Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Natsushima Malacak Parit Sunda

Kapal Natsushima mengadakan ekspedisi meneliti parit sunda. Melibatkan 12 peneliti Jepang & 9 peneliti indonesia. Untuk mendeteksi kondisi tanah seperti sumber gempa dan sumber mineral.

22 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"PENELITIAN kondisi tanah dasar laut sangat penting artinya bagi kita," ujar Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie. "Selain untuk mengetahui mekanisme gempa bumi, letusan gunung berapi, juga pembentukan mineral yang terkandung di dasar laut." Hal itu dikemukakan Habibie, dua pekan lalu, ketika mengunjungi kapal Natsushima, yang merupakan laboratorium lengkap untuk penelitian kelautan. Kapal Natsushima berada di Indonesia, terhitung sampai 7 Februari sudah sebulan. Dalam jangka waktu itu, di bawah pimpinan Dr. Honza, kapal Natsushima mengadakan ekspedisi meneliti Parit Sunda, palung laut yang terletak di Samudra Hindia. Dalam penelitian itu terlibat 21 peneliti -- 12 orang berkebangsaan Jepang, dan 9 ahli lainnya dari Indonesia. Bagi kapal Natsushima sendiri, ekspedisi kali ini tampaknya merupakan usaha melengkapi sebuah penelitian panjang yang dilakukan Jamstec (Japan Marine Science and Technology), yang mengamati batas antara dataran laut Asia dan dataran laut Australia. Batas itu, yang di beberapa bagian merupakan parit laut, kebetulan melalui Samudra Hindia, termasuk Parit Sunda. Daerah penelitian Natsushima yang lain: Kepulauan Fiji dan bagian timur PNG. Prof. M.T. Zen, Deputi Ketua BPPT, bidang pengembangan kekayaan alam, mempertegas keterangan Habibie dengan mengemukakan, ekspedisi Natsushima yang sangat penting artinya bagi Indonesia adalah pelacakan sumber-sumber mineral di dasar laut. "Kalau ada tanda-tanda minyak atau mineral lainnya, tentu harus diadakan eksplorasi," ujar M.T. Zen, guru besar ITB itu. Di samping itu, Zen menjelaskan, data perbatasan daratan laut Asia dan dataran laut Australia juga perlu bagi Indonesia. "Berbagai tempat di Pulau Jawa sering kali dianu gempa," katanya, "Karena itu, Indonesia juga harus memiliki program mendeteksi bencana kebumian." Ekspedisi Natsushima adalah salah satu kemungkinan menjalankan program itu. Sesuatu yang sulit dijalankan Indonesia tanpa kerja sama dengan pihak asing, lantaran mahalnya ekspedisi dan canggihnya teknologi yang diperlukan. Mengenai perbatasan dua dataran laut, Zen menjelaskan, hingga kini sejumlah teori menyatakan bahwa kedua dataran itu tumpang tindih. Dataran laut Australia yang terletak di bagian selatan menusuk daratan Asia, hingga dataran yang ditusuk terangkat ke atas. Selain menusuk, dataran laut Australia secara tetap juga bergerak ke utara. Desakan itu menimbulkan distorsi di daerah-daerah perbatasan (pertemuan dua dataran laut itu). "Bagian-bagian ini disebut geodinamik, dan sangat peka gempa," ujar Zen. "Lebih lanjut kita ingin tahu detail keadaan dasar laut itu," tambah Zen. Agar bisa mengetahui dengan tepat sumber gempa, dan memperkirakan gelombang pasang yang memukul pantai, sebagai akibatnya. Untuk itu, tentu saja, diperlukan data mengenai besar gerakan mendesak dari dataran laut Australia, sifat gerakan itu, dan bentuk-bentuk palung laut yang terjadi akibat gerakan tersebut di daerah pertemuannya. "Dan, kita bisa mendapat konfigurasi geologinya dari situ," kata Zen. Data itulah yang diberikan ekspedisi Natsushima. Menurut Zen, kapal Natsushima, selain merupakan sebuah laboratorium apun yang besar dan lengkap, juga tangguh, hingga bisa mengatasi keadaan Samudra Hindia yang dikenal memiliki gelombang ganas. Pemilihan kawasan samudra ini, khususnya Parit Sunda, sebagai daerah penelitian adalah atas pilihan Indonesia, dan ditentukan dalam perjanjian tahun 1981. Alasannya? "Pulau Jawa merupakan pusat kegiatan kita, baik secara ekonomis maupun politis," kata Zen. Kecanggihan kapal Natsushima diakui pula oleh Basri M. Ganie, ilmuwan yang memimpin 9 peneliti Indonesia. Ia mengutarakan penelitian yang dilakukan kapal Natsushima untuk mendeteksi kondisi tanah dalam mencari sumber gempa maupun sumber mineral meliputi lima pokok penelitian. Pertama, survei seismik dengan cara melemparkan peralatan pendeteksi getaran di permukaan laut, dan pada kedalaman beberapa puluh meter. Kedua, deep tow sonar, meneliti permukaan laut dengan mengirim kamera televisi sampai kedalaman 100 meter. Ketiga, mengirim seismometer yang bekerja dengan sistem akustik dan meletakkannya di dasar laut (sekitar 3.000 meter). Keempat, mengukur panas dasar laut. Dan, yang terakhir, mengumpulkan contoh-contoh tanah di dasar laut. Seluruh data, menurut Ganie, sudah dikumpulkan dan kini sedang diolah dan dianalisa di Jepang. Dan, tugas kapal Natsushima, yang memiliki panjang 67 meter dan berbobot mati 1.553 ton, mempunyai kemampuan menjelajah dengan kecepatan 12 knot, untuk sementara selesai. Jim Supangkat Laporan Gatot Triyanto dan Ahmed Soeriwidjaja (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus