SEDAN Mercedes Benz, siapa yang meragukan keelokannya. Tak cuma molek di penampilan dan perkasa dalam soal mesin, Mercedes pun kini menyodorkan sedan generasi baru 230 E yang lebih "bergengsi": berbahan bakar hidrogen. Sedan jenis itu dipamerkan di Amerika bulan lalu, dan membuat para senator yang menyaksikannya tergiur, lalu membawanya keliling-keliling Kota Washington. Para pengamat mobil Amerika tampaknya sepakat menyebut Mercy 230 E itu terbaik di antara mobil-mobil hidrogen yang pernah dibikin. Bukan soal aksesori atau suspensinya, lebih dari itu mobil Jerman ini dinilai mampu memenuhi keinginan konsumen, dengan tangki yang efisien, aman, dan berdaya jelajah tinggi. Tangki Mercedes yang satu ini hanya berisi 47 liter, dan bisa menjamin mobil bisa menjelajah sampai jarak 320 km. Eloknya, hidrogen cair di situ tak harus diperam di bawah suhu -250 C, sebagaimana mobil hidrogen terdahulu. Daimler-Benz, produser mobil Mercedes, telah berhasil membuat hidrogen "mencair" pada suhu kamar. Kendala yang mengganjal mobil hidrogen tempo hari memang bertumpu pada soal mengemas bahan bakar itu. Dulu, kalau hidrogen disimpan dalam bentuk gas, diperlukan tempat 14 kali lipat. Namun, jika harus dicairkan, dibutuhkan mesin pendingin yang mahal. Daimler-Benz berhasil menembus kesulitan itu. Untuk "mencairkan" hidrogen, Daimler-Benz membuatnya dalam bentuk hidrida. Daimler menggandengkannya dengan logam-logam khusus semacam titanium, zirconium, chrom, vanadium, dan mangaan untuk menjadi hidrida. Menjelang pembakaran hidrida cair itu dipanaskan, hidrogen lepas, lalu digiring ke ruang mesin. Setelah Daimler-Benz, tampaknya BMW (Bayerische Motoren Werke) bakal menjadi produsen kedua yang meluncurkan mobil hidrogen versi mutakhir. Daimler-Benz dan BMW memang bahu-membahu dalam riset pemanfaatan hidrogen itu, dengan melibatkan banyak lembaga penelitian yang ada di Jerman Barat. Kedua produsen mobil Jerman itu tak cuma unggul dalam hal "pencairan" hidrogennya. Tangki hidrogen cair yang dipasang dekat ruang bagasi, dan jaringan perpipaannya, dinilai sangat kuat, rapat, dan nyaris tanpa celah. Tingkat kehilangan bahan bakar akibat penguapan, konon, bisa ditekan sampai di bawah 5%. Padahal, mobil sejenis buatan Jepang, Amerika, atau negara Eropa Barat lainnya masih rawan dalam soal kecolongan bahan bakar. Berbagai laporan riset, seperti dikutip oleh koran The New York Times bulan lalu, menyebut bahwa tingkat kehilangan itu masih mencapai 20%, bahkan kadang sampai 30%, betapapun mereka telah membuat tangki serapat mungkin. Keandalan tangki hidrogen Mercedes dan BMW itu tak lepas dari sumbangan pikiran para ahli dari Messer Griesheim Co. dan lembaga riset angkasa luar Jerman Barat (DFVLR). Lewat riset panjang, mereka berhasil membuat prototipe tangki silinder yang terbuat dari lapisan aluminium foil dan serat kaca. Pada tes skala lab, tangki itu hanya kehilangan 1% hidrogen sehari. Di Jerman, riset membuat mobil hidrogen ini telah dimulai pada 1930-an. Namun, bencana meledaknya balon kemudi (Zeppelin) Hindenburg yang diisi gas hidrogen, pada 1937, membuat para produsen mobil berpikir dua kali untuk membuat mobil hidrogen. Bertahun-tahun riset itu terbengkalai, dan kebangkitannya baru dimulai pada 1970-an, dipicu oleh kenyataan bahwa suatu saat BBM akan terkuras habis. Selain itu, disadari pula pembakaran BBM mengakibatkan polusi, menimbulkan "efek rumah kaca" yang membuat suhu bumi makin panas. Maka, orang pun mulai berlomba mencari bahan bakar alternatif. Hidrogen merupakan bahan bakar yang banyak dilirik orang. Sebab, bahan bakar ini, "bisa tersedia dalam jumlah besar dan tak membuat polusi," ujar Dr. Karl Nikolaus Regar, direktur di Lembaga Teknologi Baru BMW. Hidrogen bisa diperoleh secara mudah, dengan proses hidrolisa. Lebih dari itu, hasil pembakarannya pun hanya berupa uap air, tak berbahaya. Namun, sejauh ini, baik BMW maupun Daimler Benz belum berniat memproduksi mobil hidrogen itu dalam jumlah besar. Sebagai bahan bakar, hidrogen dianggap masih terlalu mahal dibandin BBM. Kebutuhan listrik untuk hidrolisa masih lebih besar dibanding energi hidrogen yang dipanen. "Bicara soal mobil hidrogen adalah bicara soal teknologi 30 tahun mendatang," kata Nikolaus Regar. Namun, ada kecenderungan, seperti diulas dalam majalah The Economist dua pekan silam, hidrogen akan dihasilkan secara murah sejalan dengan kemajuan teknologi solar cell, yang mengubah sinar matahari menjadi listrik. Solar cell alias sel fotovoltaik bakal memberikan efisiensi yang tinggi, sehingga cukup ekonomis untuk digunakan untuk menghidrolisa air menjadi hidrogen. Barangkali terlalu optimistis, tapi ahli-ahli energi Amerika meramalkan bahwa kelak hidrogen produk solar cell ini bisa dijual dengan harga 50 sen dolar seliter, dua kali lipat harga bensin di Amerika sekarang. Toh harga ini masih lebih murah dibanding bahan bakar alkohol yang diperoleh dari tebu atau singkong. Dengan asumsi bahwa konsumsi bahan bakar masih setingkat dengan 1989 ini, setiap warga Amerika bakal memerlukan bahan bakar alkohol yang setara dengan singkong atau tebu yang dipanen dari tanah seluas 17 m2 per hari, pada tahun 2000-an nanti. Namun, jika bahan bakar hidrogen yang dikonsumsi, kebutuhan itu bisa dicukupi dari solar cell yang menutup tanah seluas 1,5 m2. PTH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini