Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Patung-patung ampah: punah

Patung-patung kayu ulin karya suku dayak di kalimantan tengah, jadi sasaran pemburuan barang antik. konon, sudah ratusan patung yang sudah dibawa ke luar daerah itu.

14 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERBURUAN barang aneh di Kalimantan Tengah kini memasuki babak baru. Bukan cuma keramik dan perunggu Cina yang dicari - untuk dilego ke luar negeri dengan harga mahal - tapi juga karya suku Dayak sendiri. Khususnya patung-patung kayu ulin, buatan para penganut agama Kahanngan dalam upacara adat mereka. Salah satu pusat perburuanpatung antik itu adalah desa Ampah, ibukota kecamatan Dusun Tengah, kabupaten Barito Timur, Kal-Teng. Desa ini (9000 jiwa) terletak 380 Km sebelah Utara Banjarmasin. Dulu pusat kebudayaan suku Dayak Lawangan. Dari sini tersebar patung ulin, rumah adat untuk ibadah Kaharingan, sandung (rumah-rumahan kecil untuk tempat sesajen), serta keriring (peti mati di atas tiang tinggi tempat menyimpan sejumlah tengkorak panglima-panglima Dayak sekaligus). Bahkan ada satu desa sebelum Ampah, Patung namanya. Di desa itu tinggal seorang pemahat patung yang sudah tua Idut, pencipta sebagian besar patung di desa Patung. Larangan Sylvanus Karena lebih mudah dicapai dari Banjarmasin ketimbang pusat kebudayaan suku Dayak Kal-Teng lainnya, banyak orang asing dan pribumi datang ke Ampah mencari patung ulin. Karyawan Pertamina dan Union Oil - yang pernah lama berusaha mencari minyak di kawasan hulu sungai Barito - dikabarkan sudah banyak memborong patung itu. Ini cukup mengganggu penduduk, apalagi masyarakat Dayaknya sendiri yang kebanyakan masih beragama Kaharingan. Yang paling menghebohkan belakangan ini adalah dua orang pedagang pribumi yang mengaku berasal dari Sumatera. Mereka berusaha memborong puluhan patung ulin dari Ampah dan sekitarnya. Penduduk mengadukan kedua orang itu pada polisi. Gubernur Kal-Teng Reynout Sylvanus melarang diangkutnya benda-benda budaya Dayak yang bersejarah itu ke luar dari daerahnya. "Di daerah ini, orang-orang Sumatera itu berhasil menyikat 200 patung ulin", ujar Nempel Kiki, seorang anggota Wanra di desa Patung pada wartawan TEMPO G.Y. Adicondro. Di rumah Kiki sendiri ada sebuah patung wanita - sudah rada"modern": mengenakan celana dalam. Patung ini milik Kepala Kampung Patung yang disitanya dari tangan pemburu patung Dayak. Tapi Nempel bersedia menjual patung itu seharga Rp 15 ribu Bahwa jumlah patung yang disikat sampai mencapai 200 diragukan oleh penduduk lain. Memang, begitu cerita penduduk, ada seorang pemuda di desa lain, yang bersama kawan-kawannya di malam hari berhasil mencuri 30 patung ulin. Caranya: menggergaji atau mencabutnya dari dalam tanah. Orang-orang Sumatera itu menawarkan harga sampai Rp 25 ribu untuk sebuah patung. Djaen, pemuda yang mengorganisir pencurian patung itu, kini dikucilkan oleh masyarakat. Dia tidak diserahkan pada polisi, sebab masyarakat di sini agak takut juga padanya. Soalnya, dia pernah masuk tentara, dan dipecat karena tidak disiplin. Orangnya suka berkelahi. Namun penduduk, yang tahu bahwa Djaen sekedar alat dari para pedagang patung, menuntut pada polisi supaya orang-orang Sumatera itu diusir dari sini. Matahari Terbenam Berbeda dengan di Bali misalnya, orang-orang Dayak itu memang belum memahat patung untuk diperjual-belikan. Patung-patung yang dipahat beramai-ramai dari batang pohon ulin (kayu besi) utuh itu, didirikan sebagai tempat menambatkan kerbau. Kerbau itu juga dibantai beramai-ramai oleh para lelaki - dalam rangka pesta adat (aruh) Kaharingan. Dari arah patung itu menghadap, dapat diketahui patung itu didirikan selama pesta apa. Patung yang didirikan untuk upacara penguburan pemuka masyarakat, menghadap ke arah matahari terbenam. Wujudnya, lelaki atau perempuan, merupakan penggambaran dari tokoh yang baru saja meninggal. Akibat pengaruh masuknya tentara Belanda ke belantara Kalimantan, panglima Dayak yang meninggal itu ada yang digambarkan dalam seragam opsir Belanda: bertopi yang tinggi, sepatu bot, duduk di kursi. Sebaliknya, kalau patung atau beluntang itu menghadap ke arah matahari terbit, itu tandanya peristiwanya gembira: pesta pernikahan atau kenduri untuk mohon berkat bagi seisi desa. Kenduri itu disebut buntang. Pesta berkabung yang dalam logat Dayak Lawangan disebut wara itu, ada tiga tahap. Wara itu sendiri adalah upacara penguburan mayat yang baru meninggal. Pesta wara itu bisa makan waktu sampai seminggu, tergantung pada tinggi-rendahnya status sosial tokoh yang meninggal. Untuk menghormati yang meninggal, didirikanlah blunteng yang sekaligus jadi tiang tambatan kerbau yang dibantai untuk upacara itu. Pembantaian kerbau itu, pada dasarnya merupakan adu kejantanan manusia ala matador Spanyol. Sang kerbau sebelumnya sudah dibikin kalap dengan jalan ditombaki atau dibakar ekornya, tapi tetap terikat dengan tali rotan, yang panjangnya bisa sampai 15 depa. Selesai wara, mayat tokoh Dayak Lawangan ini dibiarkan dalam tanah sampai tinggal kerangka. Saat itu, tibalah saatnya untuk mengadakan upacara yang kedua, taloh. Upacara ini berlangsung sederhana saja - hanya potong babi, tanpa mendirikan beluntang. Di saat ini' tulang sang almarhum dimasukkan dalam sebuah guci, belanai. Guci kl7usus itu disimpan dalam rumah-rumahan khusus (sandung), sampai tiba saatnya untuk dipindahkan ke keriring. Keriring adalah semacam peti mati yang tegak tinggi di atas tiang pancang, tempat menyimpan tengkorak beberapa panglima Dayak sekaligus. Upacara pemindahan tengkorak dari belanai ke keriring itulah yang merupakan upacara adat paling meriah. Bisa makan waktu sampai 14 hari. Upacara ini usaha gabungan beberapa desa atau beberapa puak Dayak yang leluhurnya masih saling berkerabat. Segala material untuk pesta ini ditanggung bersama-sama. "'DUPPA" Dulu, keriring didirikan dekat atau di depan rumah adat dari beberapa puak yang berdekatan. Tapi kini keriring yang dihiasi ukiran kepala kerbau - mirip seperti tradisi Toraja di Sulawesi Selatan - terisolir di tengah hutan kelapa. Ada juga yang tegak di samping Sekolah Dasar. Namun di desa Pakali, 36 Km dari Ampah, masih ada satu rumah adat yang lengkap dengan keriringnya. Tapi bangunan itu kini terlantar. Anak suku Dayak Lawangan Bawuh yang dulu tinggal di situ sudah menyingkir terus ke hulu, dengan datangnya masyarakat Banjar dari Kal-Sel. Dan beluntang yang ada di Pakali tertinggal begitu saja. Untung Dinas Purbakala sudah masuk ke daerah itu guna melindungi monumen Dayak yang mudah hancur itu. Trbukti dari pengelompokan sejumlah patung-patung di Ampah, serta inskripsi tanggal meninggalnya tokoh yang bersangkutan serta tanggal pendirian beluntangnya. Lengkap dengan inskripsi 'DUPPA' di bawah inskripsi tanggal sebagai bukti datangnya para arkeolog ke sana. Hanya sayang, dari puluhan patung Dayak yang bertebaran di hutan, bukit, padang dan peka rangan rumah penduduk asli, baru segelintir kecil yang sudah diregistrater dan di 'meterai' oleh Dinas Purbakala di Jakarta. Sebagian besar masih terancam kelanjutan hidupnya oleh iklim dan manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus