PADA suatu hari becak 'Sebatang kara' dipanggil untuk membeli
tetek bengek bahan bangunan. Uang seribu perak diberikan, dengan
catatan 'harap pakai bon'. Setelah tawar-menawar, hargapun jadi:
pulang-balik dua ratus.
'Ayuh, baik!" ujar si Abang. "Nggak pakai penumpang nih?".
Dijawab "enggak". Becak lalu pergi. kelihatan laju, mullgkin
karena ringan. Punggung si Abang bengkok, paha dan betisnya pun
kelihatan begitu.
Satu jam lewat. Dua jam yang ditunggu belum juga muncul. Dan
seteiah dipastikan bersama bahwa yang ditunggu tak bakal datang,
maka perdebatan tanpa agenda pun dimulai.
A: Kamu kenal tukang becaknya?
B: Tidak, ada begitu banyak tukang becak di sini.
A: Dia akan menganggap kita bodoh. Dan seribu perak adalah
sekedar ongkos kebodohan kita.
B: Biar saja kalau dia cukup pintar. Saya menganggap seribu
perak adalah ongkos kepercayaan kita.
A: Kepercayaan seperti itu membuat kita rugi dan membuut kita
jadi penipu. Itu sama sekali tidak mendidik rakyat kecil.
B: Kebutuhan dia menyebabkan dia punya hak untuk memakai setiap
kesempatan untuk memenuhinya. Dia butuh seribu, dia berhak
mendapatkan uang seribu.
A: Soalnya kamu sudah siap untuk ditipu. Tapi kalau kamu memang
rela memberi orang tadi seribu kenapa tidak diberikan begitu
saja? Tanpa mencobai dia untuk berbuat jahat? Kamu telah
menciptakan kejahatan.
B: Saya tidak menganggap dia jahat. Saya menganggap dia butuh.
Kebutuhan dia terutama yang membuat dia memutuskan apa akan
mengambilnya atau tidak. Saya baru benar-benar merasa tertipu
kalau saya memberikan sesuatu kepada orang yang tidak
membutuhkan. Tukang becak jelas bukan orang yang kelebihan uang.
Menambah kekayaan orang yang sudah kaya, bagi saya memperlakukan
diri masing-masing sebagai penipu dan menipu dengan cara yang
halal kejahatannya berlipat ganda.
A: Menipu is menipu. Kejahatan adalah kejahatan tak halal baik
bagi orang kaya ataupun bagi orang miskin. Apa kamu menganggap
bahwa orang miskin karena kemiskinannya dapat dibebaskan dari
norma-norma kesusilaan.
B: Bukan di situ soalnya. Soalnya adalah kesempatan untuk menipu
harus juga dibagi rata. Kamu tahu bahwa orang miskin hampir tak
punya kesempatan untuk menipu. Mereka semua kebanyakan justru
orang-orang yang taat kepada kesusilaan.
A: Wah, masyarakat bisa rusak kalau begitu. Apakah kamu suka
masyarakat penipu?
B: Lho, salah tanggap. Yang saya lihat adalah: tak ada
masyarakat tanpa penipu. Tak ada masyarakat bebas penjahat. Nah,
saya hanya mau bilang bahwa golongan miskin juga harus diberi
kesempatan untuk menipu. Kalau memang menipu adalah cara untuk
mendapatkan makan. Jangan hanya golongan kaya yang dibiarkan
menipu.
A: Apa kamu beranggapan bahwa semua orang kaya penipu ?
B: Lho, salah tanggap lagi. Saya hanya bilang bahwa saya merasa
tertipu kalau saya tahu bahwa saya memperkaya orang yang sudah
kaya. Saya menjadikan mereka penipu, sambil menipu diri sendiri.
A: Penipu kecil penipu besar sama saja. Penipu harus diukur
dengan nilai etik masyarakat.
B: Nah, coba. siapa sebenarnya yang menciptakan nilainilai
tersebut? Coba ada orang pandai yang bisa menguraikan genesis
dari apa yang kamu sebut ukuran moral. Saya takut nanti jatuhnya
akan pada mereka-mereka yang kuat dan kaya.
A: Apakah kamu tidak percaya lagi kepada Tuhan?
B: Justru karena saya percaya kepada Tuhanlah maka saya anggap
perlu bertanya apakah aturan moral yang berlaku di masyarakat
kita benar-benar sudah sejalan dengan kehendak Tuhan. Nah, kalau
tidak, masa kita tidak bisa bertanya?
A: Saya lihat kami cenderung memanipulasikan hukum-hukum Tuhan
untuk kepentingan orang miskin. Tuhan tidak memihak siapa-siapa.
Ia membenarkan yang benar.
B: Itu yang sedang kita bicarakan. Yang benar itu yang
bagaimana? Siapa menentukan siapa benar'? Seribu perak yang kita
persoalkan adalah seribu-perak untuk kebutuhan mengisi perut.
Apa salahnya? Dia melanggar aturan siapa dan untuk apa?
A: Tujuan menghalalkan cara inilah dia! Cocok benar urusannya.
B: Entah 'tujuan menghalalkan cara', entah 'cara menghalalkan
tujuan' itu 'kan cuma cara menyalahkan. Sampai kapok kamu dengan
rumusan tak akan mengenyangkan orang yang butuh makan. Yang kita
bicarakan adalah tentang uang seribu perak yang dibutuhkan untuk
menyambung hidup. Belum tentu kalau anak-bininya sehat-sehat.
A: Kamu mengharap anak-bini si Abang tadi sakit? Jadi
pemberianmu akan lebih membuat kanzu merasa berjasa. Masih bagus
kalau tidak dipakai main. Saya hira itulah alasanmu yang
sebenarnya, karena merasa berjasa. Dan perasaan berjasa itu
telah menyebabkan kamu haus dengan segala macam argumen tentang
keadilan tentang kejahatan orang kaya dan lain sebagainya. Ya
to?
B: Saya percaya, titik. Saya percaya bahwa ia butuh, saya
percaya bahwa tukang becak tak pernah mampu mencukupi
kebutuhannya. Justru itulah yang tak bisa saya terangkan dengan
argumen apapun. Kecuali bahwa uang seribu perak itu saya
relakan. Tak berapa lama si 'Sebatang Kara' datang
terengah-engah membawa bahan-bahan bangunan yang dipesan. Bon
diberikan, dan perdebatan pun dengan sendirinya selesai, bahkan
dianggap tak sah. Segala macam argumen luluh digantikan
keheningam Ketika si Abang menurunkan muatan, si A merogoh lima
ratus perak dari sakunya.
A: Bang ini uang kaget. Maafkan zaman sekarang memang zaman
orang kaget melihat kejujuran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini