Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengenang Dubois Dan Fosil Trinil

Peringatan 90 tahun diketemukannya fosil manusia purba di Trinil (Jawa Timur), Phitecanthropus Erectus, oleh Eugene Dubois (Belanda). (ilt)

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERPENGARUH oleh teori evolusi Darwin, dan tergoda oleh hipotesa Ernst Heinrich Haeckel, Eugene Dubois "merantau" ke sini. Adalah menjadi postulat Haeckel bahwa mata rantai yang hilang menjembatani antara manusia dan kera berkemungkinan hidup di daerah tropis. Makhluk inilah yang secara khayal ilmiah disebut Pithecanthropus. Si "tergoda" Dubois meninggalkan pckerjaannya selaku dosen anatomi di Universitas Amsterdam. Untuk sampai ke negeri tropis, Dubois melamar dan diterima menjadi dokter tentara untuk Hindia Belanda. Dan empat tahun kemudian, 1891, apa yang semula belum ada, kemudian dibayangkan ada, oleh Dubois dibuktikan benar-benar ada dengan ditemukannya Pithecantbropuserectus di Trinil, 11 km dari Ngawi (Ja-Tim). Dan di Yogya Seksi Anthropologi Ragawi Fakultas Kedokteran UGM mengadakan seminar dan pameran manusia purba (22 Agustus) untuk memperingati 90 tahun penemuan Dubois itu. Tak sulit bagi Dubois untuk sampai ke negeri tropis ini. Pemerintah kolonial Belanda kala itu memang kekurangan tenaga perwira kesehatan untuk Hindia Belanda. Diterima menjadi doktertentara, Dubois ditempatkan di rumah sakit sekitar Padang (1887). Di Padang, dengan uang sakunya sendiri Dubois melaksanakan minatnya pada paleontologi. Berbagai lokasi deposit arkeologis didatanginya. "Pernah ia menemukan gua sempit. Sendirian ia memasuki gua itu, dan ternyata gua harimau yang lagi kosong. Hampir ia tewas terjepit ruang sempit," ujar Prof. Dr. Teuku Jacob, Kepala Bagian Anthropologi Ragawi Fakultas Kedokteran UGM. Tapi Dubois masih menemukan fosil-fosil berusia muda saja. Dokter yang lahir 28 Januari 1858 di Eisden itu kemudian diserang penyakit malaria. Ia dipindahkan ke Jawa Timur, tempat ia kemudian berhasil menemukan fosil-fosil yang berarti, bahkan menggemparkan dunia anthropologi dan paleoanthropologi khususnya. Tahun 1889, ia menemukan tengkorak Wajak di Tulungagung. Tapi tengkorak itu sudah tergolong modern. Setahun kemudian ia menemukan sekeping rahang bawah Pithecanthropus di Kedungbrubus. Dubois baru mulai melakukan penyelidikannya di Trinil -- ke arah barat hampir mendekati Bengawan Solo, pada kaki Gunung Lawu-Kukusan -- Agustus 1891. Semula ia hanya menemukan fosil-fosil hewan semata. Tapi dalam September ia menemukan sebuah geraham, dan dalam Oktober sebuah atap tenglcorak. "Dubois sendiri menganggap keduanya hanyalah Anthropopithecus (cimpanse)," kata Jacob. Tapi pada 1892, di dekat lokasi yang sama, ia menemukan sebuah geraham lagi dan sebuah tulang paha yang patologls berupa pertumbuhan yang abnormal. Semua temuannya ini kemudian dideskripsikannya, dan dipublikasikan dalam sebuah monografi (1894), dengan menggolongkannya ke dalam taxon Pitbecanthropus erectus yang merupakan mata rantai seperti dibayangkan secara khayali oleh Haeckel. "Tengkorak yang arkeik (sangat kuno) yang menunjukkan sikap tegak itu, kemudian menggemparkan dunia biologi pada masa itu," kata Prof. Jacob. Menggemparhan? Semula orang hanya membayangkan saja. Hanya mereka-reka ikhwal evolusi manusia itu, dan bagaimana kiranya bentuk manusia purba itu. Diambillah kera sebagai contoh, sebab kera paling dekat dengan manusia. "Yang semula hanya ada dalam pikiran itu, ternyata ada bendanya. Jadi, sebelumnya belum ada, dibayangkan ada, lalu ada. Karena itulah menggemparkan," kata Prof. Jacob. Tahun 1895, Dubois kembali ke Belanda. Di Eropa, ia mendapat perlawanan. Banyak pihak yang tak percaya dengan penemuannya. Bahkan, menurut Prof. Jacob, interpretasi temuan Trinil itu mengalami evolusi pula selama 90 tahun penemuannya, sesuai dengan perubahan paradigma dalam anthropologi dan ilmu pengetahuan umumnya. Para ahli sendiri, misalnya, belum berkesimpulan secara pasti dan final mengenai tempat asal mula manusia. Di Asia atau di Afrika, "masih pertanyaan yang terbuka, " kata Jacob. Kontroversi pertama timbul mengenai taxonomi. Dubois sendiri semula menyebutnya sebagai cimpanse, kemudian mengoreksinya menjadi Pithecanthropus dengan memakai erectls sebagai nama spesifik yang menunjukkan sikap tegak. Kalangan yang skeptis menganggap tengkorak Trinil itu adalah kera, idiot, mikrokefal dan hybrid antara bumiputra dan kera. Tapi ini tak mengherankan. "Tentang taxonomi hewan yang masih hidup saja para ahli dapat berbeda pendapat, apalagi tentang makhluk yang hanya dapat dipelajari fragmen tulangnya yang tertentu saja, " kata Jacob. Kemudian kalangan ahli mengakui penemuan Trinil itu adalah hominid bahkan hominin, terlebih setelah ada temuan-temuan dari Zoukoudian (Beijing). Tapi ironisnya, justru di saat itupula Dubois mengundurkan diri dari keyakinannya. "Ia sendiri tak percaya bahwa penemuannya adalah manusia, justru di saat sebagian besar ahli sudah percaya," kata Prof. Jacob. Dubois sendiri tak percaya yang ditemukannya adalah Pithecanthropus, melainkan hanya Hylobates giganteus alias Wau-Wau raksasa. Sebelum meninggal 16 Desember 1940 di de Bedlaer, Dubois sempat menjadi Profesor Geologi di Universitas Amsterdam. Dia dikenang sebagai seorang tokoh yang aneh--merawat dan mengasihi tulang Pithecanthropus melebihi anaknya sendiri, dan menggali fosil justru di saat dunia kedokteran sedang memusatkan perhatian pada bakteriologi. Isi tengkorak manusia Trinil itu termasuk kecil, yaitu 900 cc. Sedangkan manusia sekarang isi tengkoraknya mencapai 1300-1400 cc. Manusia Trinil itu sudah berjalan tegak, meski tak semirip manusia sekarang. Ada pula ahli yang menganggapnya sudah berbahasa. Tapi Prof. Jacob sendiri termasuk pihak yang menganggapnya baru prabahasa. "Sudah memakai sejumlah kata-kata, tapi dibantu cukup banyak oleh isyarat, gerak tangan, gerak muka dan sebagainya. Jadi sudah jauh lebih maju dari kera," kata Jacob. Meski demikian, belum ada kepastian apakah manusia Trinil itu manusia yang paling purba. "Masih ada perbedaan pendapat karena pertanggalannya agak sulit," ucap Jacob. Belum ada kata putus ikhwal penentuan kepurbaan ini. Yang jelas, Indonesia dan Cina dianggap sebagai memiliki deposit manusia purba yang cukup banyak. Masing-masing diduga "menyimpan" 40-50 individu Pithecanthropus. Cuma di Cina sebagian besar hilang akibat Perang Dunia ke-2. "Di Indonesia ada gunung berapi, dan endapan gunung berapi itu melestarikannya menjadi fosil," kata Jacob. Meski di Indonesia masih banyak tersimpan manusia purba yang belum seluruhnya ditemui, ironisnya sampai kini penemuan Dubois itu masih berada di Belanda. Ada enam individu dari Trinil, dua tengkorak Wajak dan sebuah fosil dari Kedungbrubus yang disimpan di Belanda. "Hal ini menyulitkan ahli-ahli Indonesia untuk turut meneliti temuan-temuan dari negeri sendiri," kata Jacob. Upaya mengembalikan mata rantai yang hilang itu ke Indonesia masih dalam taraf perundingan. "Diharapkan pada peringatan seabad ditemukannya fosil Trinil itu nanti, sudah kembali ke mari meskipun di antara kita mungkin sudah tak ada lagi," kata Jacob di depan sekitar 250 peserta seminar di gedung Balai Pertemuan UGM Yogya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus