Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kartika Yang Hitam

Orang tak menduga, kartika mampu menampilkan kanvas yang terkendali. Dari lukisan hitam putihnya yang dipamerkan di Balai Budaya, Jakarta, nampak ia berhasil mengawinkan akal sehat dengan inspirasi.

14 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENCARIAN Kartika dalam hitam putih berkelanjutan di Balai Budaya, Jakarta, 22 s/d 8 April yang lalu. Lebih berhasil dari pameran hitam putihnya di TIM beberapa waktu yang lalu. Kartika di sini sudah sempat melupakan Bali yang begitu dia puja. Dia pergi ke daerah Kalimantan dan Sumatera. Menangkap kehidupan rakyat Batak dan wajah Dayak. Kartika, yang begitu ngebet memenuhi kanvas dengan garis dan bidangbidang emosionil. tak terduga mampu juga menampilkan satu dua kanvas yang terkendali. Dalam lukisan Rumah Adat Di Kaban Jahe misalnya, terasa ada ruang karena putih kanvas ikut berbicara. Komposisi memperlihatkan munculnya akal sehat yang kawin manis sekali dengan inspirasi. Di sana kita melihat sudut pandangan pada obyek yang dramatis. Kita berhadapan dengan sebuah rumah adat yang menjulang ke langit dengan awan bergulung. Sementara ke samping, jejeran rumah rumah yang sama, mengecil dan hiLan di horison. Ini ketrampilan yang sebetulnya milik Kartika, tetapi sering tercecer. Klenteng Pada judul Warung Kopi Lelaki, Penginapan, kita melihat pelukisan suasana yang sama sekali tidak didramatisir tetapi dramatik. Kartiha memang suka sekali memelarat-melaratkan tokoh, menghangat-hangatkan atau membikin-bikin suasana bergolak -- tapi dalam kedua lukisan ini tidak. Dengan mantap ia menangkap suasana. Ia menjadi realistis. Sementara garis-garisnya meliuk dengan terkendali, tidak diobral sebagai biasanya. Sayang itu hanya sebagian dari banyak hasil hitam putihnya yang tetap mengulang kesukaan-kesukaannya dahulu. Misalnya pada obyek Bali, obyek manusia, obyek kelenteng, obyek perahu, Kartika menjadi ahli lalu kering. Lukisan-lukisannya memang sibuk dan bergerak, tetapi tidak berjiwa. Tenaga puisi dari ruang kosong, unsur ikut sertanya batin penonton, telah dijegal. Inspirasi memang sesuatu yang mustahil bagi seorang yang ulet, enerjetik dan gemar bekerja seperti Kartika. Tetapi kalau inspirasi tidak ikut menonjok lahirnya sebuah lukisan, meskipun lukisan bisa saja jadi kontemplatif atau indah, ia tidak mempunyai daya pukau. Kartika sering melukis tanpa inspirasi. Satu hal yang menarik adalah lebar paniangan lukisan wanita ini. Dia begitu lahap menangkap skup besar kehidupan. Dia sangat bernafsu meraihnya sebanyak mungkin. Perhatiannya pada sudut-sudut yang berantakan kadang kala memunculkan perasaan kemanusiaannya yang tebal. Maka terlihatlah Perkampungan Nelayan, Rumah Adat Karo, Rumah Adat di Linga, yang menangkap interior rumah-rumah tersebut dan suasananya yang khas. Kartika tetap bersemangat. Kali ini kita boleh menghargai bahwa semangatnya cuku didukung oleh ketajaman garis, kepe kaan komposisi serta polesan bidang bidang yang emosionil. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus