BENDA "ajaib" superkonduktor rupanya masih terus membuat orang. terheran-heran. Sebuah keanehan kembali diperlihatkannya: dia bisa menggantung tanpa tali di bawah batang logam bermagnet. Seak laporan ilmiah tentang perangai uniknya itu dilansir pertengahan Juni lalu, superkonduktor kembali menjadi bahan perbincangan ramai di kalangan fisikawan Amerika. Lihatlah bagaimana Dr. Palmer N. Peters ahli fisika NASA, memamerkan keanehan benda superkonduktor itu. Sebuah lempengan keramik dibenamkan pada cawan berisi helium cair. Pada temperatur di bawah minus 200 derajat Celsius, keramik dari campuran bahan mineral yttrium, barium, dan oksida tembaga -- berubah menjadi penghantar listrik bebas hambatan. Dengan hati-hati, Peters mencelupkan sebatang besi magnet ke dalam cawan yang berisi helium tadi. Ujung magnet didekatkan pada lempengan keramik, lantas diangkatnya perlahanlahan. Apa yang terjadi? Ternyata, keramik superkonduktor itu ikut terangkat mengikuti gerakan besi magnet. Pengaruh medan magnet itu rupanya tak terbatas di saat keramik ini berada dalam helium cair. Untuk beberapa lama, keramik itu masih tetap "bergantung" di bawah ujung besi magnet, sampai beberapa senti di atas permukaan helium, sebelum jatuh kembali ke dalam cawan. Keramik tadi mengalami perubahan temperatur selama di udara. Suhu udara jauh lebih tinggi, sehingga terjadi aliran panas ke arah keramik. Dalam beberapa saat, benda keramik itu meningkat suhunya, dan itu membuat dia kehilangan sifatnya sebagai superkonduktor. Akibatnya, tarikan magnet itu mengendur dan dia jatuh kembali ke cawan. Gejala baru itu diungkapkan oleh sekelompok peneliti fisika pimpinan Dr. Palmer N. Peters, awal tahun ini, di Laboratorium Fisika Antariksa NASA, di Huntville, Alabama, Amerika. Para peneliti tadi menyebut gejala baru ini sebagai "efek suspensi". Ketika gejala unik itu mulai tersebar, banyak fisikawan yang tak percaya, atau menerimanya dengan ragu-ragu. Jauh hari sebelumnya, superkonduktor diketahui bisa memperlihatkan gejala unik yang disebut "efek levitasi". Seperti halnya pada gejala suspensi, efek levitasi itu juga muncul berkat pengaruh medan magnet. Boleh dikatakan, gejala levitasi itu merupakan kebalikan dari efek suspensi. Gejala levitasi itu terlihat di saat besi magnet didekatkan secara perlahan ke pada ujung batang superkonduktor, dari atas ke bawah. Pada jarak tertentu, superkonduktor boleh dilepas dari penjepitnya. Apa yang terjadi? Besi magnet itu akan mengambang di udara, jatuh ke bawah tidak, terpental ke atas pun tak mau. Gejala aneh itu hingga kini belum dapat dijelaskan secara tuntas hubungan sebab akibatnya. Namun, efek levitasi itu sudah dipraktekkan secara luas. Kereta api cepat MLU-001, di Jepang, yang bisa melaju di atas 450 km/per jam, telah mengadopsi teknologi itu. Roda kereta yang bermedan magnet melayang di atas rel yang dipasangi superkonduktor. Sama halnya dengan gejala levitasi, dasar teori pada efek suspensi ini pun masih ramai diperdebatkan. Secara sederhana, kelompok Palmer N. Peters mengulas, bergantungnya superkonduktor, tanpa tali, di bawah ujung logam magnet itu berhubungan dengan terjadinya induksi magnetik. Dalam perkara ini, medan magnet juga tumbuh dalam diri superkonduktor. Tapi penjelasan itu belum memuaskan banyak fisikawan lain. Bila gejala suspensi itu hanya timbul lantaran interaksi dua benda bermagnet, mengapa efek itu tak muncul jika logam magnet didekatkan pada magnet permanen yang lain? Dalam berbagai percobaan, jika dua magnet itu didekatkan, hanya ada dua kemungkinan, saling merekat, atau saling menolak. Secara teoretis, menurut Peters, gejala suspensi itu bisa saja timbul pada dua batang magnet permanen. Hanya saja posisi magnet yang hendak digantungkan pada magnet lain mesti persis betul. Keduanya harus dari kutub yang berbeda, satu plus yang lain minus. Lantas, kekuatan kedua magnet itu mesti pas benar, agar diperoleh interaksi yang sempurna. Bila syarat itu terpenuhi, niscaya akan tercapai keseimbangan antara gaya tarik di antara keduanya dan gaya gravitasi. Namun, posisi seperti yang dikehendaki itu, menurut kelompok Peters, sulit dicapai. Pasalnya, keseimbangan tadi sangat peka. Celakanya, dengan robot sekalipun, posisi yang pas itu sulit tercapai. Ganjalan itu tak terjadi pada hubungan magnet dan superkonduktor. Bila batang magnet didekatkan, kata kubu Peters, superkonduktor kontan akan terinduksi, sehingga punya kekuatan magnet dengan kutub yang sama. Jadi, kalau yang didekatkan adalah kutub positif, maka hasil induksinya pun medan positif. Namun, bila gerak batang magnet itu tiba-tiba menjauh, kontan akan terjadi perubahan pada gaya magnet superkonduktor tadi: dari positif ke negatif, atau sebaliknya. Keunikan inilah yang memungkinkan superkonduktor menggantung tanpa tali pada ujung batang magnet. Yang aneh, bila superkonduktor itu bergerak mendekat -- lantaran gaya tarik keduanya lebih besar ketimbang gravitasi -- medan magnetnya akan mengecil sehingga dia tak terangkat dan menempel. Sebaliknya, bila dia bergerak menjauh, medan magnetnya menguat, sehingga dia akan terangkat. Keseimbangan jarak akan tercapai dengan sendirinya. Penjelasan itu memang masih ditolak sana-sini. Namun, efek suspensi itu mendatangkan optimisme besar, tentang kemungkinan pemakaian superkonduktor secara lebih luas dan praktis. Untuk peralatan bedah, umpamanya. Dengan memanfaatkan efek suspensi itu, kelak, bisa dibuat alat operasi otak yang bisa digunakan tanpa harus melakukan pembedahan tulang kepala. Alat itu bisa disusupkan ke ruang otak lewat lubang kecil. Di situ, superkonduktor berlaku seperti sensor yang mengikuti gerakan magnet yang berada di luar batok kepala. Alat serupa juga bisa dipakai untuk operasi penyumbatan pembuluh darah. PTH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini