KARTIKA, puteri pelukis Affandi, lahir 7 Nopember 1934 di
Jakarta. Setelah bertempur sengit, bercerai dari suaminya
pelukis Saptohudoyo. Hidup sendirian, 4 orang anak berusia 23-17
tahun. Berdagang barang-barang antik dan mengusahakan
penginapan, di samping terima melukis. Di bawah ini wawancara
dalam ruang pameran di Balai Budaya.
Tanya: Mengapa anda melukis hitam putih sekarang?
Jawab: Mungkin itu refleksi jiwa saya kini. Dengan hitam putih
saya ingin mendapat efek yang sama dengan warna. Orang bilang
hitam putih hanya untuk sket. Saya ingin membuktikan melukis
juga bisa hitam putih, tanpa kehilangan bobot.
T: Ada pengaruh perceraian anda dari suami, dalam lukisan?
J: Ya. Pada permulaan menyendiri, banyak kawan tidak mau dekat
lagi, saya seperti terisolir. Saya tidak mengharap lagi lukisan
saya menjadi pajangan museum-museum terkenal. Saya sangat benci
lelaki. Saya hanya mengharap, dalam keadaan terjepit karena
harus mengurus anak-anak - saya hanya minta dinilai bahwa saya
mampu menjalankan fungsi seorang bapak. Memang itu menyebabkan
saya seperti kehilangan kewanitaan. Lalu saya berkenalan dengan
seorang dramawan dari Jerman, yang banyak mengritik lukisan saya
yang sangat mirip dengan lukisan bapak.
T: Apakah anda punya cita-cita mengangkat derajat wanita dengan
lukisan anda?
J: Ya. Saya menyokong sekali Woman's Lib. Saya melihat banyak
sekali kekurangan dalam dunia wanita terutama di pedalaman.
Mereka itu kayaknya seperti kuda. Mending kalau kuda tunggangan
saja. Yah tak habis-habis nya mereka bekerja. Wanita Batak Karo
misalnya, di tempat di mana saya melukis sebagian besar isi
pameran ini. Pagi-pagi, sesudah mempersiapkan makan untuk siang
hari, mereka terus menggendong anak dan berangkat ke ladang
untuk bekerja. Sementara suami-suami pada duduk santai dalam
warung. Itu sebabnya timbul lukisan Warung Lelaki di mana semua
pengunjungnya lelaki, termasuk yang melayani, karena semua
isteri bekerja di ladang. Waktu saya tanyakan kepada lelakinya,
kenapa itu terjadi, mereka menjawab: "Kan enak duduk-duduk".
Padahal mereka muda-muda, Iho. Lalu saya tanyakan kepada
wanitanya. Mereka menjawab: "Kalau kita nggak kerja. tidak ada
yang mengawini" Saya kira itu sebabnya juga di sana angka
kematian besar. Dari 9 anak, yang hidup hanya 4.
T: Apa anda tidak berambisi lagi menjadi pelukis hebat?
J: Ya masih. Itu saya lakukan dengan cara bekerja banyak, kerja
keras, dan banyak pameran. Nggak laku nggak apa. Yang penting
sebanyak-banyaknya melukis. Tapi saya tidak merasa lukisan saya
komersiil, karena tidak tergantung ukuran dan motif. Lihat, ini
saja tidak ada yang laku.
T: Apakah anda menderita?
J: Tidak. Saya bahagia sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini