JIKA harus menyebut suatu kelompok cerdik pandai yang paling terpandang di dunia, agaknya tak bakal jauh dari nama Max Plank Institute. Lembaga ini memang boleh dibilang gudangnya ilmuwan top, yang berkarya lewat 62 pangkalan riset di berbagai penjuru Jerman Barat. Prestasinya sungguh meyakinkan. Mereka tercatat sebagai kelompok yang berlangganan hadiah Nobel. Max Plank Institute (MPI) kini kian memantapkan posisinya sebagai lembaga riset terdepan. Dua orang peneliti MPI, pekan lalu, kembali menggaet Nobel, mengikuti jejak pendahulunya, di antaranya "Imam" fisika Albert Einstein dan Max Plank. Dengan demikian, hingga tahun ini, ada 26 peneliti MPS yang tercatat sebagai penerima Nobel. Penghargaan dari Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia, untuh bidang kimia itu, kali ini diterima oleh Robert Hubert, 51 tahun, dan Hartmut Michel, 40 tahun. teduanya ahli kimia pada lembaga riset yang didirikan oleh fisikawan Max Plank, 77 tahun silam. Mereka bekerja pada laboratorium yang berlainan. Huber di Martinsried, darl Michel di Frankfurt. Selain Huber dan Michel, penghargaan Nobel untuk bidang kimia tahun ini diberikan kepada Johann Deisenhover, 45 tahun, yang menerima rezeki US$ 130 ribu itu Deisenhover sendiri sebetulnya juga "purnawirawan" MPI. Baru Maret lalu, Deisenhover meninggalkan lab Max Plank, dan hijrah ke Howard Hughes Medical Institute yang bernaung di bawah Universitas Texas, Amerika. Kepindahan Deisenhover bisa jadi karena Amerika dianggap bisa memberikan peluang lebih besar untuk kariernya. Maklum, di MPI banyak saingan. Soalnya, Institut Max Plank itu mempekerjakan sekitar 13.000 orang, 5.000 orang di antaranya berkebangsaan Jerman. Pemerintah Jerman tampak serius memelihara lembaga ilmiah yang independen itu. Tahun ini, pemerintah pusat dan 10 pemerintah federal patungan memasok dana sekitar Rp 1,1 trilyun, untuk MPI yang bergerak dalam riset di segala cabang ilmu itu. Alokasinya: 34% untuk riset fisika, 24% biologi, 10%, kedokteran. dan selebihnya untuk cabang-cabang disiplin ilmu lainnya. Huber, Michel, dan Deisenhover berhasil meraih Nobel berkat riset mereka tentang fotosintesa, sebuah soal yang sesungguhnya telah puluhan tahun diteliti oleh banyak ahli. Hanya saja, mereka memang berhasil mengungkapkan sesuatu yang baru: sosok pigmen yang berperan dalam reaksi biokimia itu. Adanya pigmen -- berbentuk gumpalan protein yang mampu mengubah cahaya menjadi menjadi energi kimia -- juga telah lama diketahui. Cuma, bagaimana sosok pigmen itu selama ini masih samal dmar Citra yang diperoleh lewat mikroskop elektron pun tidak dapat menunjukkan secara gamblang ceruk lekung rantai protein makro itu. Ketiga pemenang Nobel itu juga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mengungkapkan sosok protein yang sering disebut klorofil, alias zat hijau daun tadi. Teknik yang mereka kembangkan relatif sama. Namun, Michel beruntung bisa mencatat sukses yang pertama, enam tahun lalu. Dia berhasil membuat pigmen -- yang diambilnya dari selaput yang mengelilingi kloroplas dan mitokondria sel -- itu menjadi kristal. Dalam bentuk kristal, pigmen itu lebih mudah diungkap struktur molekulnya termasuk, misalnya, jumlah dan posisi gugus aminonya. Kendati belum tuntas benar metode analisa yang mereka kembangkan diakui bakal membuka babakan baru. Penemuan itu membuka peluang bagi terungkapnya pola konversi energi cahaya menjadi energi kimia. Lantas, klorofil kelak bakal menjadi barang seperti plastik saja: bisa dibikin di pabrik. Fotosintesa buatan selama ini dipandang nyaris mustahil, dan ahli kimia MPI itu dinilai telah membuatnya menjadi mungkin. Ketergantungan manusia terhadap karbohidrat hasil fotosintesa -- oleh tumbuhan, ganggang, atau bakteri berklorofil -- mulai terkikis. "Mereka telah membuat langkah awal untuk menghadapi keterbatasan sumber pangan alamiah," ujar Bo Malmstom, ahli biokimia Swedia yang menjadi ketua tim Nobel bidang kimia. Tahun ini penghargaan Nobel di bidang fisika, jatuh ke tiga cendekiawan Amerika. Leon M. Lederman, 66 tahun, Melvin Schwartz, 56 tahun, dan Jack Steinberger, 67 tahun. Penghargaan nan bergengsi jatuh ke pangkuan ketiganya, berkat keberhasilan mereka menemukan neutrino sebuah partikel subatom yang terpancar dari permukaan matahari. Prestasi besar itu sesungguhnya telah dicapai 28 tahun silam. Ketika itu, Lederman, Schwart, dan Steinberger mengajar di Universitas Colombia. Mereka berhasil membuktikan keberadaan neutrino ini, untuk kali pertama, berkat tersedianya fasilitas di Lab Akselerator Brookhaven, di kawasan Long Island. Di situlah Neutrino buatan dipelajari sifat dan perangainya. Neutrino, oleh Lederman dkk. digambarkan sebagai partikel kecil, tak bermuatan listrik, dan diduga tak punya massa. Tapi dia memiliki daya tembus yang luar biasa. Media apa pun -- cair, padat, atau gas -- dapat ditembusnya, tanpa harus mengalami pembelokan arah. Dan kecepatan rambatannya pada berbagai media itu sangat tinggi, hampir menyamai kecepatan cahaya. Secara alamiah partikel neutrino itu, menurut Lederman, terbentuk sebagai hasil ikutan dari reaksi pembelahan atom, yang terjadi di perut matahari. Keruan saja sehari-hari, tak terhitung banyaknya netrino yang datang menembus planet bumi. Setiap detik, bermilyar partikel itu menghunjam pada setiap meter persegi permukaan bumi. Manusia, tentu, termasuk obyek yang ditembus partikel itu. Tapi, lantaran, tak bermuatan listrik, dan besar kemungkinan tak bermassa, tumbukan itu tidak mendatangkan akibat buruk. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini