Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Wanita macam kuda

Wawancara tempo dengan pelukis kartika. melalui lukisan, ia ingin mengangkat derajat wanita, yang menurutnya seperti kuda, yang disuruh bekerja, sementara lelaki nongkrong di warung.

14 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARTIKA, puteri pelukis Affandi, lahir 7 Nopember 1934 di Jakarta. Setelah bertempur sengit, bercerai dari suaminya pelukis Saptohudoyo. Hidup sendirian, 4 orang anak berusia 23-17 tahun. Berdagang barang-barang antik dan mengusahakan penginapan, di samping terima melukis. Di bawah ini wawancara dalam ruang pameran di Balai Budaya. Tanya: Mengapa anda melukis hitam putih sekarang? Jawab: Mungkin itu refleksi jiwa saya kini. Dengan hitam putih saya ingin mendapat efek yang sama dengan warna. Orang bilang hitam putih hanya untuk sket. Saya ingin membuktikan melukis juga bisa hitam putih, tanpa kehilangan bobot. T: Ada pengaruh perceraian anda dari suami, dalam lukisan? J: Ya. Pada permulaan menyendiri, banyak kawan tidak mau dekat lagi, saya seperti terisolir. Saya tidak mengharap lagi lukisan saya menjadi pajangan museum-museum terkenal. Saya sangat benci lelaki. Saya hanya mengharap, dalam keadaan terjepit karena harus mengurus anak-anak - saya hanya minta dinilai bahwa saya mampu menjalankan fungsi seorang bapak. Memang itu menyebabkan saya seperti kehilangan kewanitaan. Lalu saya berkenalan dengan seorang dramawan dari Jerman, yang banyak mengritik lukisan saya yang sangat mirip dengan lukisan bapak. T: Apakah anda punya cita-cita mengangkat derajat wanita dengan lukisan anda? J: Ya. Saya menyokong sekali Woman's Lib. Saya melihat banyak sekali kekurangan dalam dunia wanita terutama di pedalaman. Mereka itu kayaknya seperti kuda. Mending kalau kuda tunggangan saja. Yah tak habis-habis nya mereka bekerja. Wanita Batak Karo misalnya, di tempat di mana saya melukis sebagian besar isi pameran ini. Pagi-pagi, sesudah mempersiapkan makan untuk siang hari, mereka terus menggendong anak dan berangkat ke ladang untuk bekerja. Sementara suami-suami pada duduk santai dalam warung. Itu sebabnya timbul lukisan Warung Lelaki di mana semua pengunjungnya lelaki, termasuk yang melayani, karena semua isteri bekerja di ladang. Waktu saya tanyakan kepada lelakinya, kenapa itu terjadi, mereka menjawab: "Kan enak duduk-duduk". Padahal mereka muda-muda, Iho. Lalu saya tanyakan kepada wanitanya. Mereka menjawab: "Kalau kita nggak kerja. tidak ada yang mengawini" Saya kira itu sebabnya juga di sana angka kematian besar. Dari 9 anak, yang hidup hanya 4. T: Apa anda tidak berambisi lagi menjadi pelukis hebat? J: Ya masih. Itu saya lakukan dengan cara bekerja banyak, kerja keras, dan banyak pameran. Nggak laku nggak apa. Yang penting sebanyak-banyaknya melukis. Tapi saya tidak merasa lukisan saya komersiil, karena tidak tergantung ukuran dan motif. Lihat, ini saja tidak ada yang laku. T: Apakah anda menderita? J: Tidak. Saya bahagia sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus