LAGI-lagi bencana. Belum pupus bencana banjir melanda negeri ini, Senin pekan lalu giliran kilang minyak Pertamina di Cepu, Jawa Tengah, meledak dan terbakar. Hingga akhir pekan lalu, gulungan api masih berkobar-kobar di ketinggian 50 meter. Hawa panas menerabas jauh ke jarak 400 meter.
Memang, sebanyak 1.096 warga Desa Sumber yang tertimpa bencana akibat kebocoran gas itu sudah meninggalkan barak pengungsian. Toh, mereka enggan pulang ke rumah di permukiman dekat bencana. Mereka memilih menetap di kediaman kerabatnya yang jauh dari api. Lagi pula sumur minyak yang terbakar masih mengembuskan asam sulfida, yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Menurut Pertamina, api yang mulai meledak pada Senin pekan lalu itu baru bisa dijinakkan sebulan lagi atau pada awal April 2002. "Itu pun bila usaha pemadaman dengan cara direct capping (menginfuskan lumpur) bisa berhasil," kata Idris Kamidjo, Manajer Umum Pertamina Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Timur.
Teknik direct capping yang dimaksud adalah cara memadamkan api dengan menginfuskan sebanyak mungkin lumpur ke dalam kilang yang terbakar. Cara ini, kata Idris, membutuhkan sejumlah peralatan memadai dan beberapa persiapan awal. Misalnya, diperlukan lahan luas untuk dijadikan "tambang" lumpur.
Sementara ini, lumpurnya diambil dari lumpur sawah, yang dinilai mengandung banyak unsur lignosul-fonate (pemberat) hingga lebih gampang untuk memadamkan api. Untuk itu, Pertamina menyewa sehektare sawah pen-duduk sebagai calon tambang lumpur. Jumat pekan lalu, sejumlah peralatan berat sudah membuldoser sawah sewaan itu.
Nantinya, di sawah itu akan ditempatkan mesin crane dan sejumlah mesin pendukung untuk memproduksi lumpur dan mengirimkannya ke kilang minyak yang sedang dilahap si jago merah. Berbagai mesin tersebut akan di-datangkan secara khusus dari Prabumulih, Sumatra Selatan, awal pekan ini.
Diperkirakan persediaan lumpur dianggap cukup dalam waktu sepuluh hari. Ketika itulah penutup sumur yang kini terbakar akan dibuka dan diganti dengan capping baru. Lewat lubang dalam capping baru itu, lumpur lantas dipompakan secara kuat. Lumpur yang disuntik harus mengandung unsur lignosul-fonate, yang terdiri atas bentonite dan banite sebagai pemberat, agar bisa memisahkan gas dari api, sehingga api bisa dipadamkan.
Namun, teknik direct capping bukan tanpa risiko. Bila penutup sumur baru lambat di-pasang padahal penutup lama sudah ditanggalkan, tekanan gas dari dalam kilang bisa lebih ganas dan memercikkan api lebih tinggi. Jelas ini amat berbahaya.
Kalaupun penutup baru dapat dimasukan dan lumpur bisa disemprotkan dengan kuat, itu tak berarti kondisi bisa segera ditanggulangi. Sebab, tak mustahil pula gas di dalam sumur menekan daerah sekitarnya. Akibatnya, bebatuan bisa retak, tanah tertembus, dan gas menyemprot ke tempat tak terduga.
Karena itu, penggunaan teknik penyuntikan lumpur mesti ekstra-hati-hati dan diperhitungkan secara cermat. Memang, cara ini pernah diterapkan dengan berhasil oleh pemerintah Kuwait untuk menjinakkan api pada kilang minyak yang dibakar tentara Irak sewaktu perang Amerika-Irak meletus pada 1989. Waktu itu, kilang minyak yang terbakar bukan cuma satu, tapi puluhan.
Boleh dibilang teknik direct capping baru kali ini diterapkan Pertamina. Ketika kilang minyak Plant V di Balikpapan, di lapangan Arun, Aceh, dan di Sumatra Selatan terbakar beberapa waktu lalu, Pertamina cukup menanggulanginya dengan teknik pemadaman biasa. Mungkin karena apinya tak sedahsyat kebakaran di kilang minyak Cepu.
Sekalipun demikian, Pertamina merasa optimistis menggunakan teknik direct capping untuk kebakaran di kilang minyak Cepu. Bahkan perusahaan minyak milik negara itu sampai menyewa dua konsultan dari Well Control Asia, yang berpengalaman sewaktu memadamkan api di sejumlah sumur minyak yang terbakar di Kuwait pada 1989.
Tapi, kalau cara menyuntikkan lumpur ternyata gagal? Pertamina mengaku menyiapkan cara kedua, yakni relief well. Cara ini dilakukan dengan mengebor lubang baru pada jarak sekitar 100 meter dari kilang yang terbakar. Lubang itu digali secara miring dan diarahkan hingga bertemu dengan lubang sumber semburan api. Dari lubang baru itulah lumpur pemberat tadi disemprot untuk memadamkan api. Cara ini memang punya risiko tak besar. Tapi penyelesaiannya hingga api padam perlu waktu lebih lama, yakni sekitar tiga bulan.
Wens Manggut, Bandelan Amarudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini