PENCARIAN Kartika dalam hitam putih berkelanjutan di Balai
Budaya, Jakarta, 22 s/d 8 April yang lalu. Lebih berhasil dari
pameran hitam putihnya di TIM beberapa waktu yang lalu. Kartika
di sini sudah sempat melupakan Bali yang begitu dia puja. Dia
pergi ke daerah Kalimantan dan Sumatera. Menangkap kehidupan
rakyat Batak dan wajah Dayak.
Kartika, yang begitu ngebet memenuhi kanvas dengan garis dan
bidangbidang emosionil. tak terduga mampu juga menampilkan satu
dua kanvas yang terkendali. Dalam lukisan Rumah Adat Di Kaban
Jahe misalnya, terasa ada ruang karena putih kanvas ikut
berbicara. Komposisi memperlihatkan munculnya akal sehat yang
kawin manis sekali dengan inspirasi. Di sana kita melihat sudut
pandangan pada obyek yang dramatis. Kita berhadapan dengan
sebuah rumah adat yang menjulang ke langit dengan awan
bergulung. Sementara ke samping, jejeran rumah rumah yang sama,
mengecil dan hiLan di horison. Ini ketrampilan yang sebetulnya
milik Kartika, tetapi sering tercecer.
Klenteng
Pada judul Warung Kopi Lelaki, Penginapan, kita melihat
pelukisan suasana yang sama sekali tidak didramatisir tetapi
dramatik. Kartiha memang suka sekali memelarat-melaratkan tokoh,
menghangat-hangatkan atau membikin-bikin suasana bergolak --
tapi dalam kedua lukisan ini tidak. Dengan mantap ia menangkap
suasana. Ia menjadi realistis. Sementara garis-garisnya meliuk
dengan terkendali, tidak diobral sebagai biasanya.
Sayang itu hanya sebagian dari banyak hasil hitam putihnya yang
tetap mengulang kesukaan-kesukaannya dahulu. Misalnya pada obyek
Bali, obyek manusia, obyek kelenteng, obyek perahu, Kartika
menjadi ahli lalu kering. Lukisan-lukisannya memang sibuk dan
bergerak, tetapi tidak berjiwa. Tenaga puisi dari ruang kosong,
unsur ikut sertanya batin penonton, telah dijegal. Inspirasi
memang sesuatu yang mustahil bagi seorang yang ulet, enerjetik
dan gemar bekerja seperti Kartika. Tetapi kalau inspirasi tidak
ikut menonjok lahirnya sebuah lukisan, meskipun lukisan bisa
saja jadi kontemplatif atau indah, ia tidak mempunyai daya
pukau. Kartika sering melukis tanpa inspirasi.
Satu hal yang menarik adalah lebar paniangan lukisan wanita ini.
Dia begitu lahap menangkap skup besar kehidupan. Dia sangat
bernafsu meraihnya sebanyak mungkin. Perhatiannya pada
sudut-sudut yang berantakan kadang kala memunculkan perasaan
kemanusiaannya yang tebal. Maka terlihatlah Perkampungan
Nelayan, Rumah Adat Karo, Rumah Adat di Linga, yang menangkap
interior rumah-rumah tersebut dan suasananya yang khas. Kartika
tetap bersemangat. Kali ini kita boleh menghargai bahwa
semangatnya cuku didukung oleh ketajaman garis, kepe kaan
komposisi serta polesan bidang bidang yang emosionil.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini