Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara
Eka Kurniawan :

Berita Tempo Plus

Belum Ada yang Bisa Menggantikan Pram dan Chairil

14 Maret 2016 | 00.00 WIB

Belum Ada yang Bisa Menggantikan Pram dan Chairil
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

EKA Kurniawan adalah darah segar dalam dunia literasi di Tanah Air. Pria 41 tahun ini baru saja diumumkan sebagai salah satu dari 13 nomine penghargaan literatur bergengsi Man Booker International Prize 2016 pada Kamis pekan lalu. Menjadi orang Indonesia pertama yang masuk nominasi mengkonfirmasi nama Eka yang mulai diperhatikan serius kalangan sastra internasional setahun belakangan ini.

Man Booker International adalah penghargaan prestisius terhadap karya sastra berbahasa Inggris. Sebelum 2016, penghargaan bernama The Man Booker Prize ini diberikan kepada sastrawan yang dianggap memberi kontribusi pada dunia literasi dan diadakan setiap dua tahun. Mulai tahun ini, penghargaan akan dilaksanakan setiap tahun. Nama Eka pun berjajar dalam nominasi bersama penulis ternama lain, seperti Han Kang (Korea Selatan), Yan Lianke (Cina), Kenzaburo Oe (Jepang), Marie NDiaye (Prancis), Elena Ferrante (Italia), dan Orhan Pamuk (Turki). Pemenang akan diumumkan pada 14 April mendatang.

Di jagat prosa, Man Booker disebut-sebut berada hanya setingkat di bawah Hadiah Nobel sastra. Penghargaan yang diinisiasi oleh Booker Prize Foundation ini pernah disabet oleh Ismail Kadare (Albania), Chinua Achebe (Nigeria), Alice Munro (Kanada), Philip Roth (Amerika), Lydia Davis (Amerika), dan Laszlo Krasznahorkai (Hungaria).

Novel Eka yang dinominasikan di Man Booker International 2016 adalah Lelaki Harimau atau Man Tiger. Sejatinya novel dalam bahasa Indonesianya itu sudah terbit pada 2004, tapi baru diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 2015. "Aku tidak pernah terpikir untuk menerjemahkan karyaku," kata ayah satu anak ini.

Adalah Benedict Anderson (almarhum), guru besar Universitas Cornell, Amerika, yang mendesak Eka untuk menerjemahkan novelnya. Ben bahkan mengutus penulis yang juga wartawan, Tariq Ali, untuk "meneror" Eka agar menerjemahkan karyanya itu. Kini Lelaki Harimau sudah diterjemahkan ke lima bahasa dan Cantik Itu Luka ke 24 bahasa.

Wartawan Tempo Iwan Kurniawan, Tito Sianipar, dan Moyang Kasih bersama fotografer Dhemas Reviyanto mewawancarai Eka di lobi Javaro Cafe di kawasan Palmerah, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. Selama kurang-lebih satu setengah jam ditemani kopi dan camilan roti bakar, Eka menceritakan kisah di balik melajunya Man Tiger ke dunia internasional hingga proses kreatifnya dalam berkarya.

* * * *

Anda masuk nominasi Man Booker International Prize 2016. Apa reaksi pertama saat mendengar kabar ini?

Aku juga baru mendapat kabar. Aku dikasih tahu pertama kali oleh teman, Ronny Agustinus, dari (penerbit) Margin Kiri. Sewaktu lagi antar anak sekolah tadi pagi, dikirimi pesan pendek, ha-ha-ha....

Bagaimana ceritanya Man Tiger bisa masuk nominasi Man Booker Prize?

Terus terang aku tidak tahu. Memang Man Booker Prize membuat sistem yang baru tahun ini. Sebelumnya, penghargaan ini untuk body of works, tidak spesifik buku tertentu. Seperti Nobel Prize, penghargaannya diserahkan kepada orang. Mulai tahun ini, Booker Prize mengakuisisi Independent Foreign Fiction Prize dari koran The Independent Inggris. Penghargaannya diberikan spesifik pada buku.

Lelaki Harimau banyak berbicara tentang ambiguitas moralitas. Benarkah itu yang hendak Anda sampaikan?

Ha-ha-ha.... Mungkin saja. Tapi sebenarnya novel ini terinspirasi dari suatu peristiwa kecil di masa laluku. Sewaktu kuliah dulu, saat aku pulang ke Pangandaran, ada kasus pembunuhan. Aku terpikir untuk menulis peristiwa tersebut dengan gaya jurnalisme sastrawi. Tapi, setelah dijalankan, ternyata malas juga mengejar detail-detail dan orangnya. Aku tidak punya daya tahan jadi wartawan, ha-ha-ha....

Lalu digabung dengan peristiwa lain yang terjadi di kamar kos-kosan saat di Yogyakarta. Sewaktu aku lagi duduk di depan kos, tiba-tiba terdengar suara gedebuk dari kamar teman sesama orang Tasikmalaya. Aku datangi dan tanya ada apa. Dia keluar sambil mengaduh dan bilang, "Gila, pamanku kirim harimau. Aku tersandung." Ha-ha-ha.... Akhirnya kami bercerita tentang bagaimana orang-orang di kampung kami banyak yang masih percaya tentang harimau putih yang bisa dikirim jika ada marabahaya. Itu kemudian menjadi dasar draf tulisan dan digabung dengan bahan sebelumnya.

Draf yang terbengkalai itu aku gabungkan dengan mitologi manusia harimau. Sewaktu kecil juga aku tergila-gila pada seri Manusia Harimau karya S.B. Chandra dan Tujuh Manusia Harimau karya Motinggo Busye.

Benarkah Ben Anderson yang mendesak Anda menerjemahkan Lelaki Harimau?

Semua memang gara-gara Ben Anderson. Awalnya pada 2008. Ben ke Indonesia dan bilang mau ketemu aku. Saat itu dia mengatakan bahwa buku itu harus bisa dibaca dalam bahasa Inggris. Aku cuma mengiyakan, tapi enggak ngapa-ngapain. Aku juga tidak mengerti mesti apa, tidak tahu penerjemah, dan tidak tahu penerbit luar. Obrolan dengan Ben itu cuma lewat begitu saja. Tapi setelahnya dia datang ke Indonesia setiap tahun dan kami selalu bertemu. Setiap bertemu, dia mengulang hal yang sama. "Bagaimana, sudah kamu cari penerjemah belum?" Aku bilang belum.

Bagaimana akhirnya desakan Ben itu terwujud?

Akhirnya pada 2011, teman Ben, Tariq Ali, datang ke Indonesia. Tariq sebenarnya datang untuk Ubud Writers Festival di Bali, tapi dia datang ke Jakarta dan pagi-pagi telepon minta bertemu. Samar-samar aku tahu nama Tariq Ali. Dia penulis novel, aktivis, redaktur juga. Lalu kami bertemu di hotelnya di Kemang dan ngobrol sambil makan siang. Tariq bilang dia disuruh Ben untuk ketemu aku. Dia juga membujuk aku menerbitkan buku dalam bahasa Inggris.

Sebelumnya pernah kontak dengan Tariq Ali?

Belum pernah. Dia juga sebenarnya belum baca karyaku dan tidak mengerti bahasa Indonesia. Pokoknya dia percaya sama Ben yang bilang karyaku bagus. Tariq menyuruh aku mencari penerjemah dan penerbit. Nah, bedanya dengan Ben, Tariq ini aktivis, hampir tiap bulan dia bertanya lewat e-mail. Aku agak terteror juga, ha-ha-ha.... Aku kemudian bikin list penerjemah dan bilang kepada mereka sudah ada penerbit Verso yang mau menerbitkan. Kami putuskan pertama kali menerjemahkan buku Lelaki Harimau karena yang paling tipis dan sesuai dengan bujet. Penerjemah kemudian kami minta bikin sampel terjemahan satu-dua halaman. Hasilnya aku kirim kepada Ben untuk dia seleksi mana yang paling enak. Ben suka terjemahan Dalih (Labodalih Sembiring). Aku juga pernah bekerja dengan Dalih. Kami akhirnya memilih dia.

Kapan persahabatan dengan Ben dimulai?

Tahun 2008 itu. Yang bikin janji sampai bisa ketemu itu adalah Ben Abel, anggota staf di Modern Indonesia Project Cornell University. Dia bilang, "Profesor minta ketemu." Akhirnya datang dan ketemu. Soalnya, pasca-1999, dia sering datang ke Indonesia dan mampir di Yogyakarta. Dia kenal dengan mahasiswa-mahasiswa dan nanya penulis Indonesia yang bagus siapa. Anak-anak itu kemudian kasih buku aku dan dibawa pulang sama dia; Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau, dan Corat-coret di Toilet. Waktu itu dia belum baca yang Pramoedya. (Yang dimaksud Eka adalah buku berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis yang diambil dari skripsinya dan terbit pada 1999.)

Berapa lama proses menerjemahkan Lelaki Harimau ke bahasa Inggris?

Awalnya kami pasang target enam bulan. Bukunya tipis dan cuma lima bab. Satu bab bisa satu bulan. Ternyata molor hampir satu setengah tahun. Cukup berat juga menerjemahkan itu. Setiap kali selesai menerjemahkan satu bab, aku kirim ke Ben. Dia kemudian memberi koreksi.

Seperti apa masukan dari Ben?

Menurut Ben, karena ini akan diterbitkan di Inggris, dia minta tone-nya agak British. Tapi belakangan balik lagi ke American. Proses yang sangat ribet dan panjang. Ben memberi banyak masukan kritis karena dia juga paham bahasa Indonesia. Dia banyak membantu di belakang layar.

Bisa dibilang Ben adalah editor buku ini?

Dia tidak mau diberi titel sebagai editor. Tapi aku memaksa agar nama Ben masuk buku ini. Akhirnya aku masukkan ke ucapan terima kasih di belakang buku dan Ben bersedia.

Apakah pernah bekerja sama dengan Ben sebelumnya dalam hal menerjemahkan buku?

Sebelumnya dia pernah menerjemahkan dua cerpenku. Ben juga bilang, kalau saja dia masih muda, dia sendiri yang akan menerjemahkan novelku. Sayang, dia sudah tidak sanggup.

Kontribusi lain Ben dalam penerjemahan Man Tiger seperti apa?

Ben yang mengingatkan aku bahwa harimau di dalam bukuku adalah perempuan. Dalam bahasa Inggris, bisa tiger atau tigress. Ben menyarankan agar keduanya dikombinasikan supaya tidak monoton sekaligus mengingatkan bahwa harimau di situ sifatnya feminin. Termasuk pemilihan judul, Ben berperan besar. Aku dan Ben sama-sama tidak sepakat Lelaki Harimau diterjemahkan jadi Tiger Man, enggak enak banget. Ben yang mengusulkan Man Tiger dan dia meyakinkan bahwa, walau aneh, itu masih bisa diterima.

Sebelum novel Anda diterjemahkan ke bahasa Inggris, pada 2006 Cantik Itu Luka sudah diterjemahkan ke bahasa Jepang oleh Ribeka Ota. Bagaimana reaksi untuk buku terjemahan pertama itu?

Aku tidak tahu banyak karena tidak mengerti bahasa Jepang. Pada 2006, aku diundang ke Jepang. Berbeda dengan bahasa Inggris, pembaca Jepang sudah sangat terbiasa dengan karya sendiri sehingga agak susah menembus mereka. Aku tidak tahu bagaimana review di sana, yang penting jalan saja. Sepertinya hanya orang-orang yang tertarik pada Indonesia yang baca.

Bisa dibilang terjemahan Jepang gagal?

Tidak juga. Di Jepang dicetak 10 ribu eksemplar untuk dua volume. Tidak dicetak ulang, tapi itu jauh di atas angka dalam negeri.

Mengapa awalnya Anda tidak terpikir menerjemahkan karya ke bahasa asing?

Iklim kesusastraan Indonesia membuat kebanyakan penulis tidak memikirkan itu. Hampir tidak ada saluran. Walaupun kami ingin, apa yang bisa dilakukan? Pertama, menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa lain bukan sesuatu yang biasa. Tidak gampang mencari penerjemah karena industrinya hampir tidak ada. Penerjemah hanya ada segelintir. Karya-karya Pramoedya saja, misalnya, diterjemahkan oleh Max Lane, yang sebenarnya bukan penerjemah, melainkan seorang diplomat. Di titik mencari penerjemah saja sudah kesusahan.

Belum lagi urusan funding. Negara-negara lain punya translation fund. Bahkan negara kecil seperti Hungaria saja punya. Beberapa tahun lalu aku pernah ditawari Duta Besar Hungaria untuk tinggal di sana dan menerjemahkan karya Hungaria dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Mereka punya dana untuk menerjemahkan bahkan ke bahasa Indonesia, yang sebenarnya bukan bahasa global. Itulah kenapa penulis Indonesia, walaupun ingin, tidak bisa menerjemahkan karyanya karena tidak ada alat. Tidak ada penerjemah yang baik, tidak ada negara ataupun swasta yang mendukung. Kemudian, sekalipun dua kendala itu teratasi, kita tidak punya akses terhadap penerbit-penerbit di luar. Sebanyak 80 persen karya sastra Indonesia yang diterjemahkan akhirnya diterbitkan oleh penerbit dalam negeri. Tentu saja tidak bisa diakses oleh pembaca luar.

Menurut Anda, seharusnya pemerintah yang menyediakan translation fund itu?

Tahun lalu, pas Frankfurt Book Fair, pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bikin translation fund itu. Ngomongnya waktu itu sih akan dilanjutkan. Tapi sampai sekarang aku belum dengar lagi. Kita lihat saja. Seharusnya Kementerian Pendidikan lebih progresif dalam hal ini.

Anda pernah meneliti tentang Pramoedya Ananta Toer untuk skripsi. Apakah Pram panutan Anda dalam menulis?

Tentu saja. Aku banyak baca karya-karyanya. Penulis yang aku kagumi. Pasti banyak berpengaruh, tidak hanya soal tulisan, tapi juga cara berpikir.

Seberapa jauh Pramoedya Ananta Toer mempengaruhi karya Anda?

Dalam hal gaya tulisan, tidak terlalu berpengaruh. Pengaruh Pram paling besar pada aku adalah spiritnya. Banyak aspek terkait dengan spiritnya dalam menulis yang aku adopsi. Meskipun dalam cara pandang tentu berbeda. Generasi yang berbeda membuat cara pandang itu berbeda. Pram lahir pada 1925, cara pandang dia terhadap sejarah sangat modern dan positif. Sedangkan generasi kita lebih seperti, "Sejarah mana nih yang benar?"

Bagaimana pendapat Anda tentang dunia sastra Indonesia sekarang?

Ada satu hal yang sangat menggangguku. Secara pribadi, aku merasa sampai sekarang novelis terbaik masih Pramoedya Ananta Toer dan penyair terbaik masih Chairil Anwar. Ini mengganggu karena sudah berlalu 70 tahun dari generasi mereka tapi tidak ada pengganti.

Menurut Anda, apa yang menghalangi munculnya penerus Pram dan Chairil Anwar?

Salah satu faktornya adalah dedikasi. Pram hingga usia 60-an tahun masih terus menulis. Tidak banyak yang bisa mempertahankan dedikasi sepanjang itu. Problem lain adalah sastra mainstream kita tidak mengakomodasi banyak genre. Di arus utama, misalnya, kita tidak membicarakan Kho Ping Hoo secara kritis. Itu hanya dibaca tanpa ditelaah sebagai sastra. Kalau di luar, penulis seperti Edgar Allan Poe punya tempat, Agatha Christie punya tempat. Mereka tidak lebih rendah dari genre lain. Banyak kajian serius dilakukan atas karya-karya mereka. Di Indonesia, genre-genre seperti itu hampir tidak tersentuh. Karya-karya itu seharusnya mendapat tempat dan kita membicarakan itu dengan selayaknya.

Bagaimana proses kreatif di balik penulisan setiap novel Anda?

Dalam menulis, aku tidak punya plan tertentu. Aku hanya punya garis besar cerita. Ibaratnya perjalanan, aku tetapkan mau ke Yogyakarta, tapi mau dengan cara apa ke sana tidak aku tentukan. Menulis juga seperti itu. Kira-kira tentang ini, arahnya begini, ya sudah, duduk, lalu coba-coba menulis. Kadang berhasil, kadang hanya menjadi draf.

Seberapa dalam Anda meriset sebelum menulis sesuatu?

Pada dasarnya, aku tidak punya rencana menulis yang pasti sehingga tidak ada spesifik meriset sesuatu. Jadi menulis berdasarkan apa yang aku tahu. Tapi aku membuka diri untuk semua. Aku banyak ngobrol, baca kliping-kliping koran, baca biografi siapa saja. Itu risetnya, walaupun tidak spesifik pada tema tertentu. Setelah hampir merampungkan suatu karya, baru aku riset spesifik yang butuh recheck.

Apa yang paling menginspirasi dalam menulis cerita?

Biasanya peristiwa. Aku cenderung menulis berdasarkan peristiwa tertentu. Misalnya, Cantik Itu Luka itu ditulis setelah mendengar cerita Ibu tentang tetangga kami yang hamil dan berharap anaknya lahir mirip Arjuna. Ternyata saat lahir memang mirip Arjuna, tapi Arjuna wayang. Bukan ganteng, malah jelek, ha-ha-ha.... Peristiwa itu membekas dan akhirnya aku jadikan cerita.

Soal genre, ada banyak realisme magis dalam karya Anda. Apakah Anda memang punya ketertarikan ke arah situ?

Tidak begitu, sih. Aku kebetulan tahu sedikit tentang realisme magis dari baca-baca. Tapi pada dasarnya bisa dibilang aku juga tidak tahu apa itu realisme magis, seperti bagaimana sejarahnya, pola kerja seperti apa. Sesuatu yang seperti itu sebenarnya natural saja, lalu dicoba dengan gaya aku yang didasarkan pada kesukaan terhadap novel horor dan silat. Aku kombinasikan saja. Jika hasilnya dipandang sebagai realisme magis, aku juga tidak mengerti.

Apakah realisme magis itu adalah sesuatu yang biasa di kebudayaan Indonesia?

Seharusnya iya. Bentuknya sudah bisa kita lihat atau background itu sering kita lihat. Di Amerika Latin, misalnya, ada background post-colonial, dan itu menjadi wacana tandingan terhadap positivisme modern ala Eropa. Mungkin itu bukan alasan yang sama ketika kita menemukan bentuk itu di Indonesia. Misalnya kenapa karya Danarto tidak disebut realisme magis.

Di era digital ini, apa tantangan terbesar penulis seperti Anda?

Memang tentu ada bedanya. Dulu aku tergila-gila Internet, tapi sekarang sudah tidak. Aku sudah detoksifikasi dari media sosial. Satu-satunya yang aku punya adalah blog, karena blog adalah penemuan yang ajaib. Maksudnya di dunia sastra dikenal ada diary journal dan esai, selain novel, cerita pendek, dan fiksi. Blog ada di tengah-tengah antara diary journal dan esai. Di satu sisi seperti diary yang bersifat personal, di sisi lain itu di-publish dan menjadi milik publik. Aku merasa gender yang tidak jelas ini sangat mengasyikkan. Secara instingtif, kita akan berbicara dengan gaya yang berbeda untuk kepentingan pribadi dan untuk publik yang luas. Aku menikmati dan bertahan menulis blog.

Eka Kurniawan
Tempat dan tanggal lahir: Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 November 1975 Istri: Ratih Kumala, mempunyai satu anak Pendidikan: Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Penghargaan: Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) Award 2015 untuk novel Lelaki Harimau Bibliografi Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (Nonfiksi, 1999) |Cantik itu Luka (Novel, 2002) | Lelaki Harimau (Novel, 2004) | Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya (Cerita pendek, 2005) | Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (Cerita pendek, 2005) Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014) | Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (Novel, 2015) Bibliografi Terjemahan Pemogokan(Hikayat dari Italia) karya Maxim Gorky Cannery Rowkarya John Steinbeck Catatan Harian Adam dan Hawa karya Mark Twain Cinta dan Demit-demit Lainnya karya Gabriel Garcia Marquez

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus