Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mengeja

Belakangan ini, kepekaan berbahasa terasa makin kurang. bahasa indonesia makin rapuh, antara lain karena pengaruh pejabat yang besar. tata bahasa indonesia yang baku dirombak.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengeja ALI AUDAH SETIAP Oktober, biasanya diadakan kegiatan bahasa dalam berbagai macam bentuk. Ada yang datang dari atas, biasanya berupa pemberitahuan, perintah, atau petunjuk. Ada yang datang dari bawah, berupa saran atau kritik, dengan niat yang baik. Pada akhir Oktober ini pula, dilangsungkan kongres kebudayaan nasional. Dalam kongres itu, yang selama sepuluh tahun belakangan ini sudah sering dibicarakan orang, pelbagai masalah budaya tentu akan diketengahkan dan dibahas. Tak kalah pentingnya tentu masalah bahasa, yang harus dibicarakan secara terbuka, artinya tidak harus datang dari atas saja. Yang di bawah pun, sebagai konsumen bahasa yang setia dan kritis, perlu mendapat perhatian, walau hampir setiap tahun masyarakat konsumen ini sudah sering memberikan saran dan pendapat. Tetapi seorang pakar bahasa berpendapat, masukan demikian katanya kurang sekali mendapat tanggapan dari atas. Malah cenderung dianggap suara "orang berteriak, kafilah berjalan terus". Sekali ini, jika masukan melalui pintu kongres kebudayaan, mungkin akan lebih bertuah daripada lewat jalur lain. Dalam tiga kali terakhir Kongres Bahasa Indonesia yang berlangsung di Jakarta, orang sudah menyodorkan makalah, sudah banyak yang berbicara di atas mimbar, disambung dalam lobi sambil rehat minum kopi. Sesudah itu, katanya, keadaan berjalan seperti biasa, seperti tanpa kesan. Tahun-tahun belakangan ini kepekaan berbahasa memang terasa makin kurang. Tiap sebentar kita menggunakan kata dan ungkapan bahasa asing, hampir dalam semua bidang kegiatan, tanpa terlebih dulu mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Atau seperti yang ditulis Slamet Djabarudi dalam TEMPO beberapa waktu lalu: karena sudah membiasakan diri menyebut badan dunia UNO itu dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa lengkap dengan singkatannya PBB, tidak usah repot-repot mencari istilahnya dalam bahasa Inggris. "Tapi semangat tempo dulu itu sekarang kendur," katanya. PLO, NATO, UNESCO, OPEC, ASEAN, dan seterusnya, yang oleh bangsa-bangsa lain sudah disalin ke dalam bahasanya masing-masing, sekarang kita terima bulat-bulat, enggan bersusah-susah mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Jadi, kenapa kini bahasa Indonesia makin rapuh? Barangkali karena kata-kata bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia sering melalui pejabat-pejabat terlebih dulu, baik dalam pidato, sambutan, pengarahan, maupun dalam keterangan kepada pers. Lalu oleh pers diteruskan kepada pembacanya seperti apa adanya. Secara tidak langsung, kalau begitu, dalam pembinaan bahasa Indonesia pengaruh pejabat itu besar juga. Barangkali di sini letak perbedaannya dengan pejabat-pejabat tempo dulu, seperti Bung Hatta, Haji Agus Salim, atau Muhammad Yamin, yang tidak saja menghindari penggunaan kata-kata bahasa asing dalam memberikan keterangan pers, bahkan tidak jarang mereka berusaha turut membina langsung penggunaan bahasa Indonesia "yang baik dan benar". Belakangan ini, yang juga banyak menjadi pembicaraan pengamat bahasa ialah soal istilah tata bahasa Indonesia. Ironisnya, istilah dalam tata bahasa Melayu, yang justru menjadi inti bahasa Indonesia yang sudah berlaku sejak puluhan tahun dan sudah diakui kebakuannya, akhir-akhir ini dirombak. Sebagai gantinya dipakai istilah-istilah linguistik dari bahasa asing yang kadang terasa janggal. Mungkin karena kita sering mendengarkan cerita burung, anak di pangku dilepaskan. "Kata kerja" misalnya, diganti dengan verba, "kata ganti" dengan pronomina, "kata sifat" dengan adjektiva, "kata bilangan" dengan numeralia, "kata dasar" dengan afiks, "kata depan" dengan preposisi, "kata nama" dengan nomina, "anak kalimat" menjadi klausa, "kata keterangan" ditukar dengan adverbia, dan sederetan istilah lagi, sufiks, prefiks, konfiks, afiksasi, reduplikasi, dan sebagainya, yang tak sepatah kata pun memakai kata bahasa Indonesia. Semua ini kemudian kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sebaliknya Kamus Dewan, yang lebih mustahak jika akan mengacu kepada bahasa Inggris, tetap mempertahankan istilah bahasa awak. Arti "kata bantu" yang sudah diganti dengan partikel dalam KBBI diuraikan cukup menarik: "... kata yang biasanya tidak dapat diderivasikan atau diinfleksikan, yang mengandung makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal, termasuk di dalamnya kata sandang, preposisi, konjungsi, dan interjeksi." Seorang pengulas lain belum mendapat jawaban ketika Lembar Komunikasi dan KBBI mengubah ejaan yang sudah dipakai di dunia internasional. Buku referensi standar seperti Encyclopedia Britannica atau kamus Oxford atau Webster misalnya, mengeja Buddhist, Christian, Muslim, dan sebagainya dengan huruf depan kapital, dengan alasan cukup. Dalam ejaan bahasa Indonesia semua ini sudah diganti, tidak lagi dengan huruf depan kapital: kristiani, katolik, muslim (kecuali Budis dengan B kapital) yang disamakan dengan sebutan komunis, nihilis, tanpa memberi alasan. Mungkin karena huruf kapital dalam hal-hal keagamaan yang disebutkan dalam Pedoman Umum EYD hanya kitab suci dan nama Tuhan, termasuk kata gantinya -- tidak secara eksplisit menyebut penganutnya. Ada pecinta bahasa yang pernah "menggugat" penggunaan kata ganti atau sapaan seperti "Anda" atau "Saudara" dengan huruf kapital, yang dinilai berbau feodal, tanpa alasan yang jelas. Kalau soalnya hanya mengacu kepada bahasa Inggris I, atau U dalam bahasa Belanda dengan huruf kapital, barangkali alasannya karena kedua huruf itu masing-masing tunggal, jadi kasihan bila ditulis dengan huruf kecil. Saya hanya menasihati sahabat-sahabat yang baik hati dan punya semangat besar ingin menyumbang pikiran dalam pembinaan bahasa itu, supaya jangan gusar, jangan cepat putus asa. Masih banyak orang lain yang juga senasib seperti mereka. Sabar dan tabahlah. Kalau ada unek-unek, coba nanti saja tuangkan dalam kongres kebudayaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus