kera itu.
Pertama, fosil demikian amat langka di dunia dan sangat penting
artinya bagi penyelidikan evolusi umat manusia.
Kedua? fosil manusia purba itu tak dapat dinilai harganya
dengan uang, sebab tak dapat ditiru pembuatannya seperti benda
budaya? biar yang paling antik sekalipun. Sebab itu risiko
hilang, rusak atau cacad harus diperhitungkan sekali.
Ketiga, peminjaman fosil manusia untuk dibawa dan
dipertontonkan di luar negeri tak lazim di dunia antropologi
purbakala. Para ilmiawan yang ingin menyelidiki fosil manusia
biasanya harus datang sendiri ke museum atau tempat
penyimpannya. Dalam pameran untuk umum, lazimnya yang dipamerkan
hanya tiruannya dari gips atau plastik.
Tanggapan arkeolog dari Bandung itu segera disambut di Jakarta
oleh ahli filsafat dan teori evolusi manusia, Dr Franz Dahler.
"Argumentasi Prof Sartono saya dukung sepenuhnya", katanya pada
TEMPO. Alasannya, "belakangan ini para perampok benda berharga
mulai beralih perhatiannya dari mutiara dan berlian ke lukisan
kuno. Seperti Monalisa karya Leonardo da Vinci, misalnya. Nah
siapa tahu mereka sudah mulai tertarik pada fosil-fosil langka
pula. Seperti misalnya fosil manusia Peking yang hilang dari
Tiongkok itu". Karena itu Dahler berpendapat, bahwa juga di
dalam negeri kita sendiri - khususnya di Bandung dan Yogya,
tempat fosil manusia purba itu disimpan - keamanannya perlu
dijaga.
Kalau Dipingit ....
Risiko dicuri di Tokyo itu, bukannya tak terfikirkan oleh para
ahli purbakala di kantor Departemen PK di jalan Cilacap 4,
Jakarta. Tukas Dr R. Panji Soejono, Kepala Bidang Pra-sejarah
Ditjen Kebudayaan yang baru saja dipromosikan menjadi Doktor
ILmu Purbakala: "Lha wong yang disimpan dirumah baik-baik saja
bisa dicuri? Pokoknya, kita percaya keamanan di sana bagus. Kita
jangan terlalu bangga terhadap barang itu, kayak memperlakukan
anak kita. Kalau dipingit terus, kan kasihan juga si anak
akhirnya, toh?"
Optimisme Dr Soejono itu tampaknya didukung oleh pengalaman
Indonesia mengikuti pameran kebudayaan di luar negeri
sebelumnya. "Pameran Tokyo ini masih kecil dibanding dengan
pameran kebudayaan Indonesia di New York, beberapa tahun lalu.
Waktu itu kita mengirim banyak patung mastepiece ke sana, yang
kini dipamerkan di Brussels buat mencari dana restorasi
Borobudur. Bayangkan saja, patung Buddha yang besar bersila itu
dimasukkan peti naik kapal. Selamat sampai dipamerkan", katanya
pada Eddy Herwanto dari TEMPO.
Mengapa bukan tiruannya saja yang dikirim ke Tokyo? Sahut Dr
Soejono: "Kalau dikasih barang imitasi mengurangi nilai
eksposisinya dong. Justru yang orisinil itu menarik perhatian
orang. Seperti pameran lukisan Monalisa dulu. Orang Jepang ya
nggak mau dikasih imitasinya".
Teilhard de Chardin
Kendati demikian, optimisme Dr Soejono tetap tak mengurangi
kekhawatiran Franz Dahler. Katanya lagi: "Memang, tak begitu
mudah bagi pencuri menjual fosil-fosil semacam itu. Museum yang
bonafide pasti tak mau menadahnya, malah melaporkannya pada
negara pemiliknya. Tapi tak semua museum di dunia mau memegang
kode etik ilmu pengetahuan". Dia juga tak menutup kemungkinan,
ada jutawan eksentrik mau memiliki salah satu fosil itu. Atau
pencurinya sekedar menggunakan fosil itu buat memeras sejumlah
uang dari pemerintah Indonesia. "Siapa tahu, justru debat di
pers ini akan menarik perhatian para avonturir", katanya -- rada
berkhayal.
Seperti juga Prof Sartono, Dr Dahler setuju cetakannya saja yang
dipamerkan di Tokyo. Tapi dia lebih mendukung lagi, kalau
pameran serupa itu diselenggarakan di Indonesia "untuk
menyebarluaskan pengetahuan purbakala-khususnya yang menyangkut
evolusi manusia -- pada khalayak ramai". Apalagi di Indonesia
sendiri, begitu kata sarjana kelahiran Swiss yang juga telah
menulis buku ilmiah populer tentang teori evolusi dari Charles
Darwin sampai Teilhard de Chardin *), "belum banyak minat
masyarakat pada ilmu-ilmu murni yang tak langsung dapat diraih
manfaatnya".
Kalaupun pameran di Jepang itu akan menyebabkan bencana bagi
fosil itu, Franz Dahler akan lipat dua kekecewaannya. Sebab baru
tahun lalu fosil 'manusia-kera' itu dipulangkan oleh salah
seorang penemunya, Von Konigswald ke Indonesia.
Kata Dahler pula: "Dengan banyaknya penemuan fosil manusia purba
tahun-tahun terakhir ini (misalnya di Pakistan dan Iran, yang
menggoyahkan teori lama bahwa manusia purba muncul di Afrika -
Red.), mungkin kedudukan fosil manusia Jawa itu dianggap sedikit
berkurang pentingnya. Namun menurut hemat saya, penemuan di
lembah Bengawan Solo itu tetap sama pentingnya dengan fosil
manapun yang ditemukan di tempat lain. Sebab semua mata-rantai
itu perlu untuk menyusuri langkah perkembangan manusia purba
menjadi Homo Sapiens sekarang ini. Juga perlu untuk mendalami
evolusi kehidupan di muka bumi".
*) Dr Franz Dahler & Julius Chandra, Asal Dan Tujuan Manusia --
Teori evolusi yang menggemparkan dunia, Kanisius, Yogyakarta,
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini