Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Produksi minyak Lapangan Minas di Riau mulai menyusut. Padahal ini salah satu lapangan minyak terbesar di Asia Tenggara dan ujung tombak produksi minyak di Tanah Air. Supaya jumlah produksi dari lapangan minyak di daratan yang sudah tua yang dieksplorasi sejak 1952 itu tak terus melorot, teknik injeksi surfaktan polimer dilakukan. Hasilnya di luar dugaan.
"Kenaikan produksinya lebih cepat dari perkiraan. Kami prediksi baru kelihatan setelah satu tahun atau lebih, ternyata dalam dua bulan sudah ada kenaikan cukup signifikan," kata Rudi Rubiandini, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), yang dulu bernama BP Migas.
Keberadaan Lapangan Minas memang sangat strategis bagi Indonesia. Dari 950 ribu barel produksi minyak nasional per hari, Lapangan Minas menghasilkan minyak mentah seperempatnya. Itu sebabnya keberhasilan dalam menambah cadangan minyak yang bisa diproduksi di Lapangan Minas sangat penting.
Selama ini, mayoritas kilang minyak menggunakan injeksi air untuk memompa minyak mentah ke permukaan bumi. Namun, dengan cara itu, masih ada minyak yang tersisa di bebatuan. Untuk melepaskannya, digunakan injeksi surfaktan polimer yang bisa mengangkat minyak.
Adalah para ahli perminyakan di PT Chevron Pacific Indonesia yang melakukan uji injeksi surfaktan polimer berbiaya US$ 165 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun itu. "Teknologi ini masih uji coba di Indonesia. Di Cina terbukti sukses," ujar Usman Pasarai, Koordinator Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan Teknologi Eksploitasi Lemigas.
"Proyek ini memberikan informasi yang sangat penting tentang aspek komersial dari teknologi itu," ujar Indrawan, Corporate Communication Manager Chevron IndoAsia Business Unit, yang menolak menyebut angka kenaikan produksi di Minas.
Injeksi surfaktan merupakan bagian dari teknologi peningkatan pengurasan minyak (EOR) pada sumur tua yang masih menyimpan sisa minyak cukup banyak. Riset EOR marak dilakukan sejak krisis energi melanda dunia pada 1980-an. Teknologi injeksi surfaktan sendiri baru berkembang setelah itu.
Proses sederhananya seperti ini: minyak yang terperangkap di batuan diinjeksi oleh campuran air dan surfaktan. Ketika terlepas dari batuan dan teremulsi, minyak disedot ke atas bersama air. Setelah itu, minyak kembali dipisahkan dari air.
Indonesia sangat berkepentingan dengan EOR. Sebab, mayoritas sumur di sini berusia tua dan mulai mengalami penurunÂan produksi. Di pihak lain, bukan hal mudah menemukan cadangan minyak dari lapangan baru. "Dari 214 lapangan milik Pertamina, 80 persen cadangan minyaknya mulai menipis," ujar Usman.
Dari pelbagai studi diketahui bahwa cadangan minyak y ang tersedot dari semua sumur yang dieksplorasi dengan teknologi konvensional baru mencapai 40-45 persen dari jumlah yang ada. Sisanya tersimpan dalam bebatuan di sumur tua. Untuk mengambil minyak yang tersimpan itulah diperlukan surfaktan—buat meluruhkan minyak yang terperangkap.
Lantas apa sebenarnya surfaktan itu? Inilah molekul yang bersifat ganda: memiliki gugus hidrofilik (suka air) sekaligus lipofilik (suka minyak atau lemak), sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri atas air dan minyak, juga merenggangkan tegangan permukaan keduanya. Sifat rangkap inilah yang menyebabkan surfaktan dapat diserap pada antarmuka udara-air, minyak-air, dan zat padat-air.
Surfaktan banyak ditemukan pada bahan seperti detergen, kosmetik, sebagian makanan, tekstil, dan plastik. Produk pangan seperti margarin dan es krim juga menggunakan surfaktan sebagai salah satu bahannya. Tentu, agar dapat dikonsumsi, surfaktan harus memenuhi sejumlah syarat, seperti tak beracun dan tak menimbulkan iritasi.
Permintaan surfaktan di dunia cukup besar: 11,82 juta ton per tahun, dengan pertumbuhan permintaan rata-rata tiga persen per tahun. Akibat permintaan yang melebihi ketersediaan, harganya pun melambung.
Sebagai bahan injeksi di sumur minyak, surfaktan yang digunakan adalah yang berbasis petroleum. Itu sebabnya biaya operasional injeksi surfaktan dapat mencapai US$ 30 per barel. Padahal harga minyak sekitar US$ 80 per barel.
Untuk mengakali biaya tinggi, tim Lemigas meneliti penggunaan surfaktan dengan bahan turunan dari kelapa sawit. Penelitian ini selanjutnya dilakukan Institut Pertanian Bogor. Lemigas sendiri beralih ke teknologi nanobioteknologi. Temuan ini lantas diberi nama Supel, singkatan dari Surfaktan Peptida Lemigas.
Indra Jaya, peneliti senior Lemigas yang memimpin penelitian, mengatakan surfaktan umum digunakan pada pengeboran minyak bumi untuk meluruhkan minyak dengan air. Bentuknya menyerupai sabun. Ketika di permukaan, minyak kembali dipisahkan dari air. Nah, teknologi nanobioteknologi menghasilkan surfaktan peptida—surfaktan yang berbasis protein—yang bisa diatur sifat luruhnya, sehingga pemisahan minyak dari air lebih mudah. "Dalam riset, asam amino peptida diutak-atik, begitu juga susunan rantai karbon-hidrogennya. Hasilnya adalah surfaktan yang sangat spesifik," ujar Indra.
Dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum, surfaktan nanobioteknologi memiliki beberapa kelebihan, antara lain lebih ramah lingkungan. Konsentrasi yang diperlukan untuk menghasilkan larutan surfaktan untuk EOR jauh lebih rendah, sehingga biaya bisa ditekan.
Proses penciptaan surfaktan dengan nanobioteknologi juga lebih mudah dikontrol untuk menghasilkan surfaktan yang sesuai dengan karakteristik minyak dibanding penciptaan surfaktan secara konvensional.
Arief Budi Witarto, ahli bioteknologi protein yang bergabung dengan tim Lemigas, mengakui belum ada data empiris tentang tingkat keberhasilan penggunaan surfaktan nanobioteknologi ini. Secara akademis, karena proses penciptaannya lebih mudah dikontrol sesuai dengan karakteristik minyak dan batuan reservoir, diharapkan tingkat keberhasilannya akan lebih baik dibanding surfaktan konvensional.
Tim Lemigas menargetkan sudah melakukan uji coba injeksi Supel untuk skala sumuran pada 2015. Sementara surfaktan konvensional perlu 25-50 barel untuk uji coba skala sumuran, Supel hanya butuh kurang dari 5 barel.
Peluang menghasilkan surfaktan secara nanobioteknologi di Indonesia sangat menjanjikan karena banyaknya sumur minyak tua yang membutuhkan EOR. Sumur-sumur itu memiliki karakteristik yang berbeda-beda. "Supel bisa dikontrol karakternya sehingga sesuai dengan kebutuhan itu," ujar Arief.
Kendalanya, pengetahuan masyarakat terhadap produk ini terhitung baru. Untuk itu diperlukan lebih banyak percobaan di sumur. Saat ini tim Lemigas menjajaki pembentukan konsorsium riset dengan beberapa industri yang bergerak di bidang industri minyak. Riset ini ke depan akan dikembangkan ke skala komersial. Ke depan pula, dengan teknologi ini, sumur minyak tua yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia masih bisa terus dieksplorasi hingga benar-benar kering.
Erwin Zachri
Proses Injeksi Surfaktan
1. Surfaktan dicampur dengan air.
2. Kemudian larutan surfaktan diinjeksikan dengan pompa.
3. Terjadi emulsi minyak dengan air dan penurunan tegangan antarpermukaan minyak-air di dalam reservoir. Dengan demikian, sisa-sisa minyak akan terlepas dari batuan reservoir.
4. Larutan surfaktan akan terus bergerak untuk melepaskan minyak dari reservoir.
5. Secara bertahap setelah beberapa lama minyak yang terproduksi akan naik dengan signifikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo