TERPENGARUH oleh teori evolusi Darwin, dan tergoda oleh hipotesa
Ernst Heinrich Haeckel, Eugene Dubois "merantau" ke sini. Adalah
menjadi postulat Haeckel bahwa mata rantai yang hilang
menjembatani antara manusia dan kera berkemungkinan hidup di
daerah tropis. Makhluk inilah yang secara khayal ilmiah disebut
Pithecanthropus.
Si "tergoda" Dubois meninggalkan pckerjaannya selaku dosen
anatomi di Universitas Amsterdam. Untuk sampai ke negeri tropis,
Dubois melamar dan diterima menjadi dokter tentara untuk Hindia
Belanda. Dan empat tahun kemudian, 1891, apa yang semula belum
ada, kemudian dibayangkan ada, oleh Dubois dibuktikan
benar-benar ada dengan ditemukannya Pithecantbropuserectus di
Trinil, 11 km dari Ngawi (Ja-Tim). Dan di Yogya Seksi
Anthropologi Ragawi Fakultas Kedokteran UGM mengadakan seminar
dan pameran manusia purba (22 Agustus) untuk memperingati 90
tahun penemuan Dubois itu.
Tak sulit bagi Dubois untuk sampai ke negeri tropis ini.
Pemerintah kolonial Belanda kala itu memang kekurangan tenaga
perwira kesehatan untuk Hindia Belanda. Diterima menjadi
doktertentara, Dubois ditempatkan di rumah sakit sekitar Padang
(1887).
Di Padang, dengan uang sakunya sendiri Dubois melaksanakan
minatnya pada paleontologi. Berbagai lokasi deposit arkeologis
didatanginya. "Pernah ia menemukan gua sempit. Sendirian ia
memasuki gua itu, dan ternyata gua harimau yang lagi kosong.
Hampir ia tewas terjepit ruang sempit," ujar Prof. Dr. Teuku
Jacob, Kepala Bagian Anthropologi Ragawi Fakultas Kedokteran
UGM. Tapi Dubois masih menemukan fosil-fosil berusia muda saja.
Dokter yang lahir 28 Januari 1858 di Eisden itu kemudian
diserang penyakit malaria. Ia dipindahkan ke Jawa Timur, tempat
ia kemudian berhasil menemukan fosil-fosil yang berarti, bahkan
menggemparkan dunia anthropologi dan paleoanthropologi
khususnya.
Tahun 1889, ia menemukan tengkorak Wajak di Tulungagung. Tapi
tengkorak itu sudah tergolong modern. Setahun kemudian ia
menemukan sekeping rahang bawah Pithecanthropus di Kedungbrubus.
Dubois baru mulai melakukan penyelidikannya di Trinil -- ke arah
barat hampir mendekati Bengawan Solo, pada kaki Gunung
Lawu-Kukusan -- Agustus 1891. Semula ia hanya menemukan
fosil-fosil hewan semata. Tapi dalam September ia menemukan
sebuah geraham, dan dalam Oktober sebuah atap tenglcorak.
"Dubois sendiri menganggap keduanya hanyalah Anthropopithecus
(cimpanse)," kata Jacob.
Tapi pada 1892, di dekat lokasi yang sama, ia menemukan sebuah
geraham lagi dan sebuah tulang paha yang patologls berupa
pertumbuhan yang abnormal. Semua temuannya ini kemudian
dideskripsikannya, dan dipublikasikan dalam sebuah monografi
(1894), dengan menggolongkannya ke dalam taxon Pitbecanthropus
erectus yang merupakan mata rantai seperti dibayangkan secara
khayali oleh Haeckel. "Tengkorak yang arkeik (sangat kuno) yang
menunjukkan sikap tegak itu, kemudian menggemparkan dunia
biologi pada masa itu," kata Prof. Jacob.
Menggemparhan? Semula orang hanya membayangkan saja. Hanya
mereka-reka ikhwal evolusi manusia itu, dan bagaimana kiranya
bentuk manusia purba itu. Diambillah kera sebagai contoh, sebab
kera paling dekat dengan manusia. "Yang semula hanya ada dalam
pikiran itu, ternyata ada bendanya. Jadi, sebelumnya belum ada,
dibayangkan ada, lalu ada. Karena itulah menggemparkan," kata
Prof. Jacob.
Tahun 1895, Dubois kembali ke Belanda. Di Eropa, ia mendapat
perlawanan. Banyak pihak yang tak percaya dengan penemuannya.
Bahkan, menurut Prof. Jacob, interpretasi temuan Trinil itu
mengalami evolusi pula selama 90 tahun penemuannya, sesuai
dengan perubahan paradigma dalam anthropologi dan ilmu
pengetahuan umumnya. Para ahli sendiri, misalnya, belum
berkesimpulan secara pasti dan final mengenai tempat asal mula
manusia. Di Asia atau di Afrika, "masih pertanyaan yang terbuka,
" kata Jacob.
Kontroversi pertama timbul mengenai taxonomi. Dubois sendiri
semula menyebutnya sebagai cimpanse, kemudian mengoreksinya
menjadi Pithecanthropus dengan memakai erectls sebagai nama
spesifik yang menunjukkan sikap tegak. Kalangan yang skeptis
menganggap tengkorak Trinil itu adalah kera, idiot, mikrokefal
dan hybrid antara bumiputra dan kera. Tapi ini tak mengherankan.
"Tentang taxonomi hewan yang masih hidup saja para ahli dapat
berbeda pendapat, apalagi tentang makhluk yang hanya dapat
dipelajari fragmen tulangnya yang tertentu saja, " kata Jacob.
Kemudian kalangan ahli mengakui penemuan Trinil itu adalah
hominid bahkan hominin, terlebih setelah ada temuan-temuan dari
Zoukoudian (Beijing). Tapi ironisnya, justru di saat itupula
Dubois mengundurkan diri dari keyakinannya. "Ia sendiri tak
percaya bahwa penemuannya adalah manusia, justru di saat
sebagian besar ahli sudah percaya," kata Prof. Jacob. Dubois
sendiri tak percaya yang ditemukannya adalah Pithecanthropus,
melainkan hanya Hylobates giganteus alias Wau-Wau raksasa.
Sebelum meninggal 16 Desember 1940 di de Bedlaer, Dubois sempat
menjadi Profesor Geologi di Universitas Amsterdam. Dia dikenang
sebagai seorang tokoh yang aneh--merawat dan mengasihi tulang
Pithecanthropus melebihi anaknya sendiri, dan menggali fosil
justru di saat dunia kedokteran sedang memusatkan perhatian pada
bakteriologi.
Isi tengkorak manusia Trinil itu termasuk kecil, yaitu 900 cc.
Sedangkan manusia sekarang isi tengkoraknya mencapai 1300-1400
cc. Manusia Trinil itu sudah berjalan tegak, meski tak semirip
manusia sekarang. Ada pula ahli yang menganggapnya sudah
berbahasa. Tapi Prof. Jacob sendiri termasuk pihak yang
menganggapnya baru prabahasa. "Sudah memakai sejumlah kata-kata,
tapi dibantu cukup banyak oleh isyarat, gerak tangan, gerak muka
dan sebagainya. Jadi sudah jauh lebih maju dari kera," kata
Jacob.
Meski demikian, belum ada kepastian apakah manusia Trinil itu
manusia yang paling purba. "Masih ada perbedaan pendapat karena
pertanggalannya agak sulit," ucap Jacob. Belum ada kata putus
ikhwal penentuan kepurbaan ini. Yang jelas, Indonesia dan Cina
dianggap sebagai memiliki deposit manusia purba yang cukup
banyak. Masing-masing diduga "menyimpan" 40-50 individu
Pithecanthropus. Cuma di Cina sebagian besar hilang akibat
Perang Dunia ke-2. "Di Indonesia ada gunung berapi, dan endapan
gunung berapi itu melestarikannya menjadi fosil," kata Jacob.
Meski di Indonesia masih banyak tersimpan manusia purba yang
belum seluruhnya ditemui, ironisnya sampai kini penemuan Dubois
itu masih berada di Belanda. Ada enam individu dari Trinil, dua
tengkorak Wajak dan sebuah fosil dari Kedungbrubus yang disimpan
di Belanda. "Hal ini menyulitkan ahli-ahli Indonesia untuk turut
meneliti temuan-temuan dari negeri sendiri," kata Jacob.
Upaya mengembalikan mata rantai yang hilang itu ke Indonesia
masih dalam taraf perundingan. "Diharapkan pada peringatan
seabad ditemukannya fosil Trinil itu nanti, sudah kembali ke
mari meskipun di antara kita mungkin sudah tak ada lagi," kata
Jacob di depan sekitar 250 peserta seminar di gedung Balai
Pertemuan UGM Yogya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini